Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Berbagai operasi militer dilancarkan di Papua sejak 1961.
Rakyat Papua mulai bangkit melawan empat tahun kemudian.
Konflik di Papua menimbulkan berbagai pelanggaran hak asasi manusia.
OPERASI militer di Tanah Papua berlangsung setidaknya sejak enam dekade silam. Peneliti isu Papua, Adriana Elisabeth, mengatakan operasi militer terus terjadi di Papua kendati pemerintah dan otoritas keamanan beberapa kali membantahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Sejak 1960-an sampai sekarang, operasi militer terus ada di Papua meski tidak diakui secara formal,” kata Adriana, yang juga Koordinator Jaringan Damai Papua, kepada Tempo, Jumat, 7 Januari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Amiruddin Al Rahab dalam jurnalnya yang berjudul “Operasi-operasi Militer di Papua: Pagar Makan Tanaman?” yang ditulis pada 2004 mengatakan tujuan awal operasi militer adalah memaksakan integrasi Papua ke wilayah Indonesia. Menurut mantan peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) tersebut, bala tentara Indonesia masuk ke Papua mulai 1961.
Bersandi Operasi Djayawijaya, ada sekitar 10 kompi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menginfiltrasi dan menguasai sebagian wilayah Papua dari Belanda. “Wajah pertama Indonesia di Papua diwakili sepak terjang para infiltran ini,” ujar Amiruddin, kini komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Dua tahun kemudian, Jenderal Ahmad Yani menyetujui Operasi Wisnumurti. Ia mendatangkan 2.000 personel dari Jawa, Makassar, dan Maluku. Di Papua, mereka mengembangkan kekuatan tempur dan memperkokoh Komando Daerah Militer XVII—kini Kodam Cenderawasih.
Menurut Amiruddin, peran militer di Papua kian dominan setelah Soeharto menggantikan Sukarno sebagai presiden. Operasi militer tak terlepas dari potensi ekonomi Papua yang amat besar. Seiring dengan berinvestasinya PT Freeport di Papua, militer ikut menancapkan pengaruhnya.
Adapun perlawanan bersenjata di Papua meletup sejak 1965. Pada 28 Juli tahun itu, tiga anggota ABRI tewas di Manokwari. Tentara membalas dengan menggelar Operasi Sadar, yang menewaskan 36 orang yang dituding sebagai anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Pada 1966-1968, tentara menggelar Operasi Bharatayuda yang bertujuan menghancurkan perlawanan dan mempersiapkan pemenangan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969. Aktivitas tentara meliputi operasi tempur yang masif, teritorial, serta intelijen. (Baca: TNI Juga Setuju Setop Operasi Militer di Papua)
Amiruddin menulis, ada 73 orang tewas, 60 warga Papua ditangkap, dan 39 pucuk senjata disita sepanjang 1967. Lebih dari 3.500 orang menyerahkan diri. “Banyak orang Papua tak menyangka Indonesia melancarkan perang terbuka,” katanya.
Bergerilya memenangi Pepera, pasukan di bawah kepemimpinan Mayor Ali Moertopo—kelak menjabat Menteri Penerangan—menjalankan Operasi Wibawa yang melibatkan 6.220 prajurit. Perlawanan masyarakat pun pecah di berbagai wilayah. Di Paniai, ABRI dituding menyerang dengan membabi buta dan menewaskan 634 orang.
Sejarawan Robin Osborne, seperti dikutip Amiruddin, menyebutkan operasi militer terburuk terjadi pada 1977-1978. Sekitar 10 ribu tentara diturunkan setelah daerah selatan Jayapura dibombardir dua pesawat Bronco. Dalam bukunya, Kibaran Sampari: Gerakan Pembebasan OPM dan Perang Rahasia di Papua Barat, Osborne menyatakan 1.605 orang pendukung OPM dan penduduk tewas.
Pada 1978, pemerintah menyematkan status daerah operasi militer (DOM) untuk Papua. Status itu baru dicabut setelah Soeharto lengser dua dasawarsa kemudian. Amiruddin menulis, perlawanan masyarakat Papua ikut membuncah setelah status DOM dicabut.
Pembunuhan Ketua Dewan Presidium Papua Theys Hiyo Eluay pada 2001 disebut sebagai operasi militer yang terjadi pascareformasi. Theys diculik dan ditemukan tewas sehari setelah diundang ke markas Komando Pasukan Khusus di Jayapura. Dua personel Kopassus divonis bersalah oleh Mahkamah Militer.
Hingga kini belum jelas jumlah korban berbagai operasi militer di Papua. “Banyak persoalan yang belum selesai di masa lalu yang juga disebabkan oleh kehadiran tentara,” tutur Adriana Elisabeth.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo