Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Berita Tempo Plus

Mencari putih dari yang hitam

Para pengurus yang dipilih menjelang penutupan muktamar ke-27 tergolong generasi muda, yang diharapkan akan membawa angin segar bagi nu. mereka ialah Abdurrahman Wahid, Achmad Siddiq & Fahmi Dja'ffar.(nas)

15 Desember 1984 | 00.00 WIB

Mencari putih dari yang hitam
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
BANYAK muka baru tampil dalam kepengurusan PBNU. Beberapa Yang dipilih oleh Majelis Istisyari yang dipimpin Kiai As'ad itu memang tergolong "generasi muda" dalam jajaran ulama NU. Pengurus yang dipilih menjelang penutupan muktamar di Situbondo Rabu la1u - sembilan orang untuk Syuriyah dan sembilan untuk Tanfidziyah - diharapkan akan membawa angin segar bagi NU. Achmad Siddiq, Abdurrahman Wahid, dan Fahmi Dja'ffar termasuk pimpinan muda tersebut. Pagi itu, 7 Desember, K.H. Achmad Siddiq, 58, asyik menggenjot argocycle. Dengan iringan lagu-lagu rock Michael Jackson, Pak Kiai - demikian panggilan sehari-hari di lingkungan Pesantren As-Siddiqiyah, Jember - mengenakan sarung putih, piyama putih, dan koplah hali warna puth luga, mengayuh sepeda "tidak jalan" itu. "Setiap pagi saya memang bersepeda di tempat," katanya, "tapi tidak berani keras-keras dan terlalu lama. Paling 10 menit." Kecuali senam pagi, Kiai Siddiq juga punya kegemaran lain: musik pop. "Saya senang lagu apa saja," katanya, "saya ingin tahu keindahan." Di ruang kerjanya - bagian loteng rumahnya di Jalan K.H. Siddiq Jember - kecuali penuh dengan buku dan argocycle yang bertengger - juga tersimpan dengan rapi ratusan kaset musik pop. Koleksinya antara lain Bimbo, Ramona Purba, Raymond Lefevre, Azizah Djidal, Fairuz, Michael Jackson, dan Paul Mauriat. "Banyak inspirasi yang muncul justru setelah mendengarkan musik," katanya. Masa kanak-kanak, Siddiq belajar agama kepada ayahnya, K.H. Siddiq. Mengin jak remaja, ia dikirim menuntut ilmu di Pesantren Tebuireng, Jombang. Empat orang guru yang dikaguminya: K.H. Siddiq, K.H. Hasjim Asy'ari, K.H. Wahid Hasjim, dan K.H. Hamid. Yang dipegangnya, katanya, nasihat K.H. Wahid Hasjim, ayah Abdurrahman Wahid. "Carilah yang putih dari yang hitam," katanya menirukan nasihat sang guru, "setiap hari kamu harus mendapatkan pengetahuan." Karenanya, Kiai Siddiq lantas membaca banyak buku. Ia pernah memegang pimpinan Ansor dan Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) setelah dibentuk Masyumi. Setelah menginjak dewasa, Achmad Siddiq ikut memimpin Masyumi dan NU. Seusai Pemilu 1955, ia terpilih menjadi anggota DPR, dan pada Pemilu 1971 terpilih menjadi anggota DPRD I Jawa Timur. Ketika K.H. Wahid Hasjim menjadi menteri agama, ia diajak menjadi staf pribadi. Tahun 1977, kakaknya, Abdullah Siddiq memintanya untuk kembali ke pondok dan meninggalkan gelanggang politik. Kini ia meneruskan memimpin pesantren pemnggalan ayahnya yang terdiri dari empat pondok, dengan sekitar 2.000 santri. Pesantren itu ia pisahkan menjadi "Astra" dan "Astri". Artinya, As-Shiddiqi putra dan As-Siddiqi putri. Kiai yang masih suka menyetir sendiri mobil jipnya itu mengaku seorang otodidak. Ia banyak membaca buku Imam Ghazali. Sang imam dianggapnya sebagai orang yang belajar ilmu hukum agama sampai mcnladi ahli hukum (uqaha), ilmu batin (tasawuf) sampai menjadi sufi. Bahkan Imam Ghazali, setelah banyak belajar filsafat, menjadi filosof. Kiai Siddiq, agaknya, banyak mcngikuti jejak Imam Ghazali itu, menjadi ahli hukum, filsafat, dan paham betul soal tasawuf. Tidak kurang dari Kiai As'ad sendiri, konon, menjulukinya sebagai "dukun", karena ia paham betul soal tasawuf. Bintangnya mulai menanjak sejak Munas NU di Situbondo akhir tahun lalu, ketika ia memaparkan mengapa NU bisa menerima asas Pancasila. Pancasila memang tidak bisa disamakan kedudukannya dengan agama. Dasar agama ialah wahyu Tuhan, ada nabi, dan kitab suci, serta bersifat universal di dunia dan akhirat. Yang penting, katanya, Pancasila tidak bertentangan dengan Islam. Bekerja untuk negara berarti sudah beribadat, apakah sebagai tentara, pegawai negeri, pedagang, buruh, dan lain-lain. Salah seorang tokoh muda yang duduk di pucuk pimpinan NU adalah Abdurrahman Wahid, 44. Kiai yang sebelumnya sudah menjabat katib awwal pada organisasi itu di lingkungan pesantren dikenal dengan panggilan Gus Dur. Di luar NU, ia dikenal sebagai kolumnis, budayawan, seniman, dan mempunyai pola pemikiran yang orisinil di bidang keagamaan. Selesai pendidikan sekolah dasar di Jakarta, 1953, ia meneruskan ke SMEP di Yogyakarta, 1956. Seterusnya ia masuk Tcbuireng, Jombang, sampai 1963. Pendidikan lain yang sempat diikuti ialah Department of Higher Islamic and Arabic Studies, Universitas Al-Azhar, Kairo. dan lakultas Sastra Universitas Baghdad, Irak. Sebenarnya, sekembalinya dari Irak, ibunya ingin agar Gus Dur memimpin Pesantren Tebuireng, peninggalan ayahnya dan pesantren milik ibunya di Denanyar. Ia sempat menjadi sekretaris Tebuireng 1974-1979. Setelah itu ia ke Jakarta dan membuka pesantren di Ciganjur, yang direncanakan di atas tanah 5 ha. Bila pesantren itu sudak komplet, para santri yang terdiri dari para mahasiswa - terutama dari UI yang akan punya kampus berdekatan - dipersiapkan untuk mendampingi para ulama dengan pemikiran intelektual. Tampilnya Gus Dur dalam pimpinan kepengurusan NU dianggap kurang sreg oleh bebcrapa tokoh NU. Pemikirannya dianggap agak nyeleneh, berbeda dengan budaya pemikiran NU. Tapi siapa tahu, Gus Dur akan melunak nanti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus