SUASANA rapat kerja Komisi I DPR Senin siang lalu mendadak lebih "hidup" tatkala salah seorang anggota F-PDI, Tjokorda Bagus Sayoga melontarkan permintaan kepada Menteri Penerangan Ali Moertopo. "Saya mengusulkan agar Pak Ali bersedia menjadi calon wakil presiden, karena saya merasa Pak. Ali punya kemampuan untuk itu". Tersenyum sebentar, Menpen yang mungkin tak menduga munculnya pernyataan seperti itu, menjawab kalem "Terus terang, saya merasa tak mampu untuk menerima jabatan itu". Selain alasan ketidakmampuan, Ali Moertopo juga menyebutkan "Ada faktor lain, usia saya". Ali Moertopo, 58 tahun, seusai rapat kerja itu lalu menjawab pertanyaan pers. Ia menegaskan lagi bahwa ia merasa kemampuannya "tak sampai" untuk menduduki jabatan wapres, hingga kalau ia mendududuki jabatan itu malah bisa merugikan negara. "Jadi mungkin bisa diambil orang lain," katanya. "Saya merasa mentally tidak prepared (tidak siap mental) untuk itu. Orang lain yang pintar masih banyak". Ia kemudian berkata "Tak ada ambisi saya untuk ke sana. Perasaan saya tak ada untuk itu, jadi impian pun tak ada". Tapi kepada pers Menpen mengungkapkan akan merasa senang kalau bisa meneruskan jabatannya yang sekarang. "Itu kalau saya sendiri dibenarkan untuk tetap duduk dalam kabinet yang akan datang," katanya. Alasannya, ia merasa belum selesai benar menyandang tugasnya sebagai menteri penerangan. "Saya tentunya malu untuk meninggalkan pekerjaan yang belum selesai," ujarnya. "Tapi kalau diganti orang lain yang lebih baik dan lebih mampu daripada saya tentu saya akan senang sekali". Namun ia juga mengatakan telah bekerja keras sejak berusia 18 tahun, ketika menjadi prajurit sampai menjadi letjen sekarang hingga ia merasa "letih". Munculnya permintaan spontan pada Ali Moertopo agar bersedia dicalonkan menjadi wapres bisa dimengerti. Siapa yang bakal menjadi wakil presiden untuk periode 1983-1988 sampai sekarang memang menjadi teka-teki besar menjelang Sidang Umum MPR bulan depan. "Keadaan sekarang ini berbeda dengan tahun 1973 dan 1978. Waktu itu pada bulan Januari saja sudah diketahui siapa yang akan dicalonkan," kata seorang anggota DPR dari F-KP. Dalam dua kali sidang MPR waktu itu, nama Sultan Hamengkubuwono IX memang sudah jauh hari sebelumnya diisyaratkan sebagai satu-satunya calon pendamping Pak Harto sebagai wapres. Kini tampaknya isyarat itu belum juga turun, hingga sampai 3 pekan menjelang SU MPR berbagai macam isu dan rekaan pun masih bermunculan. Isyarat itu tentu saja dari Presiden sendiri, karena salah satu persyaratan utama seorang wapres adalah harus sanggup dan dapat bekerja sama dengan presiden. Hingga untuk bisa memenuhi persyaratan formal tersebut, praktis calon wapres ditentukan sendiri oleh presiden terpilih. Mengapa isyarat itu hingga kini belum muncul juga, ini yang membingungkan banyak orang. Ada yang menganggap karena Presiden Soeharto, yang pasti akan terpilih kembali untuk masa jabatan 1983-1988, tidak mau melanggar tata tertib. Secara resmi beliau belum terpilih lagi sebagai presiden. Lagi pula sesuai dengan tata tertib, fraksi-fraksi dalam MPR-lah yang berwenang mengajukan calon presiden dan wapres. Namun ada juga pendapat lain. "Pemilihan wapres kali ini memang lebih sulit dibanding yang lalu karena menyangkut masalah suksesi. Ada kemungkinan 5 tahun mendatang ini akan merupakan masa terakhir Pak Harto menjadi presiden. Wapres kali ini dengan demikian sepertinya akan menjadi calon presiden berikutnya," ujar seorang anggota MPR dari F-KP (lihat box). Menurut anggota DPR yang berkeberatan disebut namanya, pertimbangan inilah yang menyebabkan lebih sulitnya menemukan calon wapres yang tepat. "Calon wapres ini harus seorang yang bisa meneruskan cita-cita Pak Harto, juga setia serta mampu mengamankan berbagai hal setelah Pak Harto tak lagi menjadi presiden," ujarnya. Sarwono Kusumaatmadja meninjaunya dari sudut lain. Sekretaris F-KP ini mengakui masalah wapres kali ini memang jauh lebih sulit dibanding dulu. Dulu, di awal orde baru, ada triumvirat Soeharto-Hamengkubuwono IX-Adam Malik. Hamengkubuwono IX dan Adam Malik kemudian menjadi wapres. Kini, menurut Sarwono, orba telah sampai pada tahap legimitasi: institusi yang dibentuk. selama ini -- baik politik, ekonomi dan sebagainya -- telah tertanam dalam masyarakat. "Tinggal masalahnya sekarang, bagaimana berbagai institusi itu bisa dipelihara," kata Sarwono. "Jadi diperlukan seorang figur pendamping presiden ke arah itu pendamping untuk menyongsong masa depan bangsa ini". Dengan begitu wapres itu perlu mengetahui latar belakang tumbuhnya orba, memahami landasan-landasan pemikirannya dan juga mampu menerjemahkan konsepsi-konsepsi dasar ini untuk menyongsong ke jalan depan. "Belum tentu orang ng ikut mendirikan orde baru juga bisa menerjemahkan konsepsi-konsepsi dasar itu untuk masa depan," kata Sarwono. Siapa? "Calon wapres ini sudah ada di kantung kiri dan kantung kanan," kata Wakil Ketua MPR dan Ketua DPP PDI Hardjantho Sumodisastro. Namun ia tak bersedia menyebutkannya. "Mesti dikonsultasikan dulu dengan Presiden," tambahnya. Namun seorang tokoh Golkar meragukan hal itu. "Omong besar kalau ada yang mengatakan bahwa calon wapres sudah ada di kantung, sebelum hal itu disetujui Presiden Soeharto," katanya. Lantas siapa? "Masih sulit diraba. Itu terserah pada Pak Harto sendiri," tambahnya. F-KP sendiri, menurut dia, secara resmi belum pernah membicarakan tentang calon wapres ini. Agaknya hal inilah yang kini dilakukan semua fraksi di MPR: menunggu nama calon wapres yang ditunjuk presiden. "Hingga kini belum ada isyarat siapa orang yang bisa bekerja sama dengan presiden, yang dapat dipastikan adalah Pak Harto. Karena itu masalah calon wapres ini belum dibicarakan dalam fraksi kami," kata seorang pimpinan Fraksi Utusan Daerah. Dari F-PP keluar penjelasan: "Semua fraksi pasti akan menerima usul nama calon yang disampaikan Pak Harto," kata Wakil Ketua F-PP Syarifuddin Harahap. Semua fraksi, menurut dia, tidak akan mengajukan nama calon wapres kecuali setelah berkonsultasi dengan presiden. "Jadi fraksi-fraksi akan menanyakan kemauan Pak Harto," katanya. Syahdan sembari menunggu isyarat Pak Harto ini, masyarakat pun mereka-reka teka-teki calon wapres ini. Belasan nama muncul dalam daftar "nominasi" untuk kemudian dianalisa peluangnya. Sebagian nama itu berasal dari usul berbagai kelompok masyarakat, dan pribadi yang disampaikan kepada pimpinan MPR, yang oleh Ketua DPRlMPR Amirmachmud dianggap sebagai usul "jalanan". Pelajar Timor Timur misalnya sekaligus mencalonkan Menhankam Jenderal M. Jusuf, Pemimpin Redaksi Merdeka B.M. Diah, dan bekas Menteri Keuangan Frans Seda. Adam Malik antara lain dicalonkan lagi oleh Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia tahun lalu, berdasar usul pembina utama organisasi tersebut, Probosutedjo. Pencalonan Widjojo Nitisastro dan Ali Moertopo berasal dari organisasi yang didirikan beberapa bekas aktivis Angkatan 1966: Forum Studi dan Komunikasi (Fosko). Ny. Tien Soeharto dicalonkan oleh seorang Siti Aisyah, anggota PITI (Pembina Iman Tauhid Islam). Pemudi ini sekaligus juga mengusulkan agar Ny. Tien diangkat sebagai Ibu Pembangunan (TEMPO, 5 Februari 1983). Ikatan Keluarga Pejuang 1945 Sulawesi Selatan mencalonkan Mayjen Polisi (Pur.) Moehammad Yasin, bekas Dubes RI di Tanzania. Alasannya: tokoh yang lahir di Bau-Bau (Buton) pada 1920 itu bisa diandalkan loyalitas, kapasitas, pengaruh serta jasa-jasanya. Banyak lagi tokoh yang disebut mempunyai peluang. Misalnya Ketua DPR/MPR Amirmachmud sendiri, Ketua DPA Idham Chalid dan Menteri Agama Alamsyah. Amirmachmud sendiri agaknya tak menolak, asalkan ". . .fraksi sudah menentukan, sudah clear, dan Pak Harto menyatakan ya . . .," katanya 3 pekan lalu. Idham Chalid, kalau sampai dicalonkan, tampaknya didukung sebagian warga NU. "Kami akan melepas beliau dari NU kalau memang ada permintaan," kata Rais Awal PB NU KH Ali Yafie. "Seluruh warga NU akan mendukung Pak Idham," tambahnya. Namun menurut Kiai Ali Yafie sampai sekarang belum ada permintaan, resmi atau tidak, pada Idham untuk dicalonkan menjadi wapres. Idham Chalid sendiri pada TEMPO pekan lalu berkata, "Saya tak punya ambisi untuk itu." Bagaimana kalau umat memintanya? "Saya tak tahu. Itu belum saya pikirkan," jawabnya singkat. Walaupun konon telah ada 37 organisasi yang memintanya agar bersedia dicalonkan sebagai wapres, Menteri Agama Alamsyah konon juga menolak. Alasannya mirip Menpen Ali Moertopo: merasa tidak mampu dan tidak punya ambisi untuk menjadi wapres. Alasan yang sama dikemukakan pula oleh Menko Ekuin Widjojo Nitisastro tahun lalu, begitu namanya dicalonkan oleh Fosko. Penolakan dengan alasan ketidakmampuan itu membangkitkan pertanyaan: benarkah persyaratan menjadi wapres begitu berat hingga tokoh sekaliber Ali Moertopo dan Widjojo Nitisastro misalnya, merasa tidak mampu? Ketentuan dan persyaratan calon wapres diatur dalam Ketetapan (Tap) MPR nomor 11/1973. Di situ antara lain disebut persyaratan: telah berusia 40 tahun, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, setia kepada cita-cita Proklamasi, Pancasila dan UUD 1945, berwibawa, jujur, cakap, adil dan mendapat dukungan rakyat yang tercermin dalam majelis. Selain itu tidak pernah terlibat langsung atau tidak dalam pengkhianatan terhadap negara, tidak sedang menjalani putusan pidana dan tidak terganggu ingatannya. Namun diatas semuanya itu, syarat: seorang wapres harus sanggup dan bekerja sama dengan presiden tampaknya tetap mutlak. Hingga memang tergantung kepada presiden terpilihlah siapa calon yang dipandangnya bisa memenuhi syarat tersebut. Di luar bermacam syarat formal di atas, di tengah masyarakat sendiri muncul berbagai syarat "tambahan". Misalnya bila presiden berasal dari Jawa dan ABRI, sebaiknya wapres dari luar Jawa dan sipil. Masih adanya sikap seperti itu, setelah 37 tahun merdeka, dikecam oleh Wapres Adam Malik. "Saya sendiri tidak pernah merasa sebagai orang Sumatera. Dalam pengalaman dan hukum kita, mana ada kategori seperti itu? Kita semua kan bangsa Indonesia. Baca dong Undang-undang Dasar kita, " katanya. UUD 1945 memang tidak menyebut hal itu. Dibanding presiden, syarat seorang wapres menurut UUD malah sedikit lebih ringan: ada peluang seorang yang bukan orang Indonesia asli untuk menjabat wapres. Penolakan dan mundurnya banyak tokoh yang punya peluang itu menyebabkan makin kuatnya spekulasi bahwa Adam Malik bakal tampil kembali sebagai wapres untuk satu masa jabatan lagi. "Bila Pak Harto menunjuk seorang wapres yang baru, bisa jadi akan timbul masalah dan kepusingan yang baru. Dan ini jelas tidak dikehendaki beliau. Memilih kembali Adam Malik merupakan jalan yang paling 'aman', karena sifat dan kemampuannya sudah dikenal baik oleh Pak Harto," kata seorang tokoh muda NU. Namun seorang tokoh F-KP membantah. Kerja sama Pak Harto dan Pak Adam dinilainya kurang terjalin baik, hingga peluang terpilihnya kembali Adam Malik "tipis". Buktinya? "Berbeda dengan waktu lalu, sampai kini belum ada 'tanda-tanda' Adam Malik akan terpilih kembali," katanya. Disebutnya juga, bahkan dalam rantap (rancangan ketetapan) Pertanggungjawaban Presiden yang telah disusun oleh Badan Pekerja MPR, tak ada disebut-sebut ikhwal kerja sama antara Soeharto dan Adam Malik. Namun, seorang pengamat politik menduga pilihan akan jatuh ke pundak Widjojo Nitisastro, sekalipun ia tegas menyatakan tak mampu. "Dialah salah seorang pembantu utama Presiden yang dipercaya," kata pengamat itu. "Bukankah Widjojo yang paling mengetahui tentang landasan ekonomi Orde Baru? Dan sampai sekarang konsekuen mempertahankan setiap Pelita?" Mungkin saja. Tapi dalam situasi seperti sekarang ini, agaknya sikap terbaik adalah bersabar dan menunggu. Toh SU MPR tinggal beberapa minggu lagi. Presiden Soeharto, Mandataris MPR, akan segera mengungkapkan nama calon pendampingnya dari kantung kanannya, bila sudah tiba waktunya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini