Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pakar Hukum Tata Negara yang juga mantan Menkopolkam Mahfud MD mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyetip ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen. Mahfud menilainya langkah berani bagi MK untuk menjadi judicial activism yang sesuai dengan aspirasi rakyat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Sekarang, setelah banyak hak konstitusional yang terampas oleh threshold, MK membuat pandangan baru yang mengikat dan harus dilaksanakan. Saya salut kepada MK,” kata Mahfud yang juga eks Ketua MK itu dalam unggahan di Instagram pribadinya pada Kamis, 2 Januari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut mantan calon wakil presiden dalam Pemilu 2024 itu, ada dua alasan bahwa keputusan MK itu harus ditaati. Pertama, adanya dalil bahwa putusan hakim yang sudah inkrah bisa mengakhiri konflik dan harus dilaksanakan. Kedua, adanya ambang batas pencalonan selama ini digunakan untuk merampas hak rakyat ataupun partai politik untuk memilih maupun dipilih dalam pemilu.
Oleh karena itu, kata Mahfud, vonis MK ini bisa menjadi putusan penting. “Ini bagus karena MK telah melakukan judicial activism untuk membangun keseimbangan baru dalam ketatanegaraan kita,” kata dia.
Pada Kamis, 2 Januari 2024, MK resmi menghapus ketentuan presidential threshold 20 persen itu melalui perkara 62/PUU-XXII/2024. Ketua MK Suhartoyo mengatakan norma pasal 222 Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109 seluruhnya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu, aturan juga dnilai tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Hakim Mahkamah Konstitusi Saldi Isra menambahkan bahwa penentuan ambang batas ini juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan menciptakan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi dan secara nyata bertentangan dengan UUD 1945. Karena itu, hal tersebut menjadi alasan MK untuk menggeser dari pendirian putusan sebelumnya.
“Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka presentasi ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden,” ujar Saldi Isra.