Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

MK Wajibkan Masyarakat untuk Beragama, Tapi Bebas Pilih Agama

MK memandang kebebasan beragama dan berkepercayaan bukan berarti masyarakat bisa memilih untuk tidak beragama atau berkepercayaan.

3 Januari 2025 | 13.27 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo didampingi Wakil Ketua MK Saldi Isra (kiri) bersiap memimpin sidang putusan uji materi Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2 Januari 2025. Keputusan MK menghapus persyaratan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen kursi di DPR, memungkinan setiap partai politik mengusung Presiden dan Wakil Presiden pilihannya. ANTARA/Fauzan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi resmi melarang masyarakat Indonesia untuk tidak menganut satu agama atau kepercayaan. MK berpendapat, UUD 1945 sebagai dasar konstitusi negara dengan tegas meyakini keberadaan Tuhan Yang Maha Esa sehingga dapat disebut sebagai konstitusi yang religious atau godly constitution.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Kepercayaan kepada adanya Tuhan Yang Maha Esa merupakan salah satu karakter bangsa dan telah disepakati sebagai ideologi atau kondisi ideal yang dicita-citakan” ujar hakim MK Daniel Yusmic Foekh ketika membacakan dasar pertimbangan putusan, Jumat, 3 Januari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Putusan MK ini dibacakan terkait permohonan uji materiil nomor perkara 146/PUU-XXII/2024 terhadap Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam pasal ini, MK memandang kebebasan beragama dan berkepercayaan bukan berarti masyarakat bisa memilih untuk tidak beragama atau berkepercayaan.

MK mengatakan, pada dasarnya Indonesia bukanlah negara yang didasari pada satu dasar agama tertentu. Namun, Indonesia juga bukanlah negara sekuler yang memisahkan nilai-nilai agama dari kehidupan bernegara dan kerja-kerja pemerintahan.

“Dalam kaitannya dengan relasi agama dan negara, Indonesia juga bukanlah negara agama yang hanya mendasarkan penylenggaraan negara pada agama tertentu, serta bukan pula negara sekuler,” kata Daniel.

MK memandang, tidak adanya kebebasan untuk tidak beragama atau tidak berkepercayaan bukan suatu tindakan yang opresif dan sewenang-wenang dari negara. Justru hal tersebut memang diperlukan untuk tetap menjaga karakter bangsa yang religious dan partikular.

“Karakter dan corak hak asasi manusia yang kita anut tidaklah bersifat liberal dan juga tidak bersifat universal. Sebab hak asasi manusia yang berkarakter ke-Indonesiaan haruslah sesuai dengan jiwa bangsa,” ucap Hakim MK lainnya, Arief Hidayat.

Oleh karena itu, MK memutuskan bahwa pembatasan terhadap kebebasan warga negara untuk tidak beragama atau berkepercayaan diperbolehkan. Pembatasan tersebut juga tidak bertentangan sama sekali dengan dasar negara serta konstitusi.

“Pembatasan kebebasan beragama di mana tidak ada ruang kebebasan bagi warga negara untuk tidak memeluk agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah pembatasan yang proporsional dan bukanlah pembatasan yang bertentangan dengan Konstitusi,” kata Arief.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus