Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Peran politik abri diuji sosial politik abri

Peran sosial politik abri diawali sejak kelahirannya, 5 oktober 1945. ditandai dengan sikap jendral soedirman menolak menyerah kepada belanda. laporan utama, menampilkan tulisan soal dwifungsi, peran abri di golkar, wawancara harsudiono hartas, dan perebutan kursi gubernur.

8 Mei 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJAK kapan ABRI bergerak di bidang sosial politik? Jawabannya sederhana, sejak kelahirannya, 5 Oktober 1945. Sebab, menurut Salim Said dalam bukunya Genesis of Power, semasa perang gerilya 1945-1949, ABRI telah memainkan peran politiknya, baik ketika di bawah Sudirman maupun kemudian Nasution. Sikap Sudirman yang tak mau menyerah terhadap Belanda dianggap sebagai tindakan politik yang menentukan masa depan ABRI dan bangsa. Sudirman, selama masa revolusi, bukan sekadar memimpin militer bergerilya. Ia juga menggalang kekuatan rakyat untuk tak berkolaborasi dengan Belanda. Di samping itu, yang menonjol adalah perbedaan pendapatnya dengan kaum politikus di pemerintahan. Dan ini dijadikan acuan bahwa ABRI memang berpolitik sejak semula. Berdasarkan sejarah keterlibatan ABRI di bidang sosial politik itu, kemudian Nasution merumuskannya dalam konsep Middle Way, 12 November 1958. ''Posisi ABRI bukan sekadar alat sipil seperti di negara Barat, bukan pula seperti rezim militer yang menguasai negara. ABRI adalah salah satu kekuatan masyarakat sebagai kekuatan perjuangan rakyat yang bekerja sama dengan kekuatan rakyat lainnya.'' Dan konsep ini pula yang kemudian dianggap sebagai pangkal tolak lahirnya doktrin dwifungsi ABRI. Ini kian jelas dalam Seminar Angkatan Darat II (1965) yang melahirkan doktrin Tri Ubaya Cakti. Di sini bukan cuma dibicarakan ABRI sebagai kelompok fungsional, tapi juga digariskan kebijaksanaan yang perlu diterapkan dalam mengatur negara. Dwifungsi yang dianggap sebagai pegangan bagi ABRI untuk terjun ke dunia sosial politik tampaknya bergantung pula pada penafsiran boleh jadi dipengaruhi oleh situasi politik sesaat. Misalnya, saat ini dwifungsi bukan semata ditafsirkan sebagai tampilnya sejumlah perwira di posisi sipil. ABRI juga merasa punya tanggung jawab untuk menyelamatkan negara di bidang sosial politik. Dan hal itu terlihat belakangan ini, terutama dalam pergulatan untuk menampilkan calon pimpinan Golkar di pusat maupun daerah, dan beberapa fungsi eksekutif seperti gubernur atau kepala daerah dari kalangan ABRI. Pergulatan untuk melaksanakan dwi- fungsi itulah yang menjadi pertimbangan penulisan Laporan Utama ini. Bagian pertama tentu sekitar ramainya kemunculan sejumlah calon ketua Golkar yang sebagian besar datang dari keluarga besar ABRI. Posisi ini diperebutkan oleh berbagai kelompok kekuatan sospol karena dianggap strategis, paling tidak untuk lima tahun mendatang. Pengamat melihat, Golkar akan punya peran penting dalam mengamankan suksesi yang mereka ramalkan jatuh pada tahun 1998. Kegigihan ABRI untuk berperan di Golkar yang dilahirkannya bukan cuma kali ini. Secara aktif pernah dilakukan untuk meme- nangkan tiga pemilu pertama. Kala itu ABRI berkepentingan membesarkan dan memenangkan Golkar dengan berbagai cara. Sejak 1988, setelah mundur dari arena kampanye dan tempat pencoblosan, ABRI mulai mengirim perwiranya untuk memimpin Golkar di daerah dan pusat. Dalam bagian kedua ini juga terlihat bahwa ABRI meningkatkan perannya dalam Golkar lewat forum ''tiga jalur''. Untuk melengkapi seperti apa sikap ABRI dalam sosial politik, bagian ini dilengkapi dengan wawancara Kepala Staf Sospol ABRI, Letjen Harsudiono Hartas. Yang juga ramai adalah memperebutkan kursi gubernur. Dari 27 provinsi, 13 gubernur sudah dijabat perwira tinggi yang sudah pensiun atau masih aktif. Dan fenomena yang mencuat, ABRI lebih aktif meraih posisi itu, bukan cuma menunggu perintah. Perjalanan doktrin partisipasi sosial politik ABRI tampaknya akan mengalami pasang surut. Situasi dan kepentingan tentu yang akan menentukannya, walau alasannya sama, yakni demi kesejahteraan dan keselamatan bangsa. A. Margana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus