Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Menelisik Arti Kerugian Negara Menurut Konstruksi Hukum di Indonesia

Kerugian negara tercantum dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah menjadi UU Nomo 20/2001.

26 Desember 2024 | 16.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Jaksa membawa berkas tuntutan terdakwa kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah tahun 2015-2022 Harvey Moeis di Pengadilan Tipikor, Jakarta, 9 Desember 2024. ANTARA/Rivan Awal Lingga

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Definisi kerugian negara biasanya merujuk pada suatu keadaan yang menyebabkan harta negara hilang, terganggu, atau rusak. Perundang-undangan Indonesia diketahui menggunakan dua nomenklatur berbeda dalam menggambarkan kerugian yang dialami negara, yaitu kerugian negara dan kerugian keuangan negara. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dilansir dari justitialawfirm.or.id, istilah kerugian negara tercantum dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 Tentang Perubahan atas undang-undang nomor 31 tahun 1999 Tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Pada Pasal 2 dan Pasal 3 mencantumkan kerugian Negara sebagai unsur pidana. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selanjutnya Pasal 32 (1) Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan.

Penjelasan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: “yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah kerugian negara yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.”

Pada pelaksanaannya penerapan unsur kerugian keuangan negara banyak terjadi perdebatan karena pada rumusan Pasal 2 dan Pasal 3 mencantumkan kata “dapat merugikan keuangan negara”. 

Pasal 2 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)

Pada Pasal 3, tertulis bahwa setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Menurut Pakar Hukum

Dosen hukum pidana dari Universitas Mulawarman Orin Gusta Andini mengatakan penggunaan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor biasanya subyektif aparatur hukum. "Seharusnya, untuk diapembuat kebijakan, pasal yang dipakai hanya Pasal 3," ujarnya kepada Tempo, Jumat, 1 November 2024. 

Di Pasal 3 tertera frasa “menyalahgunakan kewenangan”. Pasal itu tak menerapkan indikasi pembuat kebijakan menerima suap atau gratifikasi dalam kebijakannya tersebut sehingga tak perlu bukti ada aliran suap.

Namun, pengajar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar secara tegas mengatakan kebijakan tidak bisa dipidanakan. Di Pasal 3, kata Fickar, unsur “penyalahgunaan kewenangan” seharusnya mengacu pada kebijakan berdasarkan perolehan suap atau gratifikasi. Bila pembuat kebijakan tidak menerima suap atau gratifikasi itu, seharusnya pasal ini gugur.

Peneliti dari Divisi Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW) Diky Anandya menambahkan ada dua cara melihat konteks korupsi menggunakan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor. "Sebetulnya setiap perbuatan melawan hukum itu tentu harus diikuti dengan mens rea atau niat jahatnya," ujar Diky.

Sebab, tidak semua kerugian negara dikategorikan sebagai kejahatan korupsi. Karena itu, kata dia, penting bagi jaksa atau aparatur hukum menemukan niat jahat tersebut lebih dulu sebelum menetapkan status tersangka kepada seseorang.

Amelia Rahima Sari berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Harvey Moeis Dihukum Bayar Uang Pengganti Kerugian Negara Rp 210 Miliar

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus