Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lembaran Baru Penganut Kepercayaan
MAHKAMAH Konstitusi mengabulkan uji materi Undang-Undang Administrasi Kependudukan yang menghapus diskriminasi terhadap penganut kepercayaan dalam kartu tanda penduduk pada Selasa pekan lalu. Putusan itu telah mengembalikan sebagian hak konstitusional penganut kepercayaan, yang diabaikan selama puluhan tahun. Selama ini, penghayat kepercayaan selalu mengosongkan kolom agama di kartu identitas mereka.
Hakim konstitusi Saldi Isra mengatakan Mahkamah menilai aturan pembatasan atas dasar keyakinan dengan mengosongkan kolom agama terbukti memunculkan diskriminasi. "Karena kepercayaan di masyarakat Indonesia sangat banyak dan beragam," kata Saldi saat membacakan putusan.
Uji materi ini diajukan empat pemohon dari agama lokal yang berbeda, yaitu Nggay Mehang Tana, penghayat kepercayaan Marapu; Pagar Demanra Sirait, penghayat kepercayaan Parmalim; Arnol Purba, penghayat kepercayaan Ugamo; dan Carlin, penganut kepercayaan Sapto Darmo. Putusan ini langsung disambut gembira penganut kepercayaan di berbagai daerah.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan lembaganya akan menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi itu. Kementerian Dalam Negeri akan segera berkoordinasi dengan Kementerian Agama serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mencatat semua aliran kepercayaan atau agama lokal dan jumlah penganutnya. "Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil akan memasukkan kepercayaan tersebut ke sistem administrasi kependudukan," ujar Tjahjo.
Menteri Tjahjo berjanji lembaganya akan segera memperbaiki aplikasi dan database Sistem Informasi Administrasi Kependudukan. Kementerian Dalam Negeri juga segera merancang draf revisi Undang-Undang Administrasi Kependudukan.
Dua yang Digugat
PUTUSAN Mahkamah Konstitusi membawa angin segar kepada penganut kepercayaan. Ini dua ketentuan yang dipersoalkan penggugat.
Gugatan
1. Pasal 61 Ayat 1
Kartu keluarga (KK) memuat keterangan mengenai kolom nomor KK, nama lengkap kepala keluarga dan anggota keluarga, nomor induk kependudukan, jenis kelamin, alamat, tempat lahir, tanggal lahir, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, status hubungan dalam keluarga, kewarganegaraan, dokumen imigrasi, nama orang tua.
2. Pasal 65 Ayat 1
KTP mencantumkan gambar lambang Garuda Pancasila dan peta wilayah negara Republik Indonesia serta memuat keterangan tentang nomor induk kependudukan, nama, tempat dan tanggal lahir, laki-laki atau perempuan, agama, status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pasfoto, masa berlaku, tempat dan tanggal dikeluarkan KTP, tanda tangan pemegang KTP, serta nama dan nomor induk pegawai pejabat yang menandatanganinya.
3. Putusan Mahkamah Konstitusi
Menyatakan kata "agama" dalam Pasal 61 ayat 1 dan Pasal 64 ayat 1 Undang-Undang tentang Administrasi Kependudukan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk "kepercayaan".
Kongkalikong Proyek Tugu Antikorupsi
KEJAKSAAN Tinggi Riau pada Rabu pekan lalu mengumumkan penetapan 18 tersangka kasus korupsi proyek Ruang Terbuka Hijau Tugu Integritas di Pekanbaru. Penyidik menaksir kerugian negara Rp 1,23 miliar dari nilai proyek tugu antikorupsi sebesar Rp 8 miliar yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Riau 2016 itu.
Asisten Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Riau Sugeng Riyanta mengatakan, dari hasil penyelidikan, terungkap korupsi berjemaah itu berawal dari kongkalikong di tingkat kelompok kerja unit layanan pengadaan. "Terjadi rekayasa dan pengaturan proyek untuk memenangkan kontraktor yang mereka inginkan," kata Sugeng.
Salah satu tersangka adalah anggota staf ahli Gubernur Riau, Dwi Agus Sumarno. Saat pembangunan tugu, Dwi Agus menjabat Kepala Dinas Cipta Karya Provinsi Riau, selaku pejabat pengguna anggaran. Sedangkan 12 tersangka lain adalah pegawai negeri dan lima pihak swasta. Pengacara sejumlah tersangka kasus ini, Razman Arif Nasution, belum bisa berkomentar soal penetapan tersangka kliennya. "Masih saya dalami," ujarnya.
Ribuan Warga Papua Disandera
KELOMPOK kriminal bersenjata asal Papua dikabarkan menyandera sekitar 1.300 orang di Desa Kimbely dan Banti, Mimika, selama tiga hari sejak Selasa pekan lalu. Menurut keterangan polisi, para penduduk itu masih diperbolehkan beraktivitas, tapi diancam tidak boleh meninggalkan kampung mereka. Beberapa warga bahkan dikabarkan mengalami serangan fisik.
Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian mengatakan anggota kelompok bersenjata itu tidak banyak. "Paling 20-25 orang," katanya Kamis pekan lalu. Tito mengatakan kelompok ini sudah ada sejak dia menjabat Kepala Kepolisian Daerah Papua pada 2012. Motif penyanderaan itu diduga masalah sosial dan ekonomi. Menurut Tito, sejauh ini belum ada permintaan tebusan.
Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal Gatot Nurmantyo mengatakan TNI dan Polri akan membentuk tim gabungan untuk menangani penyanderaan ini. "Kami akan berbagi tugas," ujar Gatot. Ia mengatakan prioritas tim gabungan ini adalah menyelamatkan penduduk.
PRESIDEN Joko Widodo mengeluarkan Instruksi Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pengambilan, Pengawasan, dan Pengendalian Pelaksanaan Kebijakan di Tingkat Kementerian Lembaga dan Lembaga Pemerintahan karena ingin menghindari kegaduhan di antara para menteri. "Supaya masyarakat tidak bingung," ujar Wakil Presiden Jusuf Kalla, Selasa pekan lalu.
Menurut dia, selama ini perbedaan pandangan di tingkat menteri kerap dikritik sejumlah kalangan. Dalam rapat kabinet, kata Kalla, Presiden juga kerap menegur para menteri yang membuat kegaduhan. Kalla menilai teguran itu tidak mempan dalam tiga tahun pemerintahan saat ini sehingga Presiden memutuskan mengeluarkan instruksi.
Instruksi presiden yang diteken Jokowi pada 1 November 2017 ini ditujukan kepada sejumlah pejabat tinggi negara, seperti menteri di kabinet, Sekretaris Kabinet, kepala lembaga pemerintahan non-kementerian, Panglima Tentara Nasional Indonesia, Jaksa Agung, dan Kepala Kepolisian RI. Ada 13 poin dalam instruksi tersebut. Intinya, setiap kebijakan kementerian ataupun lembaga non-kementerian harus dibahas dulu dengan lembaga terkait.
Kejaksaan Tahan Kepala BKKBN
KEJAKSAAN Agung menahan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Surya Chandra Surapaty dalam kasus dugaan korupsi pengadaan susuk Keluarga Berencana II tahun anggaran 2014-2015, Rabu pekan lalu. Surya diduga mengintervensi tender proyek senilai Rp 191,34 miliar tersebut.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Warih Sadono mengatakan Surya ditahan untuk memudahkan penyidikan. "Ia ditahan di Rumah Tahanan Salemba cabang Kejaksaan Agung," ujar Warih.
Surya ditetapkan sebagai tersangka pada pertengahan September lalu. Pria 66 tahun asal Palembang itu dilantik sebagai Kepala BKKBN pada 26 Mei 2015. Penyidik menduga harga yang ditawarkan hasil kesepakatan antarpeserta lelang di bawah kendali salah satu peserta tender. Melalui Edi Utama, pengacaranya, Surya akan mengajukan gugatan praperadilan atas kasus itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo