Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Berita Tempo Plus

Selama al-barzanji masih dibaca...

Beberapa pendapat para tokoh tentang hasil Muktamar NU ke-27 yang mengundurkan diri dari gelanggang politik. (nas)

15 Desember 1984 | 00.00 WIB

Selama al-barzanji masih dibaca...
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
NAHDATUL Ulama organisasi yang tak teguh? Organisasi Islam yang didirikan pada 1926 ini, pada mulanya, bersifat nonpolitik. Pada zaman awal kemerdekaan, NU bergabung dengan partai Islam, Masyumi. Lalu, pada 1952, NU keluar dari Masyumi dan bermain politik atas namanya sendiri. Dan tercatatlah, di zaman Orde Lama NU menerima Nasakom. Bahkan memberikan sebutan untuk Bung Karno, Pemimpin Besar Revolusi, sebagai waliul amri dharuri bi syaukah. Di zaman Orde Baru, ketika partai-partai politik difusikan, NU pun masuk PPP. Pada mulanya, NU mendapatkan kursi mayoritas di PPP. Tapi di awal 1980, NU pun terdesak, terpaksa membagi kursi dengan rekan lainnya. Sejak itu tampaknya NU mulai berpikir untuk meninggalkan gelanggang partai. Soalnya, bukan cuma NU terpepet, tapi masalah-masalah dalam PPP menyebabkan NU terancam perpecahan pula. Maka, gejala itu menjadi kenyataan dalam Munas NU di Situbondo, Jawa Timur, tahun ini: kembali ke khittah 1926. NU, resmi kembali jadi organisasi sosial dan keagamaan. Ada yang mengatakan, semua gerak loncat NU itu tampaknya memang upaya menjaga keutuhan NU, agar eksistensmya teriamin. Dengan demikian, memang terkesan bahwa NU organisasi yan selalu goyang, cuma cari selamat. Benarkah begitu ? Berikut berbagai pendapat tentang NU, yang kini mengundurkan diri dari gelanggang politik. MAHRUS IRSYAM, 40, dosen pada Fakultas llmu Sosial dan llmu Politik Ul. Orang kelahiran Salatiga, Jawa Tengah,yang dibesarkan dalam kalangan Muhammadiyah ini tampaknya tertarik melakukan studi tentang NU. Sebuah bukunya, Ulama dan Partai Politik (Yayasan Perkhidmatan, 1984), adalah hasil studi itu. NU kembali ke jam'iyyah itu merupakan solusi terbaik. NU lebih bisa membaca situasi. Berbeda dengan Muhammadiyah, dalam menghadapi persoalan, NU bersandar pada hal-hal teknis. Artinya, tidak langsung berpegang secara legalistis pada Quran dan Hadls. Tapi berpegang pada mazhab empat ulama besar Syafi'i, Hanafi, Maliki, dan Hambali. Ini bukan kejumudan. Tapi, justru di situlah letak elastisitas NU. Dan elastisitas itu adalah potensi utama NU. Itu sebabnya NU mau menerima Nasakom, misalnya. Dasarnya, bahwa pimpinan-pemerintah itu harus diikuti. Batasnya, asal tidak mengarah ke arah kekufuran. Contoh elastisitas NU yang lain ialah membolehkan kodok dibudidayakan, tapi tak membolehkan umat makan kodok. Kalau dilihat hanya dari sisi politik, ya, NU bisa dianggap ambivalen. Tapi kalau ditelusuri lebih mendalam, ternyata tidak. Yang penting nilai-nilai yang menggerakkan aksi dan sikap NU itu. Persoalannya sekarang, NU mesti mengutamakan bidang garap teknologi dan manajemen yang baru. Di sini NU bisa menjadi agen modernisasi. Contohnya, bila pemerintah memberikan bantuan pompa kepada masyarakat di Lampung, misalnya, warga NU mestinya mengambil bagian mengenalkan sistem pemeliharaan pompa itu. Misalnya, dengan membuka bengkel pompa. Di kota NU bisa menggarap gelandangan. Gaya hidup untuk menggarap gelandangan itu dimiliki NU. Dengan demikian, NU lebih bisa menyerap kekuatan dari mana Fun Setelah jadi organisasi lam'lyyah, tentunya tak ada lagi kecurigaan dan keterikatan dari dan pada pemerintah. Maka, tahlilan, khaul, pengajian yang dulu bisa jadi sarana politik, mestinya kini Jadi sarana menyejahterakan masyarakat. LUKMAN HARUN, 50, juru bicara Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Ia menganggap, kembalinya NU ke khittah 1926 sebagai hal yang logis. Saya kira kini NU lebih bisa berhasil, karena dalam politik ia gagal. Malah mereka menelan kepahitan karena rnengalaml perpecahan. Lebih baik NU berlomba beramal dengan Muhammadiyah berpedoman pada ayat Quran, fastabiqul khairat, berlomba-lombalah dalam hal kebaikan. Persoalannya, apakah NU bisa melepaskan dari ikatan politik yang selama ini biasa dilakukannya. Tapi, memang, tindakan NU sekarang ini, dalam kondisi politik seperti ini, bagus. Dengan demikian, tidak ada lagi partai Islam. MUHAMMAD DAWAM RAHARDJO, 42, direkturLembaga Penelitian dan Pengembangan Pendidikan, Ekonomi, dan Sosial (LP3ES). Memang terkesan NU, secara politis, bersikap oportunistis. Itu memang sudah jadi kultur NU, yang oleh orang NU sendiri tidak dirasakan sebagai sikap oportunistis. Sebenarnya, dalam praktek, NU itu lebih sekularistis. Artinya, NU memisahkan antara masa lah agama dan bukan agama atau duniawi.Masalah yang terakhir itu misalnya soal politik kenegaraan. Misalnya, negara ini menjadi kerajaan, NU akan tetap menyesuaikan diri, sepanlang negara tak menganjurkan kekafiran. Orang NU terbiasa berpikir dengan kaidah-kaidah hukum fiaih. Dan fiaih itu hanya mengatur aspek tertentu saja, yaitu yang ditulis dalam fiqih khilafah, yang sangat terbatas dan belum berkembang. Di luar itu, NU menganggap bukan masalah agama, karena itu bisa lebih bebas dipikirkan. Berbeda dengan Masyumi, misalnya, yang ingin mewarnai sistem politik dengan nilai-nilai Islam. Jadi, misalnya ada konsep yang tak sesuai dengan konsep mereka, Masyumi akan menolaknya. NU lain. Dia akan setiap kali melakukan legitimasi dan delegitimasi dari satu pemerintahan. Pola berpikir NU seperti itu yang membuat organisasi ini fleksibel. Langkah NU sekarang ini sebenarnya akibat dari terjunnya NU dalam politik. Di masa lalu, itu membawa konsekuensi para kiai aktif di bidang politik. Pesantren kehilangan bapak. Eksistensi pesantren terancam. Tapi sekarang NU pun menghadapi masalah: bagaimana menangani tokoh-tokoh NU yang sudah menjadi politisi. Mereka mau disalurkan ke mana? Juga, jadi persoalan, ke mana NU menyalurkan suaranya. K.H. TOHIR WIDJAYA, 68, pengasuh Pesantren Al Kamal, Blitar dan Jakarta. Tokoh ini dulu dikenal sebagai orang NU, tapi pada 1977 ia masuk Golkar. Saya menilai, terjunnya NU dalam politik itu salah. Karena kemudian banyak ulama kehilangan fungsi dalam umat. Ulama terlalu asyik berpolitik melalaikan umat, pesantren, dan masjidnya. Tadi, kembalinya NU kekhittah 1926 adalah baik. Berarti, NU kembali ke fungsinya semula. Harapan saya agar NU kembali jadi wadah umat, dan bisa meniru Nabi Muhammad dalam melaksanakan tugas sehari-hari. Bagi saya, NU akan saya pertahankan dalam hati saya sampal matn Saya masuk Golkar justru ingin membuktikan, dakwah Islam lebih hidup melalui Golkar. Sebenarnya hal cenerri itu yang membuat NU bisa tetap ada sampai sekarang. Sebab, jika NU jadi partai politik saja, kapan saja bisa ditumpas. RIDWAN SAIDI, 42, ketua Departemen Organisasi, Keanggotaan, dan Pemilu Dean Pimpinan Pusat PPP. Sarjana dari Fakultas llmu Sosial dan Politik Ul ini pernah menjadi ketua umum Himpunan Mahasiswa Islam. NU bisa bertahan sampai sekarang ini karena NU merupakan kelompok tradisional dengan basis petani dan pedagang menengah ke bawah. Hingga, NU memiliki ciri solidaritas tinggi. Apalagi, kemudian solidaritas itu masih direkat dengan ikatan mazhabiyah. K.H. Idham Chalid pernah menyatakan pada ulang tahun NU ke-50, bahwa selama Al-barzanji masih dibaca orang, NU masih akan tetap ada. Tapi itu pula yang membuat NU kelihatan seperti, dalam bahasa yang tak enak, bunglon. Tapi yang diputuskan NU adalah sah menurut mazhab yang mereka anut sepanjang tak berkaitan dengan keimanan. Ini yang membuat NU lebih bisa lincah dan luwes. Apalagi di dalam NU dikenal yang disbut konsp darurat, yang biasanya dikaitkan dengan kemas lahatan umat. Tapi saya pun tak yakin NU akan membuat keputusan hitam-putih. Saya kenal NU dan ambivalensinya. Saya kira NU masih akan aktif di PPP, terutama di daerah. Hanya, tentu saja, tak ada statement dari PB NU, misalnya seperti pemilu yang lalu yang mengharuskan warga NU menusuk PPP.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus