Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEGIAT demokrasi mengkritik pernyataan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto yang menyebutkan bahwa TNI saat ini sudah berperan multifungsi. Imparsial, lembaga pemantau pelanggaran hak asasi manusia, menilai pernyataan multifungsi tersebut tak jauh berbeda dengan pengakuan dwifungsi ABRI pada masa Orde Baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Yang dimaksudkan dwifungsi ABRI pada masa Orde Baru itu, kan, bukan saja sebagai alat pertahanan, tapi juga sosial-politik. Dwifungsi itu sama saja dengan multifungsi,” kata peneliti dari Imparsial, Hussein Ahmad, Senin, 10 Juni 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hussein mengatakan pernyataan Panglima TNI tersebut bertentangan dengan konsiderans pertimbangan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VI Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Kepolisian Republik Indonesia. TAP MPR ini juga menegaskan bahwa TNI hanya berperan sebagai alat pertahanan negara. Karena itu, militer semestinya tidak merambah ke fungsi dan peran sosial-politik.
Ia menjelaskan, latar belakang lahirnya TAP MPR tersebut karena melihat bahwa peran sosial-politik dalam dwifungsi ABRI telah menyebabkan terjadinya penyimpangan peran dan fungsi militer. Dwifungsi militer dapat menghambat sendi-sendi demokrasi. “Dwifungsi ABRI pada intinya merusak tata kelola,” kata Hussein.
Setelah rapat dengan Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat, Agus Subiyanto mengatakan masyarakat tak perlu khawatir terhadap revisi Undang-Undang TNI. Alasannya, fungsi militer kini sudah masuk ke ranah sipil. Saat ini, kata dia, tidak ada lagi dwifungsi ABRI, melainkan multifungsi TNI.
Ia mengatakan, sebelum muncul rencana revisi Undang-Undang TNI, prajurit TNI sudah berperan di berbagai lini, dari mengajar hingga memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat di Papua. "Sekarang di Papua yang mengajar itu anggota saya, TNI. Kemudian pelayanan kesehatan (dilakukan oleh) anggota saya. Terus kalian mau menyebut dwifungsi atau multifungsi sekarang?" kata Agus di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis pekan lalu.
Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto (kiri) dan Wakil Menteri Pertahanan Muhammad Herindra mengikuti rapat kerja dengan Komisi I DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 6 Juni 2024. TEMPO/M. Taufan Rengganis
Pernyataan Agus itu seiring dengan agenda revisi Undang-Undang TNI yang menjadi usul inisiatif anggota DPR. Revisi ini hanya mengubah dua pasal, yaitu Pasal 47 dan 53. Pasal 47 ini memperluas peran prajurit aktif di jabatan sipil. Misalnya, Pasal 47 ayat 2 mengatur bahwa prajurit TNI dapat menduduki jabatan sipil di semua kementerian atau lembaga yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai dengan kebijakan presiden. Sebelumnya, prajurit aktif hanya bisa menduduki jabatan sipil di sepuluh kementerian atau lembaga yang memang sejalan dengan peran dan fungsi TNI.
Hussein Ahmad menilai frasa “sesuai dengan kebijakan presiden” itu sangat multitafsir. Sebab, presiden dapat saja menugasi prajurit aktif di semua kementerian dan lembaga tanpa ada aturan main yang jelas.
“Jadi, kalau presiden mau, TNI bisa masuk semua jabatan sipil. Itu sebetulnya the real definition dwifungsi,” kata Hussein.
Menurut Hussein, TNI memang bisa melakukan tugas di luar perang atau pertahanan, tapi hanya bersifat sementara dan sebagai tugas perbantuan masyarakat sipil. Misalnya, peran prajurit dalam kondisi darurat bencana.
Tugas perbantuan militer sudah tegas diatur dalam TAP MPR Nomor VII Tahun 2000. Pasal 4 TAP MPR ini mengatur bahwa TNI bertugas membantu penyelenggaraan kegiatan manusia atau civic mission, membantu Polri dalam tugas keamanan, dan membantu tugas pemeliharaan perdamaian dunia di bawah bendera Persatuan Bangsa-Bangsa. TAP MPR ini dijabarkan lebih rinci dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Undang-Undang TNI memberi mandat kepada pemerintah agar membuat aturan tentang tugas perbantuan. Namun, kata Hussein, pemerintah belum membentuk aturan spesifik soal tugas perbantuan militer tersebut.
Ia mengatakan pemerintah justru menerbitkan aturan perbantuan militer secara parsial. Di antaranya Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2013 tentang Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.
Hussein melanjutkan, pada situasi saat ini, prajurit aktif justru masuk ke jabatan sipil secara permanen atau dalam waktu lama. Mereka menduduki jabatan sipil, tapi enggan melepaskan statusnya sebagai anggota TNI.
Kondisi ini berdampak secara hukum ketika prajurit aktif tersebut melakukan kejahatan. Sebab, mereka selalu berkukuh agar diadili di peradilan militer. Padahal kejahatan yang dilakukan tidak berhubungan dengan urusan TNI, melainkan kejahatan sipil yang seharusnya diadili di pengadilan umum.
Hussein mencontohkan Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) Marsekal Madya Henri Alfiandi yang terseret kasus korupsi di Basarnas. Awalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi hendak menangani kasus Henri. Namun Pusat Polisi Militer TNI berkukuh menangani kasus ini dengan alasan Henri masih berstatus prajurit aktif. Akhirnya KPK mengalah.
“Padahal seharusnya, dalam kasus Basarnas ini, ia diadili oleh pengadilan sipil, bukan pengadilan militer karena dia melakukan civic mission,” ujar Hussein.
Prajurit TNI mengikuti latihan simulasi pertempuran jarak dekat di Markas Komando Wing I Paskhas TNI AU, Halim Perdanakusuma, Jakarta. TEMPO/Imam Sukamto
Imparsial melakukan riset tentang tugas perbantuan TNI pada 2019. Hasil riset yang diterbitkan dalam bentuk buku berjudul Peran Internal Militer: Problem Tugas Perbantuan TNI itu menyimpulkan bahwa dwifungsi militer pada era Orde Baru membuat ABRI bukan sebatas penjaga keamanan, tapi juga berperan dalam politik dan ekonomi. ABRI menjadi kekuatan dominan dalam panggung politik Indonesia karena menjadi penopang utama kekuasaan rezim. Situasi itu membuat tidak ada batas antara ruang lingkup sipil dan militer bagi ABRI.
Riset itu juga menemukan peran militer meluas dan makin menguat di era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Padahal, pada era Presiden Abdurrahman Wahid, peran militer dalam jabatan sipil betul-betul dikurangi.
Pada era Presiden Jokowi, banyak kementerian, lembaga, bahkan perusahaan pemerintah melakukan kerja sama dengan TNI, serta makin banyak penempatan perwira aktif di jabatan sipil di luar ketentuan UU TNI. Imparsial menilai berbagai kerja sama itu bertentangan dengan UU TNI.
Baca Juga:
Lembaga ini juga menemukan perbantuan militer di urusan sipil yang banyak menyimpang di lapangan. Misalnya, perbantuan kepada pemerintah daerah dalam urusan penggusuran dan pelibatan TNI dalam program ketahanan pangan pemerintahan Jokowi pada 2015. Realisasi di lapangan, Imparsial mendapati tidak jarang prajurit TNI melakukan penyimpangan dalam upaya penegakan hukum untuk mengamankan program ketahanan pangan tersebut.
Peneliti dari Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (Lesperssi), Beni Sukadis, mengatakan, secara substansi, multifungsi TNI dan dwifungsi ABRI memiliki makna yang sama. Ia berpendapat, multifungsi TNI ataupun masuknya TNI dalam jabatan sipil sesungguhnya kontradiksi dengan Pasal 30 UUD 1945. Multifungsi TNI juga bertentangan dengan Undang-Undang Pertahanan Negara yang intinya mengembalikan prajurit TNI sebagai alat di bidang pertahanan negara.
“Pemisahan antara tugas sipil dan militer sudah jelas serta tidak perlu ada perdebatan lagi. Artinya, jika mau prajurit terjun ke politik atau mau mendapat jabatan politik, sebaiknya mundur sesuai dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI,” kata Beni.
Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (Isess), Khairul Fahmi, mengatakan agenda revisi Undang-Undang TNI saat ini sebetulnya jauh dari kebutuhan dan aspirasi TNI. Ia mengatakan pada tahun lalu ada saran dan masukan untuk TNI mengenai pasal-pasal yang seharusnya direvisi, di antaranya kedudukan kelembagaan; hubungan antara TNI, Kementerian Pertahanan, dan Kementerian Keuangan; serta bentuk operasi militer selain perang dan peradilan militer. “Kalau kita lihat muatan revisi UU TNI sekarang, tidak menjawab aspirasi TNI,” kata Khairul.
Ia mengakui ada sejumlah jabatan sipil yang memang membutuhkan prajurit aktif. Misalnya, bidang SAR ataupun intelijen. Khairul juga menyoal frasa “sesuai dengan kebijakan presiden” pada Pasal 47 ayat 2 draf revisi UU TNI, yang dianggapnya pasal karet. Sebab, presiden bisa sesukanya menempatkan prajurit aktif di semua jabatan sipil.
Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal TNI Nugraha Gumilar belum merespons permintaan konfirmasi Tempo soal ini. Ketika berada di Gedung DPR pada Kamis pekan lalu, Agus Subiyanto mengatakan saat ini banyak kementerian yang bekerja sama dengan TNI. Misalnya, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kementerian Badan Usaha Milik Negara. Ia mengatakan kondisi ini membuktikan bahwa kementerian tersebut membutuhkan keberadaan TNI.
Agus menjelaskan, penempatan TNI di sektor non-pertahanan antara lain bertujuan mempercepat pembangunan di wilayah yang membutuhkan peran TNI. "Kami berpikirnya untuk kemajuan NKRI, untuk membantu program-program pemerintah," katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo