Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mencari ketua, menyiapkan suksesi

Ketua golkar diperebutkan untuk mengamankan suksesi lima tahun lagi? abri berusaha untuk memperoleh posisi itu. tapi, mengapa jabatan gubernur juga diincarnya? abri belum menampilkan calon ketua golkar yang berbobot.

8 Mei 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERITA terakhir dari bursa Ketua Umum Golkar: Harmoko muncul sebagai calon ''paling kuat'' (sementara). Konon, kata si empunya berita, Menteri Penerangan itu mendapat assignment dari Soeharto selaku Ketua Dewan Pembina Golkar. Isinya cukup penting dan strategis, Harmoko ditugasi memantau dan menyukseskan musyawarah daerah (Musda) dan musyawarah nasional (Munas) Golkar. Artinya, kalau di bulan puasa Harmoko biasa keliling daerah melakukan Safari Ramadan, mulai Juni mendatang menjelang berlangsungnya Musda dia akan mengadakan Safari Golkar. Ada analisa, dengan assignment ini, Harmoko mempunyai jalur untuk menggalang dukungan dari daerah. Dan itulah ''tiket'' untuk orang Nganjuk yang suka tampil all out dengan membuka baju segala dalam kampanye yang lalu untuk naik ke kursi Ketua Umum Golkar. Musyawarah Nasional Golkar diadakan 20-25 Oktober mendatang di Hilton Convention Hall, Jakarta. Toh Harmoko memang bukan satu-satunya calon. Banyak nama bertebaran kendati Munas masih enam bulan lagi. Persaingan terasa kian keras ketika dari Markas Besar ABRI, tak seperti biasanya, terdengar suara lantang. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Orde Baru, menjelang Munas Golkar, Panglima ABRI ikut bicara soal calon Ketua Umum Golkar. Jenderal Edi Sudradjat, yang juga Menteri Hankam, menegaskan bahwa Golkar sebagai single majority dianggap penting untuk kini dan lima tahun mendatang. Maka, ABRI akan mempertahankannya dan mempersiapkan sejumlah anggota Keluarga Besar ABRI sebagai calon Ketua Umum Golkar periode 1993-1998. Jumat pekan lalu di Jakarta, dalam sebuah acara yang diselenggarakan FKPPI, Jenderal Edi menegaskan kesiapan ABRI. ''Semua organisasi menyiapkan calon, juga ABRI. Banyak calon dari ABRI yang dipersiapkan. Ada sepuluh atau 12 orang. Semuanya bagus. Calon dari ABRI mana ada sih yang jelek,'' kata Jenderal Edi agak berseloroh. Dia menolak anggapan bahwa ABRI hanya menjagoi Kepala Staf Sosial Politik Letjen Harsudiyono Hartas. Mengapa jabatan orang nomor satu Beringin 1993-1998 nanti perlu diperebutkan? William Liddle, guru besar ilmu politik dari Ohio State University, AS, yang banyak mengamati hubungan sipil- militer di Indonesia, beranggapan bahwa peranan Golkar penting sebagai alat legitimasi suara rakyat dalam suksesi tahun 1998 mendatang. Itu adalah, katanya, masa Presiden Soeharto akan mengakhiri jabatan keenamnya sebagai presiden. Dalam salah satu skenario suksesi yang dibayangkan Liddle, Golkar punya peranan menentukan. ''Kelompok siapa yang menguasai Golkar, kekuasaannya mendapat legitimasi. Jadi, dengan skenario ini akan terjadi pertarungan memperebutkan jabatan Ketua Umum Golkar,'' kata Liddle kepada TEMPO, Jumat pekan lalu, melalui sambungan telepon internasional dari kampusnya di Ohio, Amerika Serikat. Maka, untuk jabatan sepenting Ketua Umum Golkar, yang turun gelanggang memang nama-nama ''kuat'' di pentas politik Indonesia saat ini. Ada Menteri Sekretaris Negara Moerdiono, orang Banyuwangi berusia 59 tahun, yang sudah mendampingi Pak Harto sejak tahun 60-an. Dia beranggapan, tantangan lima tahun mendatang semakin berat dan besar untuk Golkar. Maka, kata Moerdiono, yang diperlukan adalah memperluas wawasan masyarakat dan meyakinkan rakyat untuk menyetujui dan menumbuhkan program Golkar. Mau menerima jabatan Ketua Umum Golkar? ''Saya tidak akan berkomentar sedikit pun,'' ujarnya kepada Linda Djalil dari TEMPO. Calon lain dari lingkungan Sekretariat Negara adalah Sekretaris Militer Presiden Mayjen Syaukat Banjaransari. Dari Keluarga Besar ABRI ada pula bekas menteri, Rudini, dan Menko Polkam Soesilo Soedarman. Calon dari Mabes ABRI yang santer disebut, ya itu tadi, Letjen Harsudiyono Hartas yang tentu saja kalau terpilih akan segera dipensiunkan karena jabatan Ketua Umum Golkar tak bisa diisi ABRI aktif. Calon dari sipil memang hanya Menteri Penerangan Harmoko, yang banyak dijagoi berbagai kalangan untuk menggantikan Letjen (pur) Wahono, Ketua Umum periode 1988-1993. Mengapa Harmoko? ''Bersama Habibie, dialah orang yang sekarang ini paling dapat dipercayai Pak Harto, loyal dan bisa menangkap maksud Pak Harto dalam urusan politik. Kalau tidak, masakan dia dipercaya sebagai Menteri Penerangan sampai tiga kali,'' ujar sebuah sumber TEMPO. Tapi, sumber ini meragukan kemampuan Harmoko untuk merangkul semua pihak sebuah syarat yang dinilainya mutlak bagi seorang Ketua Umum Golkar. ''Soal kemampuan merangkul semua golongan, Harmoko masih jauh di bawah Sudharmono,'' katanya. Sumber TEMPO di Markas Besar Golkar di kawasan Slipi, Jakarta Barat, mengatakan bahwa susunan panitia Munas nanti juga dianggap bisa menguntungkan Harmoko. Sebagai Ketua Panitia adalah Ismael Hassan, salah seorang Ketua DPP Golkar, yang juga Ketua Umum DPP Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Sebelum aktif di Golkar, Ismael adalah pegawai negeri di Departemen Penerangan. Dia masuk di departemen itu tahun 1951 sebagai juru ketik dan terus berkarier sampai menjadi pejabat eselon I hingga 1988. Pada Muktamar Media Massa Islam se-dunia di Jakarta (1980), Ismael menjadi wakil sekretaris dan Harmoko sebagai ketua. Apa kata Ismael? ''Saya memang sudah lama kenal Beliau, tapi ini tak ada pengaruhnya untuk menjagokan. Semua tergantung Munas,'' kata ''kiai'' di lingkungan Golkar yang juga anggota Dewan Penasihat dan salah seorang pendiri Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) itu. Harmoko pun adalah salah seorang anggota Dewan Penasihat ICMI. Maka, lumrah saja kalau lingkungan ICMI menjagoi Harmoko. ''Kami jelas mendukung Harmoko,'' ujar seorang tokoh ICMI yang juga seorang Menteri Kabinet Pembangunan VI. Kendati begitu, Ketua Umum ICMI Habibie berkelit ketika ditanya apakah dia juga mendukung Harmoko. ''Saya mendukung semua orang,'' katanya pada acara halal bi halal ICMI di Hotel Indonesia Jumat malam pekan lalu. Malam itu Habibie bicara soal calon Ketua Umum Golkar. Dia menegaskan bahwa siapa pun yang jadi Ketua Umum Golkar nanti dia harus dilihat sebagai warga negara Indonesia yang terhormat. ''Ketua Golkar itu dipilih Munas dan yang dipilih adalah anggota Golkar. Kalau dia kebetulan bekas seorang jenderal atau kolonel, maka saat dia terpilih memimpin Golkar, dia bukan lagi anggota ABRI,'' kata Habibie. Karena, ujar Habibie melanjutkan, kalau dia tetap sebagai ABRI maka setiap kali akan mengambil kebijaksanaan sebagai Ketua Umum Golkar, dia harus melapor dulu ke Mabes. Rupanya Habibie ingin menghilangkan kesan adanya persaingan antara sipil dan militer soal Golkar ini. Faktor Habibie ini jelas tak bisa dipandang enteng. Menurut sebuah sumber yang dekat dengan ICMI dan Habibie, kelompok Habibie ini sudah lama mengincar jabatan Ketua Umum Golkar periode lima tahun mendatang. Dan dalam hal menggolkan personel yang dekat dengannya, itu sudah dibuktikan Habibie ketika susunan Kabinet Pembangunan VI diumumkan. Maka, kalau kelompok Habibie sudah menyatakan mendukung Harmoko, itu bisa jadi sebuah nilai plus untuk Harmoko. Nilai plus lainnya untuk Harmoko, ya itu tadi, assignment dari Pak Harto untuk memantau dan menyukseskan Musda dan Munas kalau benar surat tugas itu ada. Sebuah sumber TEMPO di Golkar membenarkan adanya surat tugas itu. Namun Menpen Harmoko, ketika ditemui TEMPO seusai menghadap Presiden Soeharto Kamis pekan lalu, menolak ada surat dari Pak Harto. ''Surat apa? Tadi Pak Harto tak membicarakan soal Munas Golkar. Semua kan tergantung Munas, mekanismenya ada di sana. Dan siapa bilang saya calon kuat,'' kata Harmoko. Konon, kabar bahwa ada surat tugas untuk Harmoko sudah pula bertiup sampai ke Markas Besar ABRI di Cilangkap, Jakarta Timur. Tapi, kalau ABRI lantas menyiapkan calon ketua umum, dari sudut pandang sejarah bukanlah hal yang janggal. Saat Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) dibentuk pada 1965, militer jelas berdiri di belakang pembentukan organisasi yang menentang rezim Soekarno yang dianggap dekat dengan kekuatan komunis itu. Bahkan jabatan ketua dan wakil ketua dari waktu ke waktu selalu diduduki oleh pejabat dari kalangan militer. Setelah Munas Golkar pada 1971, ada ketentuan bahwa hanya purnawirawan ABRI yang boleh menduduki jabatan Ketua Umum dan jabatan lain di Golkar. Namun, menurut William Liddle, dalam saat menentukan menjelang suksesi 1998 nanti, ABRI jelas tidak menghendaki lagi ketua umum dari Keluarga Besar ABRI seperti Sudharmono maupun Wahono. ''Sudharmono ternyata membangun basis politiknya sendiri, ABRI tak mau menggantungkan diri pada tokoh seperti Sudharmono,'' ujar Liddle. Sedangkan tokoh Wahono, bekas Gubernur Jawa Timur dan orang dekat Pak Harto sejak Pak Harto menjabat Panglima Kostrad, dinilai Liddle naik sebagai orang nomor satu Golkar atas dasar kompromi antara militer dan Soeharto. ''Wahono sendiri bukan orang yang bisa diharapkan sebagai tempat bergantung oleh ABRI,'' kata Liddle. Tapi siapa yang bisa diandalkan ABRI saat ini? Inilah pertanyaan besar di seputar Mabes ABRI sekarang ini. Pertanyaan ini tak hanya mengenai calon ketua umum Golkar, melainkan juga tentang jabatan gubernur di berbagai daerah (Lihat Memilih Gubernur yang Jenderal atau Bukan). Sebuah sumber yang dekat dengan militer menjelaskan, harus diakui bahwa sekarang ini tak ada calon dari ABRI yang sekuat dulu. Bahkan, kata sumber yang lain, acuan sosial politik yang dipakai ABRI kiranya sudah perlu diperbarui. Sudah saatnya ABRI tampil seperti ketika di awal masa Orde Baru, mengadakan Seminar Angkatan Darat yang hasilnya adalah, antara lain, konsep dwifungsi dan sospol ABRI. Maka, Letjen (pur) Sajidiman Soerjohadiprodjo, bekas Gubernur Lemhanas, menyatakan bahwa pernyataan Panglima ABRI tentang calon ketua umum Golkar sebagai perkembangan bagus. Karena hal itu adalah indikasi bahwa di kalangan non-ABRI telah terjadi kegairahan berpolitik, sehingga merangsang ABRI untuk ikut bersaing. ''Asal sehat, persaingan ABRI-sipil saya rasa baik -baik saja. Apalagi ini berkaitan dengan kualitas kepemimpinan di masa datang,'' ujar pengamat soal-soal militer ini. Sajidiman menilai, dalam persaingan kepemimpinan ABRI-sipil, pihak militer tidak mendapatkan sparring partner yang tangguh dari kalangan sipil, seperti pimpinan PNI di masa lalu. ''Akibatnya muncul pemimpin ABRI yang hebat-hebat, seperti Jenderal A.H. Nasution, Jenderal Achmad Yani, Gatot Subroto, dan Pak Harto. Sekarang ini, maaf saja, sulit untuk mencari pemimpin yang sekaliber Pak Harto dari kalangan ABRI,'' kata Sajidiman lagi. Pendapat ini bisa dianggap seperti menyalahkan kalangan sipil. Kalau diingat, melorotnya peranan politisi sipil boleh dibilang dimulai dari masa depolitisasi partai politik yang dijalankan pemerintah sejak awal tahun 1970-an. Barangkali, akibat trauma Orde Lama dengan adanya partai yang berasaskan ideologis atau kotak-kotak. Maka, di zaman Orde Baru, partai politik diikat dalam satu kesatuan ideologi, asas tunggal Pancasila. Praktis sejak itulah Golkar selalu tampil sebagai single majority dan parpol hanya ''pendamping''. Bukan rahasia lagi, pemimpin parpol pun diangkat atas ''restu'' Pemerintah. Dalam kondisi seperti itu jelas sulit mencari tokoh politik yang piawai dari kalangan parpol. Mencari calon pemimpin dari kampus pun kini bagai mencari jarum yang jatuh di lumbung padi. Sejak dilarangnya politik praktis di kampus dengan program NKK/BKK pada tahun 1978, praktis tak ada lagi tokoh kampus sekaliber Siswono Judohusodo, kini Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan, atau Sarwono Kusumaatmadja, kini Menteri Negara Lingkungan Hidup keduanya pernah aktif di Dewan Mahasiswa ITB, Bandung. Sementara itu, ABRI sendiri tak punya wadah diskusi dan pengkajian soal-soal sosial politik yang bekerja terus-menerus. Sejak Seminar Angkatan Darat di awal Orde Baru, praktis pemikiran sosial politik di ABRI hanyalah penjabaran dari hasil seminar itu. Dalam seminar-seminar kini kelihatan jelas bahwa pemakalah dari kalangan ABRI agak tertinggal. Tapi Letjen (purnawirawan) Hasnan Habib menilai sipil masih gamang untuk menetapkan pilihan pemimpin. ''Contohnya pemilihan wakil presiden. Justru ulama yang mencalonkan Pak Try, Golkar paling belakangan menetapkan pilihan. Ya, karena ragu-ragu itu,'' ujar Habib kepada Nunik Iswardhani dari TEMPO. Tentang Ketua Umum Golkar, Hasnan Habib menilai kunci jawaban tetap ada di tangan Pak Harto sebagai Ketua Dewan Pembina. Walhasil, siapa pun yang terpilih jadi Ketua Umum Golkar kelak, itu merupakan sebuah ujian untuk kelompok yang mendukungnya. Siapa yang berhasil mengegolkan calon ketua umumnya, itulah real power politik di sini setidaknya sampai 1998. Toriq Hadad, Ivan Haris, Wahyu Muryadi, Siti Nurbaiti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus