Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Dosen hukum tata negara Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera Bivitri Susanti menilai aksi Piknik Melawan atau kemah di depan Gedung DPR tak berpengaruh secara langsung untuk mencabut revisi UU TNI. Namun, aksi tersebut efektif untuk membangun gerakan sosial yang lebih luas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Aksi sekecil ini dengan situasi demokrasi seperti sekarang, menurut saya enggak akan punya pengaruh. Terus terang ya, ini mereka (DPR dan pemerintah) mau demonstrasi ribuan orang juga bergeming kok,” tutur Bivitri usai memberikan kuliah umum di trotoar seberang Gerbang Pancasila Gedung DPR, Jakarta Pusat, Selasa sore, 15 April 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Bivitri menilai apa yang terjadi pada rangkaian unjuk rasa revisi UU Pilkada 2024—yang disebut juga dengan aksi Peringatan Darurat—merupakan sebuah anomali. Keberhasilan aksi untuk membatalkan revisi UU Pilkada, menurut Bivitri, bukan karena massa.
Bila gerakan ini diukur dari keberhasilannya mengubah undang-undang, Bivitri menyatakan tak akan efektif. “Tapi, saya melihatnya gerakan ini bagus karena dengan situasi demokrasi yang seperti sekarang, kita memang butuh membangun gerakan sosial,” ujar dia.
Gerakan sosial seperti aksi Piknik Melawan dianggapnya bukan lagi tentang produk perundang-undangan, tetapi lebih mengenai cara memberdayakan masyarakat agar mereka lebih kritis terhadap negara.
“Gerakan ini supaya penyelenggara negara paham bahwa tugas mereka itu sebenarnya melayani kita sebagai warga. Jadi manfaatnya itu lebih ke perubahan relasi dan lebih banyak memperluas gerakan warga itu, bukan ke undang-undangnya itu sendiri,” kata Bivitri.
Aksi Piknik Melawan digelar untuk menuntut pencabutan revisi UU TNI. Masyarakat yang hadir tidak terlibat aliansi tertentu. Banyak dari mereka datang karena melihat ajakan di media sosial X @barengwarga. Sehingga, banyak pula yang baru bertemu dan berkenalan di lokasi aksi. Bivitri sendiri pun baru pertama kalinya datang dan mengaku tak mengenal peserta aksi lain sebelum kedatangannya itu.
Pada aksi berkemah ini, peserta mengisi waktu luang dengan mengadakan sejumlah kegiatan, seperti kelas Bahasa Isyarat Indonesia atau Bisindo, kelas boxing, kuliah umum, pembacaan puisi, hingga mengadakan lapak baca.
Aksi Piknik Melawan sudah dua pekan berlangsung. Namun pada Rabu, 9 April 2025, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Jakarta membubarkan sejumlah warga yang melakukan aksi berkemah di gerbang Gedung MPR/DPR/DPD itu. Sebelum akhirnya dibubarkan, para peserta aksi telah berkemah di depan Gerbang Pancasila selama 82 jam.
Kemudian pada Senin pagi, 14 April 2025, sejumlah peserta memutuskan untuk kembali menggelar aksi piknik itu. Tenda sebelumnya hendak didirikan tepat di depan Gerbang Pancasila DPR RI, namun pesera dipaksa bergeser ke trotoar di seberangnya. Aksi piknik pun baru bisa dimulai siang harinya.
Pada Senin malam, 14 April 2025, kepolisian berupaya membubarkan aksi itu. Enam orang peserta piknik—yang terdiri dari dua perempuan dan empat laki-laki—dimasukkan ke dalam mobil polisi. Penangkapan disebut dilakukan tanpa proses interogasi dan tanpa pendampingan hukum.
Seorang perwakilan aksi yang meminta untuk dipanggil Al menceritakan setelah keenam orang itu dibebaskan, para peserta Piknik Melawan kembali mendirikan tenda mereka. Berdasarkan pantauan Tempo pada Selasa, 15 April 2025 pukul 09.55 WIB, dua tenda terpasang di trotoar. Pada kedua tenda tersebut tertempel tulisan “Mohon maaf perjalanan Anda terganggu, sedang ada perbaikan demokrasi.”
Al menyebut tak ada satu pun perwakilan DPR yang turun ke lokasi untuk menemui para peserta aksi. “Entah itu anggota dewannya ataupun stafnya, belum ada yang reach out ke kami. Entah itu online ataupun datang langsung ke sini, atau mungkin berhenti menyapa dulu,” kata dia ketika ditemui di lokasi aksi di seberang Gerbang Pancasila, DPR, Jakarta Pusat, pada Selasa pagi.