Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Usul Prabowo Subianto memindahkan makam Pangeran Diponegoro dari Makassar ke tanah kelahirannya, Yogyakarta lantas memicu pro dan kontra. Sultan Hamengku Buwono X atau Sultan HB X tak sependapat dengan gagasan itu. Sontak, segala hal terkait Pangeran Diponegoro pun menjadi pembicaraan belakangan ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pangeran Diponegoro bernama asli Bendoro Raden Mas Mustahar yang kemudian diganti menjadi Raden Mas Ontowiryo. Diponegoro lahir Kraton Yogyakarta pada 11 November 1785. Ia putra sulung Sultan Hamengkubuwono II dan Raden Ayu Mangkurowati yang telah wafat ketika Diponegoro berusia 3 tahun, tepatnya 7 Oktober 1852.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak kecil, Pangeran Diponegoro diasuh oleh nenek buyutnya, Ratu Ageng atau sering disebut Ratu Ageng Tegalrejo , Permaisuri Hamengkubuwono I, pendiri kerajaan Yogyakarta yang menetap di Tegalrejo.
Kehidupan masa muda di Tegalrejo
Dilansir dari penelitian jurnal.upi.edu, Diponegoro kecil hidup dalam lingkungan pesantren yang jauh dari lingkungan kehidupan keraton. Kehidupan masa kecilnya di Tegalrejo membuat Diponegoro bergaul dengan semua lapisan masyarakat.
Dalam catatan Willem van Hogendorp, Diponegoro merupakan orang yang pandai bergaul dengan siapa saja, bahkan Diponegoro berbaur dengan rakyat jelata dan berlaku santai dengan orang-orang berpangkat.
Karakter Diponegoro dikenal sebagai seorang yang berjiwa wirausaha. Hal tersebut dibuktikan dengan penghasilan pertaniannya yang besar, bahkan tidak ada bandingnya di kalangan sesama Pangeran Yogyakarta. Diponegoro setiap harinya pergi ke pantai selatan, ke Gua Selarong bersama pengawal berkuda untuk membantu memotong dan menanam padi.
Kehidupan masa kecil Pangeran Diponegoro tidak dididik dengan fasilitas keraton yang serba mewah, justru dia terbiasa hidup sederhana. Dalam masa kanak-kanak sampai remaja, Diponegoro tinggal di Tegalrejo bersama nenek buyutnya. Berkat kesalehannya dan kesukaannya membaca kitab-kitab agama dan ketekunan merawat adat Jawa di keraton, pengabdian agama dan adat diwariskan oleh nenek buyutnya kepada Diponegoro.
Sosok yang pintar dan merakyat
Dikutip dari pendapat peneliti bernama Peter Carey (2011: 129), yang telah mempelajari kehidupan Diponegoro selama 30 tahun lebih, disebutkan jika Diponegoro punya jiwa penyelidik dan pengetahuan yang luas mengenai apapun, khususnya sejarah dan cerita-cerita Jawa.
Hal ini dapat terlihat dalam buku-buku nasehatnya semasa di Makassar mengenai wayang, dongeng-dongeng Jawa, para pahlawan khayali dan tempat-tempat keramat. Selanjutnya, Carey juga menilai bahwa pergaulan Diponegoro dengan orang luar keraton dan membaur dengan warga kampung akan menambah kharismanya sebagai seorang pemimpin rakyat.
Pemberontakan dan wafatnya Diponegoro
Terjadinya Perang Jawa atau Perang Diponegoro disebabkan oleh ketidaksetujuan Diponegoro atas campur tangan Belanda terhadap kerajaan. Selain itu Diponegoro merasa tidak terima sebab para petani lokal harus menderita akibat warga Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman yang menyalahgunakan penyewaan tanah mulai tahun 1821.
Dilansir dari ikpni.or.id, Perang Jawa menjadi peristiwa pemberontakan terbesar masyarakat Jawa terhadap penguasa kolonial Belanda. Pemberontakan tersebut dipimpin oleh Pangeran Diponegoro dan dialami oleh sekitar 2 juta penduduk yang pada akhirnya mampu membuat Belanda kehilangan 8 ribu pasukan bangsa Eropa dan 7 ribu pasukan bantuan lokal serta menghabiskan dana sebesar 25 juta gulden.
Pada 28 Maret 1830, Pangeran Diponegoro ditangkap oleh Belanda di Magelang, lalu dibuang ke pengasingan pertama di Semarang yakni pada 29 Maret hingga 5 April 1830. Kemudian ke pengasingan kedua terjadi di Batavia sejak 8 April hingga 3 Mei 1830, dan berlanjut hingga ke Manado pada 13 Juni 1830 hingga 20 Juni 1833.
Pengasingan terakhir Pangeran Diponegoro terjadi di Makassar selama kurang lebih 22 tahun, yakni pada 20 Juni 1833 hingga 8 Januari 1855 hingga wafatnya didampingi oleh istrinya, Raden Ayu Retnoningsih dan anak-anaknya.
Pilihan Editor: Tak Banyak Dikisahkan, Pangeran Diponegoro dan Kuda Kyai Gentayu