Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi resmi melarang masyarakat Indonesia untuk tidak menganut satu agama atau kepercayaan. MK berpendapat, UUD 1945 sebagai dasar konstitusi negara dengan tegas meyakini keberadaan Tuhan Yang Maha Esa sehingga dapat disebut sebagai konstitusi yang religious atau godly constitution.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kepercayaan kepada adanya Tuhan Yang Maha Esa merupakan salah satu karakter bangsa dan telah disepakati sebagai ideologi atau kondisi ideal yang dicita-citakan” ujar hakim MK Daniel Yusmic Foekh ketika membacakan dasar pertimbangan putusan, Jumat, 3 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putusan MK ini dibacakan terkait permohonan uji materiil nomor perkara 146/PUU-XXII/2024 terhadap Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam pasal ini, MK memandang kebebasan beragama dan berkepercayaan bukan berarti masyarakat bisa memilih untuk tidak beragama atau berkepercayaan.
MK mengatakan, pada dasarnya Indonesia bukanlah negara yang didasari pada satu dasar agama tertentu. Namun, Indonesia juga bukanlah negara sekuler yang memisahkan nilai-nilai agama dari kehidupan bernegara dan kerja-kerja pemerintahan.
“Dalam kaitannya dengan relasi agama dan negara, Indonesia juga bukanlah negara agama yang hanya mendasarkan penylenggaraan negara pada agama tertentu, serta bukan pula negara sekuler,” kata Daniel.
MK memandang, tidak adanya kebebasan untuk tidak beragama atau tidak berkepercayaan bukan suatu tindakan yang opresif dan sewenang-wenang dari negara. Justru hal tersebut memang diperlukan untuk tetap menjaga karakter bangsa yang religious dan partikular.
“Karakter dan corak hak asasi manusia yang kita anut tidaklah bersifat liberal dan juga tidak bersifat universal. Sebab hak asasi manusia yang berkarakter ke-Indonesiaan haruslah sesuai dengan jiwa bangsa,” ucap Hakim MK lainnya, Arief Hidayat.
Oleh karena itu, MK memutuskan bahwa pembatasan terhadap kebebasan warga negara untuk tidak beragama atau berkepercayaan diperbolehkan. Pembatasan tersebut juga tidak bertentangan sama sekali dengan dasar negara serta konstitusi.
“Pembatasan kebebasan beragama di mana tidak ada ruang kebebasan bagi warga negara untuk tidak memeluk agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah pembatasan yang proporsional dan bukanlah pembatasan yang bertentangan dengan Konstitusi,” kata Arief.