Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Mencetak Petani Berdasi

Sekolah pertanian kembali diminati setelah mengubah orientasi. Untuk jadi penyuluh pertanian maupun wiraswasta.

4 Februari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Langit masih kelam ketika sejumlah anak muda dengan mengenakan werkpak berduyun-duyun menuju kebun. Sebuah wisata kebun pada pagi hari? Bukan. Dari seriusnya—walau sesekali teriakan canda dan tawa terdengar—para remaja itu melakukan aktivitas menanam sayur, melakukan pembibitan karet, dan mencangkul, mereka jelas bukan sedang berdarmawisata.

Mereka adalah siswa Sekolah Perta-nian Pembangunan Negeri (SPPN), Sembawa—30-an kilometer dari Palembang—yang sedang berpraktek menjadi petani. Setiap pagi selama empat jam mereka berkubang tanah sebelum masuk kelas. Hal serupa dilakukan seusai pelajaran sore hari. ”Siswa memang dituntun lebih banyak di lapangan untuk praktek,” kata Martini Yulia, Humas SPPN di Kabupaten Banyuasin itu.

Jumlah calon petani dari Sembawa saat ini tidak sedikit. Ada 422 orang yang terbagi dalam tiga jurusan, yaitu perkebunan, penyuluhan, serta tanaman hortikultura dan pangan. Karena akan terjun sebagai petani, mereka tak boleh jauh dari tanaman asuhannya. Jadi, mereka tinggal di asrama dan ketika libur pun mereka tetap merawat tanamannya secara bergilir.

Sekolah pencetak petani tidak sedikit. Ada 79 SPP. Ada yang milik Departemen Pertanian, pemerintah daerah, ada yang swasta. Selain itu, masih ada 210 sekolah menengah kejuruan (SMK) pertanian yang berada di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional.

Target utama lembaga pendidikan pertanian ini adalah mencetak lulusan berketerampilan tinggi yang siap menjadi petani. Sayangnya, target itu tak terpenuhi. Dengar saja keluhan dari Kupang. ”Saya kira hanya lima persen lulusan SPP yang menjadi petani,” kata Cornelis Kaho, Wakil Kepala SPP Negeri Kupang.

Penyebabnya, profesi petani dianggap tidak membanggakan. ”Anak muda sekarang tidak mau menjadi petani. Mereka beranggapan, profesi petani sudah ketinggalan zaman,” kata Momon Rusmono, Kepala Pusat Pengembangan Pendidikan Pertanian Departemen Pertanian. Hal itu juga dirasakan Direktur Pembinaan SMK Departemen Pendidikan Nasional, Joko Sutrisno. ”Citra pertanian yang identik dengan ndeso dan cangkul membuat generasi muda enggan masuk SMK pertanian,” katanya.

Itu sebabnya, pamor sekolah menengah pertanian merosot drastis dibandingkan SMK jurusan otomotif atau teknik lainnya. Jumlah peminat menurun, sehingga banyak sekolah ditutup atau dialihkan menjadi sekolah umum. SPP di Jawa Timur, misalnya, saat ini tinggal tujuh buah. Bandingkan dengan sebelum tahun 1980-an yang tersebar di setiap kabupaten.

Hal serupa terjadi di SPP Kupang, Nusa Tenggara Timur. Sampai tahun ajaran baru 2006, sekolah ini tidak dilirik. Meski jadwal pendaftaran murid baru diperpanjang sampai dua bulan, yang terjaring hanya 30 orang. Jadilah, 50 kursi dibiarkan melompong.

Turunnya minat itu juga dipicu perubahan kebijakan pemerintah. Semula lulusan sekolah ini banyak terserap menjadi penyuluh pertanian di desa-desa. Namun, sejak era otonomi, daerah yang bertanggung jawab mengelola penyuluhan tidak lagi melakukannya.

Padahal, sebagai negara agraris, Indonesia memerlukan banyak tenaga yang menguasai teknologi modern untuk meningkatkan produk pertanian. Karena kebutuhan ini tak terpenuhi, kontribusi bidang pertanian untuk pertumbuhan ekonomi sangatlah kecil, hanya 18 persen. Padahal ada 45 juta tenaga kerja—hampir seperempat penduduk Indonesia—yang berkutat di sektor ini.

Dengan kondisi seperti itu, sejak dua tahun lalu pemerintah mencoba memperbaiki pendidikan kejuruan pertanian. Diharapkan ini bisa menjadi salah satu penggerak kemajuan ekonomi di desa. Departemen Pendidikan, misalnya, mengubah citra sekolah pertanian dengan mengganti nama menjadi SMK Agroindustri. Tampak lebih mentereng, bukan? Di samping itu, dibuka pula jurusan baru seperti budi daya pertanian, teknologi hasil pertanian, perkebunan, kesehatan hewan, dan penyuluhan, sehingga lulusannya tidak melulu bisa bertani tapi juga bagaimana mengolahnya menjadi bahan jadi.

Pemerintah pun sejak tahun ajaran 2007 memberikan beasiswa kepada semua murid SMK, baik negeri maupun swasta. Jumlahnya Rp 65 ribu per bulan. Departemen Pertanian juga menyiapkan lapangan kerja untuk 4.000 lulusan sekolah pertanian sebagai penyuluh di desa-desa per tahun. Total kebutuhan penyuluh pertanian amat besar, 42 ribu orang. Mereka diikat sebagai karyawan lepas dengan masa kontrak setahun dan digaji Rp 1,1 juta per bulan.

Menurut Momon, para penyuluh ini tidak akan diangkat menjadi pegawai negeri. Tapi kontrak mereka akan diperpanjang setiap tahun, setelah dilihat kinerjanya. Dari 6.000 tenaga penyuluh, hanya 30 orang yang kontraknya tidak diperpanjang karena prestasinya buruk.

Tawaran menggiurkan ini segera mendapat respons. SPP Kupang, yang biasanya mencari murid, kini harus menolak peminat. ”Jumlah peminat ratusan, padahal kapasitas kami tetap 80 siswa,” kata Cornelis Kaho.

Memang tidak semua sekolah merasakan keberhasilan itu. SMK Pertanian Kornita, yang berada di dalam kampus IPB Bogor, tetap saja sepi peminat. Murid kelas 1 hanya 32 orang, kelas 2 bahkan hanya 11, sedangkan kelas 3 ada 20 murid. Padahal murid di sini bisa praktikum menggunakan fasilitas milik IPB dan lulusannya langsung mendapat pekerjaan.

”Kesan bahwa sekolah ini hanya melahirkan petani membuat kami sepi peminat,” kata guru komputer, Syahrudin Hidayat. Sekolah milik IPB ini tidak lagi mendapat bantuan dari induknya, sejak perguruan tinggi pertanian itu menjadi badan hukum milik negara (BHMN).

Selain menyediakan lapangan kerja sebagai penyuluh kontrak, pemerintah tetap mendorong murid SPP menjadi wirausahawan. Mereka diiming-imingi bantuan modal usaha Rp 20-30 juta bagi 123 lulusan terbaik SPP dari Departemen Pertanian. Kegiatan bisnis juga sudah mulai diperkenalkan sejak siswa belajar.

”Kami sebenarnya tidak hanya ingin menyiapkan penyuluh, tapi juga petani yang terampil dan memiliki naluri bisnis,” kata Joko Sutrisno.

Di SPP Sembawa, murid yang menjalani praktek kerja usaha diharuskan membuat proposal secara berkelompok. Sekolah kemudian menyediakan modal dan lahan, sedangkan siswa berkewa-jiban menangani proyek, mulai dari penanaman sampai pemasarannya.

Metode lain diterapkan di SMK Negeri 1 Purwosari, Pasuruan, Jawa Timur. Sekolah bertaraf internasional ini menyiapkan ”juragan kecil” dengan membiasakan murid menanam berbagai sayur dan memasarkannya sendiri ke pasar. Sekolah juga menjalin kerja sama dengan pedagang anggrek untuk memasarkan hasil kebun mereka. Sedangkan siswa jurusan teknologi hasil pangan, yang memproduksi teh rosela, susu jagung, roti, aneka keripik, dan jamur, menjualnya di kantin sekolah.

Produk pertanian dari tiap SPP tak bisa di-copy paste untuk SPP lain karena harus disesuaikan dengan kondisi setempat. Di Nusa Tenggara Timur, misalnya, SPP membuka jurusan kesehatan hewan karena di daerah itu banyak peternakan rakyat. Di SPP Sembawa, jurusan perkebunan menjadi favorit karena wilayah itu kaya dengan kebun sawit dan karet.

Untuk menjadi calon petani, SPP tak menuntut biaya tinggi. Sekolah di Sembawa, umpamanya, hanya mengutip Rp 50 ribu untuk biaya asrama, sedangkan SMK 1 Purwosari mematok bayaran Rp 100 ribu. Karena mendapat subsidi dari pemerintah Rp 65 ribu, murid cuma dikenai Rp 35 ribu. Kalau tak mampu, murid malah bisa membayar setengahnya.

Biaya memang menjadi kendala karena kebanyakan murid sekolah pertanian ini berasal dari keluarga petani yang ingin meneruskan usaha keluarga. Windu Ariwibowo, siswa kelas II SPP Sembawa, contohnya, memilih jurusan perkebunan karena ingin meneruskan bisnis kebun karet milik orang tuanya. ”Saya pilih jurusan perkebunan karena sesuai dengan kebutuhan saya,” kata Windu, penerima beasiswa dari sekolahnya ini. Dari pengetahuan yang didapat di bangku sekolah, ia berharap usaha keluarganya bakal lebih maju. Klop dengan harapan pemerintah.

Yudono Yanuar, Arif Ardiansyah (Palembang), Jems de Fortuna (Kupang), Bibin Bintariadi (Pasuruan), Deffan Purnama (Bogor)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus