Berbagai instansi mengeluarkan daftar cegah dan tangkal. Apa dasar hukumnya? SALAH satu makna kata "cekal" dalam kamus bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka adalah "tabah, tahan menderita". Namun, pasti bukan karena sesuatu yang berhubungan dengan "penderitaan" kalau Ditjen Imigrasi memakai istilah "cekal" untuk menyebut orang yang dilarang ke luar negeri atau masuk ke Indonesia. Dalam kamus Imigrasi, "cekal" merupakan akronim dari kata "cegah" dan "tangkal" . Mereka yang masuk dalam daftar cekal bisa berarti di-"cegah" ke luar negeri, atau di"tangkal" masuk Indonesia. Sekitar 17.000 orang kini tercantum dalam daftar cekal. Sebagian karena dianggap melakukan pelanggaran tata tertib Imigrasi, umumnya warga negara asing. Misalnya menggunakan visa turis untuk berdagang atau bekerja. "Atau wisatawan yang memegang visa dua bulan tapi tinggal di Indonesia lebih lama," kata sumber TEMPO di Ditjen Imigrasi. Selain itu, ada pula versi Kejaksaan Agung. "Dari segi jumlah, ini peringkat kedua setelah Imigrasi," tambah sumber tadi. Mereka yang dicekal di sini adalah para pelaku atau tersangka tindak pidana khusus, seperti korupsi atau penyelundupan. Bekas Wakil Dirut Bank Duta, Dicky Iskandar Di Nata, kabarnya masuk dalam daftar cekal Kejaksaan Agung ini. Mahkamah Agung diam-diam juga mengedarkan daftar, tapi tidak panjang. Yang masuk di situ hanya mereka yang tinggal menunggu putusan kasasi. Lalu ada versi BUPN (Badan Urusan Piutang Negara). Instansi ini menyusun daftar cekal berdasarkan nama-nama debitur yang menunggak kredit pada bank-bank pemerintah. Mereka tidak akan dibiarkan leluasa pergi ke luar negeri karena dikhawatirkan lari dari tanggung jawab. Masih instansi lain membuat daftar cekal: Bakin. Instansi yang bertanggung jawab dalam soal sosial-politik dan keamanan ini mempunyai daftar cekal yang utuh, cegah dan tangkal. Ada orang-orang yang dicegah ke luar negeri, dan ada pula nama-nama yang ditangkal untuk masuk Indonesia karena dikhawatirkan bisa menimbulkan gangguan stabilitas. Dalam daftar instansi inilah menurut sumber tersebut, Ali Sadikin, Hoegeng Iman Santoso, dr. Azis Saleh, dan koleganya -- anggota Petisi 50 masuk dalam daftar "cegah". Sedangkan yang masuk daftar "tangkal", konon, terdapat nama David Jenkins, wartawan Australia, yang pernah mencemarkan nama baik Presiden Soeharto di negerinya sana. Ada lagi nama Steven Erlanger, wartawan AS yang tulisannya dikutip oleh koran International Herald Tribune dan pengamat Indonesia dari Universitas Cornell, AS, Ben Anderson. Dari semua yang terdaftar itu, soal masuknya pelaku Petisi 50 yang kini mendapat sorotan. Dirjen Imigrasi Rony Sikap Sinuraya menyebut alasan Pemerintah mencekal mereka karena khawatir para petisiwan itu akan melakukan propaganda yang merugikan nama baik Indonesia di luar negeri. Lain lagi alasan Menko Polkam Sudomo yang menyebut mereka sebagai dissident (pembangkang). Mereka, kata Sudomo, melontarkan fitnah lewat petisi yang dibikin hampir 11 tahun lalu. Sebenarnya, menurut Sudomo, mereka bisa diperkarakan di pengadilan dengan tuduhan melanggar pasal 134, 154, atau 155 KUHP. Pasal-pasal itu memuat ancaman hukuman bagi mereka yang bermaksud jahat terhadap presiden atau wakil, menunjukkan kebencian atau sikap permusuhan yang disebarluaskan agar diketahui umum. "Mereka memfitnah, makanya dicekal. Tetapi kalau mereka ke luar negeri untuk foya-foya, silakan saja, asal jangan ngomong macam-macam," ujar Sudomo. Bagi ahli hukum Nono Anwar Makarim, tindakan cekal terhadap anggota Petisi 50 itu, seperti dikemukakan Sudomo, tak berdasar karena perkaranya tak pernah diadili di pengadilan. "Jadi, ini melanggar praduga tak bersalah," katanya. Sementara itu, juru bicara Petisi 50, Slamet Bratanata, membantah memfitnah. "Boleh tanyakan kepada ahli komunikasi atau ahli bahasa, apakah petisi kami bersifat menfitnah," katanya. Dia juga menolak dikatakan dissident, pembangkang. "Kalau dissident itu diartikan sebagai orang yang berbeda pendapat, sih, boleh saja," uiarnya. Soal cekal sebetulnya jamak dalam penyelenggaraan keamanan negara. Malaysia atau Filipina, menurut pakar hukum, Prof. Padmo Wahjono, punya aturan serupa yang tertuang dalam Internal Security Act. Hanya saja, kata Padmo, landasan hukum cekal di Indonesia masih kurang kukuh. "Ketentuan itu baru diatur dalam peraturan pemerintah (PP)," katanya. Peraturan yang ada pun, menurut Padmo, pelaksanaannya belum jelas. "Mesti dibikin jelas, ukurannya seperti apa," katanya. Akibatnya, para pemilik nama kadang tidak tahu-menahu bahwa ia tercekal. "Orang baru tahu bahwa ia dicekal pas mau berangkat ke luar negeri. Ini kan tidak enak," tambah Padmo. Agar cekal jadi jelas dan punya landasan hukum yang kukuh, Padmo mengusulkan agar soal ini ditampung dalam sebuah UU. "DPR jangan hanya kasih komentar saja. Mestinya bikin RUU atau meminta Pemerintah menyusun RUU lalu dibahas bersama-sama," tambahnya. Ada kabar yang menyebut kelompok Petisi 50 itu akan memperkarakan kasus cekal itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Tapi Sudomo tak gentar. "Saya siap," katanya. Toh tak gampang bagi para petisiwan itu untuk membawa kasus tersebut ke PTUN. Yang bisa digugat lewat PTUN, menurut hakim PTUN Jakarta, Dr. Paulus Effandi, harus merupakan putusan tata usaha negara (TUN) yang kongkret. Artinya, harus berupa surat atau memo tertulis, yang jelas siapa yang membuat, kepada siapa ditujukan, dan apa isinya. "Kalau hanya permintaan lewat telepon, ya, sulit untuk diperkarakan lewat PTUN," katanya. Putut Trihusodo, Bambang Sujatmoko, dan Andy Reza Rohadian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini