Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Leirissa membantah PRRI gerakan separatis. Itu dibuktikannya lewat PRRI-Permesta. Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis. PERISTIWA itu sudah berlalu hampir 40 tahun. Tapi selalu menarik untuk dibicarakan. Soalnya, inilah pemberontakan sesudah Indonesia Merdeka yang melibatkan wilayah paling luas dibandingkan pemberontakan lain: Sumatera dan Sulawesi. Pemberontakan DI/TII hanya meliputi Aceh dan Jawa Barat. Pemberontakan yang selalu disebut gerakan separatis untuk memisahkan Sumatera dan Sulawesi dengan Jawa ini juga melibatkan sejumlah perwira dan pemuka partai Masyumi dan PSI. Mereka antara lain eks Kolonel M. Simbolon, eks Kolonel Kawilarang, eks Kolonel Zulkifli Lubis, eks Letkol. Achmad Husein, eks Perdana Menteri M. Natsir, dan eks Presiden PDRI Syafruddin Prawiranegara (keduanya Masyumi), serta Menteri Sumitro Djojohadikusumo (PSI). "Padahal, gerakan ini bukan separatis, seperti RMS, DI/TII, atau PKI Madiun," kata R.Z. Leirissa, Ketua Jurusan Sejarah FS UI. Memang inilah salah satu yang ingin dibuktikan Leirissa melalui bukunya, PRRI-Permesta. Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis, yang baru saja diterbitkan PT Pustaka Utama Grafiti. Bukan separatis? Pemerintah pusat justru menganggap PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia), yang diumumkan 15 Februari 1958 dan dipimpin Syafruddin Prawiranegara sebagai perdana menteri, sebagai negara dalam negara. Maka, lima hari kemudian, pesawat-pesawat AURI mengebom Padang, pusat pemberontakan. Lalu, pertempuran pun pecah di berbagai daerah di Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Utara, dan Sulawesi Utara. Barbara Sillars Harvey, ahli politik Asia Tenggara dari Universitas Cornell, menyebut pemberontakan ini, sebagaimana disimpulkannya dalam buku Permesta: Half-A-Rebellion (yang diterjemahkan Pustaka Utama Grafiti di bawah judul Permesta: Pemberontakan Setengah Hati), sekadar untuk menggertak pemerintah pusat agar aspirasi mereka dipenuhi. Menurut Leirissa, tuduhan separatis untuk PRRI seperti dipahami semua orang sejak dahulu, seperti juga ditemukan dalam buku Memenuhi Panggilan Tugas (Jilid 4) yang ditulis Jenderal (Purn.) A.H. Nasution, muncul karena ada fakta-fakta yang hilang. "Yaitu kaitan langsung antara Musyawarah Nasional dan PRRI," kata Leirissa. Semua ini memang bermula dari ketidakpuasan sejumlah daerah mengenai otonomi dan pembagian kue pembangunan setelah Indonesia Merdeka. Sebagian pemuka daerah itu menganggap daerah mereka dianaktirikan karena pembangunan terpusat di Pulau Jawa. Padahal, Sumatera, yang kaya karet dan hasil perkebunan lainnya, atau Sulawesi, yang kaya kopra, merupakan pemasok devisa terbesar bagi Indonesia. Ketidakpuasan itu meningkat ketika Wakil Presiden Hatta, yang dianggap sebagai simbol orang daerah, mengundurkan diri akhir 1956 karena berbeda pendirian dengan Presiden Soekarno. Pecahnya dwi tunggal ini menimbulkan kekecewaan di daerah-daerah. Lalu, muncul pula kebijaksanaan KSAD Mayor Jenderal Nasution memutasikan sejumlah perwira, seperti Wakil KSAD Kolonel Zulkifli Lubis dan kawan-kawan, yang tentu saja menimbulkan ketidakpuasan bagi mereka yang terkena pemindahan tersebut. Kekhawatiran orang-orang daerah itu, yang hampir semuanya antikomunis, makin terdorong setelah melihat eratnya hubungan antara Soekarno dan PKI, yang masuk lima besar dalam pengumpulan suara pada Pemilu 1955. Akhirnya, pada akhir 1956, dengan disponsori para perwira militer di daerah, berdirilah Dewan Banteng (Sumatera Barat), Dewan Gajah (Sumatera Utara), Dewan Garuda (Sumatera Selatan), dan Permesta (Sulawesi), semacam pemerintah darurat di daerah masing-masing. Leirissa lewat bukunya ini mengungkapkan betapa sebenarnya telah terjadi rekonsiliasi antara pemerintah pusat dan PRRI, melalui Musyawarah Nasional (Munas) yang disponsori sejumlah perwira TNI AD yang kurang sreg dengan kebijaksanaan Nasution. "Literatur yang saya baca tak menyiratkan hubungan PRRI dengan Munas," kata Leirissa, yang menulis soal ini sampai dua bab. Munas yang berlangsung di Jakarta, 10-13 September 1957, dihadiri para pejabat dan tokoh masyarakat daerah, serta para pembangkang, seperti Achmad Husein, Ventje Sumual, dan kawan-kawan. Munas ini memenuhi beberapa tuntutan orang daerah, seperti mengupayakan keutuhan dwitunggal Soekarno-Hatta, dan penyelesaian pertentangan di Angkatan Darat. Sebagai tindak lanjut Munas, kemudian dibentuk Panitia 7. Salah satu keputusan Panitia 7 ialah memberikan amnesti umum kepada semua pembangkang, yang rencananya akan diumumkan 3 Desember 1957. Tiba- tiba, tiga hari sebelum pengumuman, ketika Soekarno menghadiri sebuah upacara di Perguruan Cikini, Jakarta, sejumlah granat dilemparkan ke alamat Kepala Negara. Soekarno selamat. Tapi suasana jadi gawat. Pihak militer berhasil membongkar dan menangkap pelaku penggranatan sehari kemudian, dan tuduhannya dilontarkan ke arah kaum pembangkang. Pemerintah lalu membatalkan semua keputusan Panitia 7. Februari 1957, kaum pembangkang mengadakan pertemuan di Sungai Dareh, Sumatera Barat, untuk merapatkan barisan. Lalu terbentuklah PRRI. "Kami sudah diblokade. Maka, seperti kata pepatah Minang, musuh tak dicari, bersua tak dielakkan," kata Achmad Husein, 67 tahun, yang kini jadi pengusaha di Jakarta. Peristiwa Cikini dituding Leirissa penyebab gagalnya penyelesaian perselisihan itu secara damai, dan akhirnya PRRI harus mempertahankan diri dengan mencari senjata dari dinas rahasia Amerika, CIA. "Sejak semula mereka tak berencana untuk memberontak," katanya. Tuduhan terhadap Zulkifli sebagai dalang Cikini sampai sekarang tak pernah terbukti. "Saya tak suka kekerasan. Mana mungkin melakukan itu?" kata Zulkifli kepada TEMPO. Zulkifli, yang kini menetap di Jakarta, malah menuduh peristiwa itu buatan musuh mereka untuk menggagalkan hasil Munas. Amran Nasution, Indrawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo