Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Turun naik di tiga jalur

Abri tampak giat berusaha memperebutkan kursi kepemimpinan golkar. sebagian ketua golkar di daerah dipegang purnawirawan abri. tiga jalur menjadi wadah peran sospol abri itu.

8 Mei 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUSIM pensiun ABRI tampaknya akan tiba menjelang Musyawarah Daerah (Musda) dan Musyawarah Nasional (Munas) Golkar Juni hingga Oktober ini. Para pensiunan dini itu disiapkan untuk ikut memperebutkan kursi kepengurusan Golkar di pusat dan daerah. Dan musim serupa pernah terjadi lima tahun lalu. Menjelang Musda dan Munas 1988, menurut sebuah sumber, ada sekitar 600 perwira (menengah dan tinggi) yang dipensiunkan dan diberi tugas untuk duduk di kepengurusan Golkar di daerah. Dan hasilnya, memang kelihatan bahwa sebagian pimpinan Golkar daerah periode 1988-1993 ini adalah purnawirawan ABRI. Di Jawa Barat, misalnya, Ketua DPD I dan DPD Tingkat II total 24 kursi semua diduduki purnawirawan ABRI. Bali juga begitu. Bahkan sejak mula Golkar, ketua tingkat provinsi dan delapan ketua lapis kabupaten dipegang tokoh yang berasal dari ABRI. Potret serupa, dengan berbagai variasi, juga terlihat di provinsi lain. Dan menjelang pilihan ketua Golkar provinsi dan kabupaten mendatang, tampaknya ABRI masih akan meneruskan ''tradisi'' lima tahun lalu itu. Apalagi kini ABRI kelihatannya sudah mulai meramaikan bursa pimpinan Golkar itu di seantero Indonesia. ''Kalau ditanya siapa yang mempersiapkan, semua organisasi mempersiapkan. Kalau diminta silakan, kalau tidak ya nggak apa- apa,'' ujar Panglima ABRI Jenderal Edi Sudradjat. Panglima Kodam III/Siliwangi Mayjen Muzani Syukur pun mengakui sedang mempersiapkan calon pengurus Golkar di Jawa Barat. ''Kami sedang mencari siapa yang kiranya pas dari purnawirawan yang kami miliki,'' kata Muzani. Agaknya, ormas pendukung Golkar pun masih menghendaki pimpinan dari ABRI. ''Kami tetap bertahan di jalur A,'' ujar Ketua DPD Wirakarya Ali Hasan. Contoh lainnya dari Jawa Timur. Jago-jago sipil agaknya belum bersinar di sana. Moh. Said, Ketua Golkar Ja-Tim yang kini berusia 72 tahun, masih cukup kuat pendukungnya. Mayoritas pengurus Golkar Tingkat II, tokoh-tokoh tua, masih segaris Said. Tokoh lainnya yang menonjol, Hasril Harun, pun purnawirawan ABRI berpangkat brigadir jenderal. ''Di Golkar Pusat muncul perlunya sipil tampil. Tapi Golkar Ja-Tim saya kira tetap dipimpin purnawirawan ABRI,'' ujar Ketua Kosgoro Ja-Tim, Jliteng Soejoto. Melejitnya barisan perwira ABRI di bursa kepengurusan Golkar, menurut Sarwono Kusumaatmadja, mantan Sekjen Golkar itu, bukan sesuatu yang mengagetkan. ''Banyak perwira ABRI sudah menjadi figur pemimpin di daerah. Mengapa aneh kalau mereka terpilih?'' ujarnya. Yang penting, seperti kata Sarwono, yang kini Menteri Negara Lingkungan Hidup, mereka itu terpilih setelah memenuhi kriteria dan mekanisme yang ada. ABRI aktif yang dicalonkan di musda, sesuai dengan keputusan Munas Golkar 1984, mesti berhenti dari ABRI dan melepaskan semua jabatan struktural yang dipegangnya. Calon dari ABRI harus sudah pensiun. Walau dari ABRI, mereka tak asal tunjuk seperti penugasan untuk menjadi komandan. Mereka harus lewat prosedur musda. Misalnya, DPD Golkar tingkat II, bersama komandan kodim dan bupati/wali kota setempat, menginventarisasi calon ketua dan sekretaris jauh sebelum musda. Nama-nama itu lima calon ketua dan lima calon sekretaris selanjutnya dibahas di tiga jalur Golkar pada tingkat provinsi, yakni panglima kodam, gubernur, dan ketua Golkar tingkat I. Dari musyawarah itu muncul satu nama ketua dan satu nama sekretaris, yang lalu dikembalikan ke musda tingkat II. ''Biasanya mereka segera terpilih,'' ujar sebuah sumber. Begitu halnya untuk memilih pimpinan Golkar tingkat provinsi DPD tingkat I. Nama-nama calon digodok oleh Ketua DPD I Golkar, bersama panglima kodam dan gubernur. Selanjutnya dibawa ke tingkat pusat, dan di sana ada musyawarah antara Ketua DPP Golkar, Panglima ABRI, dan Menteri Dalam Negeri. Itulah prosedur yang kemudian disebut sebagai kesepakatan tiga jalur. Istilah tiga jalur dikenal sejak Golkar pertama kali ikut Pemilu 1971. Nama yang masuk dalam daftar calon anggota DPR resminya disusun Bapilu (Badan Utama Pengendali Pemilu Sekber Golkar) yang dibentuk Asisten Pribadi Presiden, Ali Moertopo, pada 1970. Tapi, dalam prakteknya, Bapilu diketuai Mayjen Soeprapto Soekowati, waktu itu Ketua Umum DPP Sekber Golkar selalu berkonsultasi dengan ''tiga jalur'', tiga pilar utama pendukung organisasi sosial politik ini. Jalur A (ABRI) diwakili Kepala Staf Kekaryaan Hankam, jalur B (Beringin) oleh pimpinan Korps Karyawan Depdagri (kini birokrasi), dan jalur G (Golkar) diwakili utusan DPP Sekber Golkar. Sejak itu tiga jalur berperan, meski perimbangannya di dalam bisa lentur. Menurut Jenderal (Purn) Maraden Panggabean, yang pernah menjadi Ketua Presidium Harian Dewan Pembina Golkar, pada periode 1971-1977 Sekber Golkar (1973 jadi Golkar) lebih menonjolkan ABRI atau Jalur A. Pada Pemilu 1982, Golkar lebih menonjolkan Jalur B, dengan meluaskan stelsel keanggotaan aktif. Dan baru pada Pemilu 1987 yang tampil benar-benar Golkar (jalur G). ABRI menampakkan sikap netralnya. Ketika Golkar dipimpin duet Sudharmono-Sarwono sebagai ketua umum dan sekjen (1983-1988), nama tiga jalur jarang disebut. Berbagai keputusan, menyangkut kepengurusan dan calon anggota DPR/MPR, misalnya, disusun dari meja Sudharmono dengan mulusnya, dan tak terlalu banyak melibatkan forum tiga jalur itu. Dan pimpinan jalur lain, A (Pangab Jenderal L.B. Moerdani) dan B (Menteri Soepardjo Rustam), ketika itu juga tak terlalu ''direpotkan'' Golkar. Bahkan, menurut Sarwono ketika itu, perkembangan Golkar sudah mengarah ke ''saatnya organisasi itu disapih atau mandiri dari ABRI''. Dan ABRI pun, pada Pemilu 1987, tak begitu giat turun tangan untuk memenangkan Golkar seperti pemilu sebelumnya. Kembalinya ABRI aktif di Golkar mulai tampak setelah Sidang Umum MPR 1988, setelah Sudharmono terpilih sebagai wakil presiden. Salah satu alasannya mungkin karena jalur ABRI merasa tak diajak konsultasi soal pencalonan wapres ini oleh Golkar. Bahkan, menurut sumber TEMPO, tiga jalur (Rudini Try Sutrisno Wahono) pula yang mulai menggelindingkan agar purnawirawan diterjunkan ke Golkar di berbagai lapisan. Mekanisme tiga jalur memang hidup, membahas berbagai masalah Golkar di pusat dan daerah, mulai dari penyusunan daftar calon anggota DPR/MPR, pengurus Golkar, pencalonan presiden, wakil presiden, pencalonan gubernur, sampai berbagai materi perundang-undangan yang akan dibahas di DPR/MPR. Namun, kini aktifnya ABRI di Golkar dengan menghidupkan tiga jalur itu, menurut Sarwono, tidak bisa ditafsir sebagai pertarungan antara ABRI dan Golkar. ''Semua adalah keluarga besar Golkar. Dan ABRI bukan orang asing bagi Golkar.'' Dalam sejarahnya, Golkar memang dilahirkan oleh ABRI. Bermula ketika para pimpinan Angkatan Darat menilai komunis kian mesra dengan pimpinan negara. Front Nasional lembaga yang dibangun untuk mendukung aksi-aksi revolusioner Presiden Soekarno dijadikan ajang perebutan pengaruh partai-partai politik. Lewat pertemuan tengah malam 19 Oktober 1964, bergabunglah 35 organisasi nonafiliasi dalam Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Tangan AD tampak dalam susunan Dewan Pimpinan Harian Sekber Golkar. Yang duduk sebagai ketua adalah Brigjen Djuhartono, dengan wakil ketuanya Mayjen Djamin Ginting dan Mayjen Suprapto Sukowati. Kelompok yang merupakan alternatif baru dalam kehidupan politik Orde Lama itu mendapat sambutan hangat. Esok harinya, sudah 97 organisasi menyatakan bergabung ke Sekber Golkar. Ada organisasi wanita, buruh, sarjana, tani, seniman, sampai perkumpulan warga peranakan asing, campur aduk. Ada pula organisasi gurem macam Persatuan Karyawan Radja Farma dan Korps Penilik Pegadaian Indonesia. Menjelang 1966, jumlah organisasi yang menjadi anggota Sekber Golkar meningkat jadi 128. Lalu naik lagi tahun berikutnya, sampai mendekati 300. Ini tentu mengundang masalah, bahkan cenderung melenceng dari tujuan pembentukan Sekber Golkar itu sendiri. Mulailah dilakukan pengelompokan ulang. Upaya penyiangan ini mula-mula terhambat justru karena heterogenitas Sekber Golkar, hingga masih tertinggal 201 organisasi. Baru pada 1969, Ketua Umum Sekber Golkar Soekowati berhasil mengelompokkan 201 organisasi itu menjadi 7 Kino (Kelompok Induk Organisasi): Kosgoro, Soksi, MKGR, Ormas Hankam, Karya Profesi, Gakari, dan Karya Pembangunan satu-satunya Kino yang dipimpin bukan militer, yakni Sumiskum. Dalam perjalanannya, yang menonjol dan tetap memperlihatkan ciri-cirinya sebelum reorganisasi adalah Kosgoro, Soksi, dan MKGR, atau sering disebut Trikarya. Pada Munas I Golkar 1973 di Surabaya, Kino-Kino resmi ditiadakan, dan sifat federasi pun habis. Landasan historis Golkar dilahirkan ABRI belakangan ini bergema lagi. Bahkan Panglima ABRI Jenderal Edi Sudradjat pekan lalu sempat mengingatkan bahwa ABRI adalah cikal bakal Golkar. Tentang menonjolnya ABRI di kepengurusan Golkar, ''Saya kira itu karena hubungan historis. Sejak semula, keberadaan Golkar kan mendapat dukungan ABRI?'' ucap Brigjen (Purn) I Dewa Gde Oka, Ketua DPD Golkar Bali. Menurut Oka, ia tak pernah mendapat instruksi Mabes ABRI untuk masuk ke DPD Golkar. ''Semuanya ditentukan musda,'' katanya kepada Putu Wirata dari TEMPO. Namun sumber lain menyebutkan, masuknya personel ABRI ke dalam jajaran pimpinan Golkar di daerah itu sebagai sesuatu yang direncanakan dan kehendak ABRI. Dan unsur lain pendiri Golkar pun kini tampaknya bak menagih janji setelah organisasi sosial politik itu berturut-turut memenangkan pemilu. Bukan cuma di forum nasional, tapi juga sampai ke lapis daerah. Dari Jawa Tengah, misalnya, muncul kritik begini: ''Sekarang ini yang menonjol dari jalur Korpri dan jalur ABRI. Mereka kurang memberi peran pada beberapa ormas Kino Golkar, yakni Soksi, MKGR, dan Kosgoro, yang merupakan cikal bakal Golkar,'' ujar sumber di DPD Golkar Jawa Tengah. Suara itu lantas diluruskan oleh Soeparto, Ketua Golkar Ja-Teng yang kebetulan bukan purnawirawan ABRI. ''Semua ormas dan jalur Golkar dirangkul,'' katanya. Bagaimana dengan calon ketua DPD mendatang? ''Idealnya yang berasal dari jalur Golkar murni. Dulu, karena kader Golkar kurang, kita sering mengambil dari jalur ABRI dan birokrasi. Tapi, sekarang kader Golkar sudah banyak yang mampu memimpin Golkar,'' lanjut Soeparto. Gubernur Ismail pun meramalkan kursi DPD Golkar Ja-Teng periode yang akan datang masih dipegang sipil. ''Sampai saat ini belum ada permintaan dari pihak ABRI untuk menduduki kursi Ketua Golkar Ja-Teng,'' kata Ismail. Kini ada sekitar 35 juta kader pemegang kartu anggota Golkar dan 10 juta kader yang tersebar di 27 provinsi dan 299 kabupaten. Tentu banyak di antara mereka yang ingin menggapai puncak piramida kepemimpinan Golkar. Ardian Taufik Gesuri, Heddy Lugito, Ahmad Taufik, dan Zed Abidin

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus