Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tangan-tangan yang membantu

Sejumlah organisasi dan lsm melibatkan diri membantu masyarakat kedungombo yang terkena genangan waduk. uluran-uluran tangan ini dianggap memnghambat evaluasi warga.

27 April 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejumlah LSM dan organisasi ikut melibatkan diri membantu masyarakat Kedungombo. Menolong atau menghambat? TATKALA beberapa warga Kedungombo berhasil menemui Wakil Ketua DPR Saiful Sulun untuk mengadukan nasib tiga pekan silam, sejumlah mahasiswa yang mendampingi mereka tak diizinkan hadir dalam pertemuan itu. "Mahasiswa jangan jadi agitator," ujar Saiful Sulun. Ada pihak, memang, yang menganggap berlarut-larutnya kasus Kedungombo karena adanya "campur tangan pihak luar". Pakar sosiologi dari UGM, Dr. Loekman Soetrisno, membantah anggapan ini. "Wajar orang mengamuk kalau haknya dikurangi," ujarnya. Warga Kedungombo yang tak puas memang memperoleh banyak bantuan dari berbagai kelompok. Sebenarnya, kentong bala bantuan telah dipukul oleh penduduk Kedungombo sejak proses ganti rugi tanah dilaksanakan. Bantuan pertama datang dari LBH Yogyakarta, 29 Agustus 1986. Dibantu oleb lembaga swadaya masyarakat Yayasan Bina Kesejahteraan Sosial Solo, mereka menangani 1.686 kk dari enam desa di Kecamatan Kemusu yang terkena genangan waduk. Lalu ditambah 164 kk dari Kecamatan Miri, Sragen, yang bergabung Juni 1987. Bantuan yang diminta ada dua: ganti rugi yang lebih tinggi dari harga yang ditetapkan pemerintah atau mendapat lahan dengan luas yang sama di tepi waduk. Dari tatap muka dengan masyarakat, tim LBH bisa menyerap aspirasi mereka. "Misalnya adanya kecurangan dalam pendataan tanah dan terjadi intimidasi. Administrasi desa juga dipersulit, dan bagi yang tak mengambil ganti rugi dalam KTP-nya ditulis ET (eks tapol)," ujar Direktur LBH Yogya Nur Ismanto. Usaha LBH mendatangi Pemda, DPRD tingkat I dan tingkat II Boyolali memang mengurangi intimidasi, tapi jalan buntu untuk tuntutan penduduk. Upaya yang dirancang saat ini adalah akan menggugat pemda. Mungkin mereka harus bersiap kalah karena gugatan 54 penduduk Kedungombo pada Gubernur Jawa Tengah dan pimpro waduk melalui LBH Semarang sudah ditolak pengadilan, akhir Desember lalu. Mereka mengajukan banding. Pengulur bantuan berikutnya kalangan mahasiswa. Tergabung dalam Kelompok Solidaritas Korban Pembangunan Kedungombo (KSKPKO), mahasiswa ini datang dari berbagai kota, didukung oleh dosen, ulama, dan seniman. Sambil menulis surat tuntutan pada pimpinan DPR/MPR, Presiden, Menko Polkam, dan Mendagri, mereka membuat aksi protes. KSKPKO Jakarta menemui Rudini, di Semarang mendatangi DPRD, dan yang lain berusaha masuk daerah genangan Kedungombo. Pada 6 Februari 1989, sekitar 100 mahasiswa itu bermaksud membantu penduduk yang rumahnya tergenang air. Namun, aksi yang disertai poster itu gagal karena dicegah petugas. Usaha yang sama, sebulan kemudian, juga gagal. Toh mereka sempat menggelar aksi spanduk dan poster di Semarang. Baru sebulan kemudian, mereka bisa masuk ke lokasi genangan setelah berdialog dengan Bupati Boyolali M. Hasbi. Aksi lebih halus dilaksanakan oleh Jaringan Kerja Sama Pelestarian Hutan Indonesia (Skephi). Mereka tidak langsung beraksi, tapi merangsang terbentuknya kelompok pembela. Skephi sendiri mengadakan lobi di tingkat pusat dan internasional, tidak ikut ambil bagian dalam aksi. "Karena kami anggap tidak efektif. Kendala politiknya tinggi. Aksi di luar negeri tak begitu riskan karena lebih untuk menyadarkan investor di sana," ujar Koordinator Skephi, S. Indro Tjahjono. Untuk lobi itu, Skephi mengadakan program penelitian untuk mencari data yang dibutuhkan di Kedungombo dengan bantuan dana dari Australia, Inggris, dan Belanda. LSM yang juga tergerak hati untuk berkiprah di Kedungombo adalah Panitia Dharma Karya bagi Anak-Anak Kedungombo ( PDK-AKO). Lembaga ini dibentuk atas inisiatif Abdul Hakim G. Nusantara dari LBH Jakarta, dan kemudian disambut oleh Y.B. Mangunwijaya dan beberapa rekannya. Tujuan mereka lebih spesifik, meringankan penderitaan anak-anak yang masih hidup di genangan waduk. Uang untuk bantuan ini bukan masalah. Sampai puluhan juta rupiah terkumpul dari para pengusaha, yang lalu diberikan pada penduduk dalam bentuk obat-obatan dan bahan makanan. Ketika gedung sekolah tak bisa dipakai lagi, Mangunwijaya menyelenggarakan enam buah kursus informal lengkap dengan perpustakaannya. "Sebagai rohaniwan, saya berdosa besar rasanya bila berdiam diri," ujarnya. Anak-anak itu dilayani oleh enam guru lulusan SPG. Kursus ini bubar akhir Februari lalu karena dianggap tidak mempunyai izin dari P & K. Dari Romo Mangun ini berawal juga uluran tangan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Untuk mencari guru mengaji, budayawan ini mengajak salah satu pengurus ICMI Emha Ainun Nadjib. ICMI pun masuk. ICMI sudah menyampaikan sepuluh buah permintaan rakyat pada pemerintah. Uluran-uluran tangan ini, seperti telah disinggung tadi, tidak semua disenyumi. Mereka malah dianggap menghambat evakuasi warga. "Masyarakat di sana mau mengikuti ajakan pemerintah kalau tidak ada oknum dari luar mempengaruhi mereka. Yang membuat ribut itu kan malaikat penyelamat itu," ujar Gubernur Ismail tandas. Diah Purnomowati dan Biro-Biro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus