Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Probosutedjo dengan bersemangat menuduh nonpri hanya cari untung. Sebagian besar konglomerat justru sudah membagi saham untuk koperasi walau hanya satu persen. ISU soal kesenjangan ekonomi antara kelompok pri dan nonpri kembali menjadi pembicaraan hangat. Lihat saja gemuruh tepuk tangan sekitar 500 peserta Musyawarah Daerah Himpunan Pengusaha Putera Indonesia (Hippi) Jawa Barat di Bandung Sabtu pekan lalu ketika Probosutedjo mengucapkan "Pengusaha Cina hanya berorientasi pada keuntungan semata." Pidato Ketua Dewan Pembina Hippi yang bernada lantang itu seakan-akan menjawab tudingan Generasi Muda Budhis Indonesia, yang menilai pernyataan Probosutedjo belakangan ini mempertajam jurang antara Cina dan non-Cina. "Pernyataan-pernyataan itu merupakan langkah mundur dalam konteks wawasan kebangsaan kita," kata Lieus Sungkharisma, Ketua Umum Generasi Muda Budhist Indonesia (Gema Budhi). Memang belakangan ini Probo sering berbicara soal pri dan nonpri dalam kaitannya dengan dunia bisnis. Ketika bos Garmak Motor itu berbicara dalam seminar "Kiat Mengupayakan Permodalan untuk Memulai Suatu Usaha Baru" di Jakarta Selasa pekan lalu, meluncur kata-kata lugas, tentang tidak adanya kesadaran pengusaha nonpri untuk berbagi kesejahteraan. Dalam seminar yang diadakan oleh Ikatan Alumni ITB itu, ia berkata, "Pengusaha besar atau konglomerat itu berkembang karena adanya kesempatan yang diberikan oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia." Bahkan, kesempatan yang diberikan itu, menurut Probo, antara lain karena sikap "mendiamkan" atau ketidaktahuan bahwa ada konglomerat yang meraup untung dengan cara tidak benar. "Saya tidak percaya bahwa orang Cina dilahirkan untuk pandai berdagang," kata Probo. Bahkan, ia menyebut pengusaha terbesar Liem Sioe Liong bisa berkembang karena fasilitas. Sebagai contoh, pembangunan hydrocracker pertama di Dumai yang didapat oleh Liem tanpa melalui tender. Selain itu, kata Probo lagi, Liem juga dapat fasilitas sebagai importir tunggal pelat baja kendaraan. "Saya sendiri impor pelat baja lewat dia," kata Probo. Malah, setelah ia kalah bersaing, pabrik dijual ke Pemerintah. Kekesalan Probo tampaknya berawal jauh beberapa tahun silam, sewaktu ia masih Ketua Umum Hippi, ketika soal nama organisasinya banyak dikritik. Hippi, yang sebelum 1984 merupakan kependekan dari Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia, diminta mengubah kata "Pribumi" yang dinilai rasialis, menjadi "Putera". Karena kritik dari pengusaha nonpri serta pejabat pemerintah itu, kata "Pribumi" pun diganti "Putera". Perubahan kata itu ternyata pakai embel-embel. Pengusaha nonpri akan membantu meningkatkan kesejahteraan pengusaha pribumi. "Tapi, hingga kini belum terealisir," kata Probo yang, sekali lagi, disambut tepuk tangan semangat peserta Musda. Isu ini menghangat lagi, ketika berlangsung Rapat Kerja Nasional Hippi, akhir Mei lalu. Iman Taufik, selaku Ketua Umum Hippi, mengusulkan penggunaan kembali kata "Pribumi". Ia mengaitkan penggunaan simbol-simbol pribumi, sebagai usaha meningkatkan daya saing dengan pengusaha nonpri. Dengan atau tanpa perubahan kata pada Hippi, persoalan isu kesenjangan tampak menggelinding. Terutama setelah tersiar berita penyaluran saham konglomerat ke koperasi seret. Hal ini terungkap ketika sekitar 80 anggota dan pengurus Induk Koperasi Karyawan (Inkopar) diterima Presiden Soeharto di Tapos, 21 Juli lalu. Dalam kesempatan itu, Agus Sudono, yang memimpin rombongan, menyinggung soal jumlah saham yang diberikan baru Rp 17 milyar atau 1% dari aset para konglomerat. Padahal, di tempat yang sama, tahun 1990, Pak Harto pernah mengimbau sekitar 30 pengusaha terkemuka -- yang sebagian besar nonpri -- agar menghibahkan 20% sahamnya kepada koperasi. Sebagian besar konon justru sudah membagikan sahamnya. Sehari setelah pertemuan dengan pengurus Inkopar, muncul banyak reaksi, antara lain dari Probosutedjo lagi. Pemilik PT Mercu Buana ini menuding pengusaha nonpri tak terpanggil untuk membantu rakyat lewat koperasi. Rupanya, ada yang terusik dengan pernyataan-pernyataan Probo. "Itu keterlaluan. Sebagai idola generasi muda, pernyataan Pak Probo 'mementahkan' usaha-usaha memperkukuh wawasan kebangsaan," kata Lieus Sungkharisma. Ketua Umum Gema Budhi ini menghendaki lontaran isu yang bisa mempertajam jarak kedua etnis itu diredakan. Sikap Lieus dapat dipahami oleh Suhardi, Sekretaris Umum Badan Komunikasi Penghayat Kesatuan Bangsa. "Kalau kita menilai etnik tertentu secara stereotype atau menggeneralisasi, jelas ada yang keberatan," kata Suhardi. Pernyataan Pak Probo, katanya, bisa saja menjadi faktor disintegratif dan menyulut persoalan SARA. Karena itu, katanya, harus segera diselesaikan. Menteri Dalam Negeri Rudini juga sependapat agar masalah itu dinetralisasi. "Karena itu, saya menghargai bahwa di Hipmi sudah tak ada lagi soal pri dan nonpri," katanya. Soal kesenjangan sosial, menurut Rudini, bukan hanya terjadi di lingkungan pribumi saja. Tapi juga di kalangan nonpri, misalnya yang ada di Kalimantan Barat. Tapi, kata Rudini, "Terlepas dari pri dan nonpri, sebagai warga negara kita ndak boleh acuh tak acuh terhadap masyarakat sekeliling." Probo sendiri mengaku tak memusuhi nonpri. Yang kami musuhi adalah kaum asing, terutama Cina yang tak memahami perjuangan bangsa. "Silakan lakukan pembauran. Tapi mana buktinya? Yang ada malah eksklusivisme," kata Probo. Rustam F. Mandayun (Jakarta) dan Achmad Novian (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo