Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Dosen hukum tata negara Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera Bivitri Susanti menegaskan aksi kemah yang menuntut pencabutan revisi UU TNI di seberang Gerbang Pancasila Gedung DPR bukan tindakan melawan hukum. Menurut dia, aksi yang dinamakan Piknik Melawan ini merupakan bentuk unjuk rasa yang dilindungi oleh konstitusi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Kebebasan berpendapat itu adalah hak konstitusional kita,” kata Bivitri ketika ditemui di lokasi Piknik Melawan, di seberang Gerbang Pancasila, Gedung DPR, Jakarta Pusat, Selasa, 15 April 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Bivitri mengatakan aparat keamanan tidak bisa membubarkan aksi dengan alasan pelanggaran Peraturan Daerah mengenai ketertiban umum. Hal tersebut lantaran posisi Perda berada di bawah undang-undang dalam tata urutan peraturan perundang-undangan. Artinya, peraturan itu tidak bisa melangkahi undang-undang, terutama Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur soal kebebasan berserikat, berkumpul, dan berpendapat.
Selain itu, Bivitri juga menilai alasan bahwa aksi ini mengganggu estetika atau pemandangan Gedung Parlemen dibuat-buat. “Terlalu mengada-ada kalau dibilang mengganggu pemandangan dan lain sebagainya, karena mereka bersih. Mengganggu pemandangan karena dalam pikiran mereka, mereka tahu anak-anak ini sedang protes,” ujar dia.
Menurut Bivitri, para perwakilan rakyat di dalam Gedung DPR seharusnya mendengarkan suara warga yang berkemah itu. Ia meyakini apabila protes maupun penolakan warga soal UU TNI didengarkan, peserta aksi akan membubarkan diri dengan sendirinya. “Enggak perlu diusir-usir. Solusinya bukan menyingkirkan mereka, tapi mendengar mereka,” tutur Bivitri.
Sejumlah peserta aksi masih bertahan di seberang Gerbang Pancasila Gedung DPR pada Selasa, 15 April 2025, meski mendung menyelimuti. Aksi Piknik Melawan berlanjut walaupun enam orang peserta sempat ditangkap oleh kepolisian semalam.
Berdasarkan pantauan Tempo pagi ini pukul 09.55 WIB, dua tenda terpasang di trotoar. Pada kedua tenda tersebut tertempel tulisan “Mohon maaf perjalanan Anda terganggu, sedang ada perbaikan demokrasi.”
Seorang perwakilan aksi yang meminta untuk dipanggil Al menceritakan bahwa enam peserta ditangkap pada Senin malam, 14 April 2025. Enam orang peserta piknik—yang terdiri dari dua perempuan dan empat laki-laki—dimasukkan ke dalam mobil polisi. Penangkapan itu disebut dilakukan tanpa proses interogasi dan tanpa pendampingan hukum.
Al mengaku tak mengetahui apa yang terjadi di dalam mobil itu. “Lalu di situ, setelah mungkin setengah sampai satu jam, mereka dibebebaskan. Kemudian kami regroup lagi, kami bangun lagi tendanya,” ucap Al ketika ditemui di lokasi aksi di seberang Gerbang Pancasila, DPR, Jakarta Pusat, pada Selasa pagi.
Adapun Al menyebut tak ada satu pun perwakilan DPR yang turun ke lokasi untuk menemui para peserta aksi. “Entah itu anggota dewannya ataupun stafnya, belum ada yang reach out ke kami. Entah itu online ataupun datang langsung ke sini, atau mungkin berhenti menyapa dulu,” kata dia.
Upaya pembubaran aksi kemah di Gedung Parlemen itu merupakan yang kedua kalinya. Pada Rabu, 9 April 2025, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Jakarta membubarkan sejumlah warga yang berkemah di gerbang Gedung MPR/DPR/DPD untuk menuntut pencabutan revisi UU TNI. Sebelum akhirnya dibubarkan, para peserta aksi telah berkemah di depan Gerbang Pancasila selama 82 jam.
Menurut Al, peserta Piknik Melawan kali ini akan bertahan di lokasi hingga tuntutan mereka didengarkan dan terpenuhi. Ia pun menginginkan aparat keamanan untuk ikut bekerja sama dengan peserta aksi. Bila aparat keamanan memberi aturan mengenai batasan keramaian pada malam hari, Al mengatakan peserta aksi akan menyanggupinya.
“Kami akan turuti itu, tapi kami ingin tenda ini sebagai simbol untuk tetap bertahan, sebagai simbol bahwa ada orang-orang yang masih melawan kerusakan di pemerintahan,” ujar dia.