Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mereka Yang Divonis Mati Mereka Yang Divonis Mati

Azhar, imran dan salman divonis mati oleh pengadilan dengan tuduhan melakukan tindak pidana subversi. (nas)

2 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AZHAR bin Mohamad Safar, 38 tahun, seperti tak terperangah menn dengar vonis mati baginya. Ia tetap mengetuk-ngetukkan jarinya ke lengan kursi. Lalu, untuk terakhir kali ia mengusap kumis dan jenggot, sebelum dua anggota POM ABRI membimbingnya ke luar ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Menurut majelis hakim yang diketuai Pitoyo, anggota jamaah Imran itu terbukti melakukan tindak pidana subversi. Ia terbukti menyimpan bahan peledak serta pistol beserta pelurunya. Ia pun, menurut majelis, "turut serta merencanakan dan menyetujui pembajakan pesawat Garuda Woyla." Kegiatannya itu "tak lain untuk menegakkan hukum Islam di Indonesia." Azhar memang tak mengakui Pancasila, yang dinilai, "telah menjadi keris Empu Gandring yang disaktikan, dan membawa kemusyrikan." Azhar dalam pembelaan dirinya ("penyampaian", menurut istilahnya) sempat berang, karena permohonan agar status WNlnya dicabut, tak ditanggapi. Ia merasa cukup menjadi warga Allah saja, "tak ingin terseret kezaliman dan kefasikan yang dilakukan pemerintah." Majelis berpendapat, Azhar sebenarnya justru telah mencemarkan kesucian Islam yang berlandaskan cinta kasih. Al Quran, kata majelis, tak ada menyebut tentang tindak kekerasan. Perbuatan terdakwa, dinilai telah meresahkan masyarakat dan merusak kerukunan umat beragama. Maka, majelis menganggap perlu menjatuhkan hukuman baginya pekan lalu, "untuk memulihkan ketenteraman masyarakat." Dan jadilah Azhar sebagai orang ketiga--setelah Imran dan Salman--yang divonis mati. Salman mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, setelah Pengadilan Tinggi Jawa Barat menolak permohonan bandingnya Agustus lalu. Dan Imran, imam mereka, yang tengah menanti putusan banding, pekan lalu muncul di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Berbaju putih dan celana krem, ia tampak kurus. "Berat saya turun 30 kilo," katanya di luar sidang. Ia menjadi saksi atas tiga anggou jamaahnya: Imam Hidayat, Slamet Haryanto dan Rosman Cahyono, yang didakwa membunuh Koptu Najamudin. Anggota ABRI yang menjadi jamaah Imran itu diduga berkhianat. Ia dicurigai sebagai double agent--bekerja untuk pemerintah dan jamaah. Pada 27 Maret 1981 ia dihabisi di rumah kontrakan Imran di Jalan Plafon, Rawamangun, Jakarta Timur. Imran menyatakan, setelah dibai'at, Najamudin turut merencanakan penyerbuan pos polisi Cicendo, Bandung. "Dia bahkan memberi peluru," kata Imran. Ia mulai curiga setelah beberapa anggota jamaah ditangkap, sementara Najamudin sendiri, "berlenggang-lenggok ke Jakarta." Namun Imran menyangkal telah memerintahkan pembunuhan itu. Ia, katanya, hanya membolehkan anggou jamaahnya mengambil tindakan. "Gila apa, orang dibunuh di rumah saya," katanya bersemangat. Pembunuhan Najamudin, dilakukan oleh ketiga terdakwa bersama Azhar Zulkarnaen -- yang memperkenalkan korban kepada Imran. Yus Taylor, Ali Yusuf dibantu Ubaidillah. MESKI berat badannya turun drastis, di luar sidang Imran menyatakan, "sampai sekarang saya belum kalah." Ia, katanya, terus berjuang untuk Islam. "Saya bermaksud menegakkan hukum Islam, dan bukan mendirikan negara Islam," katanya lagi. Ia juga menolak dikatakan anti-Pancasila. Yang ditentang adalah sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa yang bisa diartikan Tuhan itu banyak. Padahal, "Tuhan saya cuma satu." Tentang penyerangan ke pos polisi Cicendo, Bandung, Imran menyatakan itu unggung jawab Salman. "Sebab jamaah tak menyetujui cara-cara seperti itu," katanya. Salman yang merasa penyerangan itu direstui Sang Imam, menjadi gusar. Apalagi karena Imran sempat menangis dan teringat emaknya, ketika dituntut hukuman mati. Dalam pembelaan dirinya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Februari tahun lalu, anak dari Kotamatsum Medan itu pun minta dihukum yang seringan-ringannya. Barangkali karena itu, maka kini Salman Hafidz alias Nasrullah kehilangan rasa hormat terhadap bekas imamnya. "Dia itu kecil," katanya sembari menjetikkan telunjuk, ketika ditemui Anwar Sulaeman, bekas "pengawas hukum"nya tiga pekan lalu di Inrehab Cimahi, Bandung. Setelah di Jakarta Timur, Imran mungkin bakal muncul di Bandung. Oktober ini, anggota jamaahnya--para pelaku penyerangan pos polisi Cicendo yang dipimpin Salman -- akan diadili. Dan di Malang, anggota jamaah H. Mohamad Yusuf dituntut 17 tahun penjara. Sementara rekannya, Mohamad Amin, dalam waktu dekat akan disidangkan di Jombang, Jawa Timur. Di Jakarta sendiri, menurut A.J. Adnan Kepala Bidang Operasi Kejaksaan Tinggi, "belum ada lagi berkas perkara yang akan dilimpahkan ke Pengadilan." Jamaah Imran yang lain, menurut kabar, mungkin tak sampai ke sana, karena dinilai masalahnya kurang "berbobot". Penahanan atas diri mereka, konon hanya sebagai tindakan pengamanan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus