Ada yang mengkhawatirkan ucapan para pembangkang bisa mempengaruhi bantuan luar negeri. Ternyata, menurut Pronk, negara yang menjalankan keterbukaan malah mendapat bantuan lebih besar. LATAR belakang mereka berbeda-beda. Ada yang jenderal purnawirawan dan ada yang bekas menteri. Ada juga dosen dan pengacara hukum. Mereka terserak di berbagai kota. Yang sama dari mereka hanya nasib. Mereka tak boleh pergi ke luar negeri. Nama mereka tercantum dalam suatu daftar yang disebut cegah dan tangkal (cekal). Cegah adalah untuk mereka yang dilarang ke luar negeri, dan tangkal untuk mereka yang tidak boleh masuk ke Indonesia. Dengan kata lain, mereka terkena cekal. Yang kena cegah itu bermacam orang: dari koruptor, penjahat narkotik, sampai aktivis politik. Ke dalam kelompok besar inilah para bekas pejabat itu dimasukkan. Padahal, mereka banyak yang pernah punya kedudukan terhormat. Sebut saja Jenderal Purnawirawan A.H. Nasution yang bekas Ketua MPRS, Letnan Jenderal (Marinir) Purnawirawan Ali Sadikin yang pernah menjadi Gubernur DKI Jakarta. Atau Slamet Bratanata yang dahulu Menteri Pertambangan, dan Jenderal (Polisi) Purnawirawan Hoegeng yang bekas Kepala Kepolisian RI. Mengapa mereka harus dicekal? Pertanyaan ini beberapa pekan terakhir sering ditanyakan, apalagi setelah dua pekan silam, para mantan itu "bersilaturahmi" ke Direktur Jenderal Imigrasi Rony Sikap Sinuraya di kantornya. Meski pada kunjungan pertama gagal, karena Dirjen Rony sedang mengikuti kursus di Lemhanas, Rony dengan ramah mengundang mereka untuk datang ke kantornya lagi Rabu pekan lalu. Secara resmi, seusai pertemuan itu, Rony menjelaskan alasan "pencekalan" mereka: "Sebagai upaya preventif agar mereka tidak membuat pernyataan-pernyataan yang dapat mengganggu dukungan luar negeri bagi pembangunan yang sedang dilakukan," katanya. Maksudnya, kata Rony, meski disadari sepenuhnya bahwa bantuan luar negeri itu hanya pelengkap dalam proses pembangunan di negeri ini, pada saat sekarang bantuan tersebut masih sangat diperlukan. Pangab Jenderal Try Sutrisno juga menggarisbawahi soal larangan itu yang memang sifatnya preventif. "Kita selesaikan dulu semua urusan di dalam, tak perlu bicara di luar. Coba samakan persepsi, berbuat baik dulu. Buat apa menjelek-jelekkan bangsa di luar sana?" katanya. Lebih jauh Rony juga mengungkapkan, berdasarkan catatan yang ada, nama-nama yang dilarang pergi itu memang telah membuat tulisan, surat-surat yang mempunyai nada penilaian, tuduhan, dan ajakan yang dapat mengakibatkan dampak mengganggu kepercayaan terhadap pembangunan yang sedang berjalan. Tak hanya Rony yang menjelaskan. Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Sudomo juga menegaskan: tindakan "cekal" itu bukannya tanpa dasar. "Pemerintah melakukan hal itu dengan berpegang pada konstitusi, hak asasi manusia, dan hukum." Mereka yang dilarang pergi ke luar negeri itu adalah para dissident, "orang-orang yang tak setuju terhadap pemerintah," katanya. Siapakah mereka? Sudomo menunjuk Ali Sadikin dan teman-temannya yang tergabung dalam kelompok Petisi 50 sebagai dissident. "Mereka sudah memfitnah Kepala Negara," kata Sudomo. Memfitnah Presiden Soeharto? Bekas Pangkopkamtib itu pun menunjuk pada dokumen Pernyataan Keprihatinan yang ditandatangani oleh 50 orang (di antaranya Ali Sadikin, Azis Saleh, Slamet Bratanata) pada 5 Mei 1980 silam. Isinya, mempertanyakan pidato Presiden Soeharto tanpa teks di muka Rapim ABRI di Pekanbaru (27 Maret 1980) dan HUT Kopassandha di Cijantung (16 April 1980). Ketika itu Presiden Soeharto, antara lain, mengingatkan adanya usaha-usaha untuk menggantikan ideologi Pancasila dengan ideologi lain dengan segala macam cara. Di antaranya dengan melontarkan berbagai isu seperti yang ditujukan kepada dirinya dengan maksud mendiskreditkan pemerintah dan para pejabat. "Ini selalu terjadi bilamana kita mendekati pelaksanaan pemilu," katanya. Para penanda tangan Petisi 50 itu menyatakan prihatin karena mereka, antara lain, menganggap Presiden telah menyalahtafsirkan Pancasila sehingga dapat dipergunakan sebagai sarana ancaman terhadap lawan politik, padahal Pancasila dimaksudkan oleh para pendiri RI sebagai sarana pemersatu bangsa. Mereka juga prihatin karena menganggap Presiden telah mengajak ABRI memihak, dan tidak berdiri di atas semua golongan masyarakat. Pernyataan keprihatinan itu, menurut Menteri Sudomo, jelas merupakan fitnah kepada Kepala Negara. "Pernyataan itu nyatanya bukan mengkritik. Itu memfitnah. Mengkritik itu berdasarkan fakta. Tapi ini apa?" kata Sudomo pada Leila S. Chudori dari TEMPO, sambil membacakan isi Pernyataan Keprihatinan Petisi 50. Yang dituding membantah. "Kami bukan memfitnah. Dibaca saja kembali enam hal keprihatinan kami itu. Fitnah dan kritik itu berbeda. Kritik kan berdasarkan fakta. Bahwa kritik itu pedas, mestinya tak jadi soal," kata Slamet Bratanata, yang menjadi juru bicara kelompok Petisi 50. Soal sebutan dissident itu, Slamet, yang punya predikat sebagai Manggala P-4, tampaknya tak begitu keberatan. "Sejauh itu hanya diartikan sebagai orang yang berbeda pendapat, ya oke saja," katanya. Ia kemudian merujuk kamus Webster's yang mengartikan dissident sebagai orang yang memiliki opini yang berbeda. Sikap seperti ini sebenarnya tak terlalu merisaukan Menteri Rudini. "Beda pendapat itu wajar," katanya. Cuma, yang kemudian disayangkan oleh Menteri Rudini adalah kehadiran Petisi 50 memberi kesan yang seakan-akan menentang pemerintah. "Pokoknya, yang dilakukan pemerintah selalu dianggap salah." Maka, tak heran kalau Sudomo juga mengendus di kalangan para dissident tadi ada yang berusaha menjelek-jelekkan pemerintah RI di negeri orang. "Ini sangat riskan, apalagi kalau sudah menyangkut urusan bantuan dana dari luar negeri. Nanti kalau bantuan itu tidak tercapai, nah, bisa rusak. Maka, orang seperti inilah yang harus dicekal," ujarnya. Betulkah itu? "Tidak," kata Ali Sadikin, membantah. "Orang yang waras tak akan menjelek-jelekkan negerinya sendiri di luar negeri," tambah S.K. Trimurti, salah seorang penanda tangan Petisi 50 lainnya. Bahkan, kata Ali, kalau memang ada niat dari para penanda tangan Petisi 50 itu menjelek-jelekkan pemerintah, tak usah repot-repot ke luar negeri. "Negeri kita ini sudah seperti rumah kaca, dan sudah banyak penonton asingnya. Seperti kedutaan negara sahabat, perwakilan dagang asing, dan kantor-kantor berita asing." Ali Sadikin memang termasuk tokoh Petisi 50 yang sering diwawancarai wartawan asing. Maret lalu, ia juga diwawancarai oleh tujuh wartawan mingguan Time dari AS. "Tanya sama mereka, apa saya menjelek-jelekkan pemerintah," katanya. Wartawan yang sama itulah kemudian yang juga mewawancarai Presiden Soeharto, yang hasilnya kemudian diterbitkan Time April lalu. Benarkah "gugatan" bahwa kelompok-kelompok seperti Petisi 50 bisa mempengaruhi bantuan dana dari luar negeri? Banyak yang meragukan ini. Soalnya, sejak 1980 -- saat lahirnya Petisi 50 -- bantuan luar negeri rata-rata setiap tahunnya malah meningkat 14 persen. Mungkin karena itulah Ketua IGGI J.P. Pronk, yang bertandang ke Jakarta pekan ini, diberondong pertanyaan pers tentang soal ini. Pronk ternyata membeberkan fakta yang menarik: negara yang melaksanakan keterbukaan -- termasuk dimungkinkannya mengkritik pembangunan di negara tersebut -- malah memperoleh bantuan yang jauh lebih besar. Jadi, "Pembicaraan terbuka di dalam negeri maupun dengan pihak asing malah berdampak positif," ujar Pronk. Bukan itu saja. Sikap yang mengkhawatirkan bantuan negara donor akan terpengaruh oleh suara-suara para dissident bisa menjadi bumerang. "Banyak negara donor yang semakin kritis dengan adanya praktek pelarangan berbicara yang dilakukan beberapa negara berkembang. Tentu hal ini akan mempengaruhi pertimbangan mereka dalam memberikan dana pembangunan," katanya kepada Sandra Hamid dari TEMPO. Mungkin itu pula sebabnya, Profesor Yoshinori Murai dari Lembaga Kebudayaan Asia di Universitas Sophia, Tokyo, melihat pencekalan orang-orang tertentu pergi ke luar negeri tak banyak artinya. "Soalnya, informasi tentang Indonesia di luar negeri banyak sekali, lewat berbagai macam komunikasi," katanya. Menurut salah seorang sumber TEMPO di kantor Biro Kerja Sama Luar Negeri, Departemen Luar Negeri Jepang, Negeri Sakura itu memutuskan bantuan kepada negara berkembang lewat Official Development Assistance (ODA) dengan Empat Pedoman sebagai persyaratan utama. Yang pertama, apakah negara itu meningkatkan anggaran pertahanannya. Kedua, apakah negara itu membuat atau merencanakan pembuatan senjata nuklir atau senjata berskala besar. Lalu, apakah negara itu mengekspor senjata atau tidak. Terakhir, apakah negara itu menciptakan iklim demokratisasi dan memperhatikan hak-hak asasi manusia. Bagaimana tentang Indonesia? Ternyata, Indonesia dianggap baik. Pejabat dari kantor itu memuji politik pemerintah RI yang dianggapnya masih sejalan dengan Empat Pedoman tadi. "Mengenai keadaan hak-hak asasi manusia di Indonesia memang terdapat beberapa pendapat. Namun, kami menyadari bahwa pemerintah Indonesia, dengan pertimbangannya sendiri, sedang berusaha ke arah demokratisasi dan meningkatkan pembelaan hak-hak asasi manusia," katanya kepada wartawan TEMPO Seiichi Okawa. Lagi pula, katanya lagi, dari sudut sejarah, geografis, ekonomis, "Indonesia masih merupakan tujuan bantuan ekonomi Jepang yang perlu diprioritaskan." Memang, tampaknya bantuan negara donor untuk RI sejauh ini tak ada -- atau belum -- tanda-tanda bakal berkurang hanya gara-gara suara para pembangkang. Kabar terakhir yang dibawa Meneer Pronk, ancar-ancar bantuan IGGI untuk tahun ini diperkirakan sekitar US$ 4,5 milyar, atau sama jumlahnya dengan pinjaman tahun silam. Tampaknya, karena itulah pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, Afan Gaffar, menilai bahwa ulah para dissident sejauh ini belum terbukti benar mempengaruhi stabilitas nasional maupun ekonomi Indonesia. Sejauh ini, lembaga donor seperti IGGI, IMF, dan Bank Dunia, tetap memiliki komitmen untuk membantu perekonomian Indonesia. "Paling-paling lembaga donor tadi hanya memberikan catatan terhadap proses pembangunan di Indonesia, khususnya yang menyangkut aspek human right," katanya. Karena itu, Menteri Dalam Negeri Rudini melihat bahwa pemerintah tak perlu mengadakan rujuk dengan Kelompok Petisi 50. Karena kalau itu dilakukan bisa menimbulkan penafsiran seolah-olah ada perpecahan, "Padahal masalahnya biasa-biasa saja," ujarnya kepada wartawan Senin lalu di Gedung DPR, Senayan. Maka bisalah dimaklumi bila kemudian ada pihak yang menyayangkan masih adanya beleid cekal yang dianggap tak sejalan dengan era keterbukaan. Malah kemudian dipertanyakan juga, apakah kelompok Petisi 50 itu memang pantas disebut sebagai dissident. "Nggak enak soal istilah dissident itu," kata Ketua Umum PDI Soerjadi. Ia melihat apa yang dilakukan oleh Ali Sadikin dkk. bukanlah sikap pembangkangan. "Tetapi ini hanya beda pendapat," kata Wakil Ketua MPR/DPR itu. Begitu juga kata pakar hukum Nono Anwar Makarim, yang balik menuding bahwa Sudomolah yang justru telah melanggar hak praduga tak bersalah terhadap kelompok Petisi 50. "Belum ada keputusan dari pengadilan, ya hendaknya jangan buru-buru menjatuhkan vonis," ujarnya. Abdurrahman Wahid, Ketua PB NU, juga ikut mempertanyakan perlunya kejelasan hukum terhadap mereka yang dicekal itu, khususnya yang dicekal karena alasan politis. "Tolong, dijelaskan dari sudut hukumnya bagaimana," kata tokoh yang biasa dipanggil Gus Dur itu. Dia tak ingin mempersoalkan cekal secara an sich. Bagaimanapun, kata pemrakarsa Forum Demokrasi itu, "di semua negara ada daftar cekal yang biasanya dikenakan pada orang-orang kriminal." Hanya yang dipersoalkan di sini adalah daftar cekal untuk mereka yang dianggap aktivis politik. Apakah ketentuan ini masih dianggap layak pada era globalisasi seperti saat ini? Bahkan J.P. Pronk pun punya saran. "Melarang orang pergi ke luar negeri itu salah, karena bisa berakibat negatif. Orang-orang itu pergi berbicara di luar negeri karena cinta Indonesia. Tidak ada yang perlu ditakutkan," katanya pada pers Ahad lalu. Masalahnya sekarang, apakah ketakutan ini memang beralasan. Sampai-sampai mereka yang kena cekal pun tak tahu bahwa mereka masuk "daftar hitam", kecuali ketika mereka ditolak permohonan exit permit-nya. Nasib itu, misalnya, pernah menimpa Arief Budiman, ketika dosen Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga itu diundang menghadiri seminar di Kuala Lumpur, Malaysia, Februari 1991 silam. Setelah melalui proses yang berliku-liku, exit-permit untuk Arief keluar, tetapi ia terlambat menghadiri seminar tadi. Ketika mengumumkan soal clearance untuk Arief itu, Menteri Sudomo memberi pernyataan yang menarik: tak ada larangan untuk siapa pun, termasuk dissident, pergi ke luar negeri. "Ini kan negara demokrasi. Selama dia tak melakukan tindakan-tindakan yang berlawanan hukum, nggak ada persoalan," katanya. Bahkan, "Mau pergi ke bulan pun tidak ada yang melarang." Pernyataan Sudomo tentu saja menarik perhatian para anggota Petisi 50. Mereka, tentu saja, tak bermaksud pergi ke bulan. Selama ini, beberapa kali mereka terbentur larangan ke luar negeri ini. Itulah yang kemudian mendorong mereka untuk melakukan silaturahmi ke Dirjen Imigrasi dua pekan silam. Hasilnya sudah diketahui semua, nama mereka ada dalam daftar cekal, dengan alasan-alasan yang tadi. Sistem exit-permit, yang mewajibkan orang memperoleh izin bila pergi ke luar negeri, sebenarnya dianggap sudah usang di dunia internasional. "Di samping negara komunis, kita barangkali negara terakhir yang memberlakukan exit-permit," kata Nono Anwar Makarim. Memang, ada usaha pemerintah untuk secara bertahap meniadakan sistem ini. Pensiunan pegawai negeri, umpamanya, sejak tahun lalu telah bebas dari ketentuan exit-permit ini. Belum jelas, kapan ketentuan ini diberlakukan secara umum. Namun, menilik sikap Pemerintah -- seperti dinyatakan Menko Sudomo terhadap para dissident itu, ketentuan ini tampaknya masih akan lama bertahan. Sebenarnya, Pemerintah juga menawarkan jalan keluar. Para pembangkang itu boleh saja ke luar negeri, "Kalau mereka berhenti membuat tulisan-tulisan dan surat-surat yang isinya bernada penilaian dan tuduhan yang bisa mengakibatkan kekurangpercayaan masyarakat dalam dan luar negeri terhadap pemerintah," kata Rony. Masalahnya, bersediakah para dissident melakukan itu. Lalu, siapa yang harus "menilai" bahwa tulisan itu hanya sekadar kritik, atau sudah melampaui batas? Inilah yang oleh T. Mulya Lubis dikatakan, "Semuanya tergantung pada: siapa menginterpretasi apa." Sebuah kritik jika diinterpretasikan secara negatif bisa saja menjadi fitnah di mata yang menginterpretasikan. Namun, kalau pendekatannya dengan berpikir positif dan tak selalu curiga melihat sebuah kritik, kata Mulya Luis, kritik itu tetap sebagai kritik. Cekal, sebenarnya, tak selalu berlaku kekal. Dalam kasus-kasus khusus, para pembangkang tadi ternyata boleh juga pergi ke luar negeri. Misalnya, yang pernah dialami Ali Sadikin, yang pada 1986 sempat terbang ke Belanda ketika menengok istrinya (kini almarhumah) yang sedang sakit keras dan dirawat di sana. "Waktu itu saya pukul meja di kantor Imigrasi," kata Ali. Penanda tangan Petisi 50 lainnya, S.K. Trimurti juga dapat keleluasaan pergi ke AS pada tahun 1982 menengok anaknya yang sedang belajar di Universitas California, di Berkeley. Tahun berikutnya ia kembali lagi, juga tanpa halangan. Jenderal purnawirawan A.H. Nasution juga pernah "lolos" tatkala harus menjalani operasi jantung di AS pada 1986. Namun, pada 1988 ia gagal memenuhi undangan pemerintah Malaysia untuk menghadiri sebuah seminar di Kuala Lumpur karena "tercekal". Sedangkan Slamet Bratanata sempat menunaikan ibadah haji di tahun 1980 dengan pertolongan Alamsyah Ratu Perwiranegara -- yang ketika itu menjabat menteri agama. "Tanpa intervensi Alamsyah, saya tak bisa naik haji. Saya utang budi sama dia," kata Slamet mengenang. Namun, nasib Anwar Haryono tak semulus Slamet. Tahun lalu, permohonan exit-permit yang diajukan Anwar untuk menunaikan ibadah haji ditolak. Semuanya memang terkesan simpang-siur, tak ubahnya seperti cuaca yang belakangan ini sering berubah-ubah. Ahmed K. Soerawidjaja, Leila S. Chudori, Linda Djalil, dan Priyono B. Sumbogo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini