Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRIH Harjadi menguatkan hati. Data gempa yang masih berdatangan dari jaringan seismografnya menunjukkan lindu itu bisa disusul tsunami. Besar-kecilnya urusan nanti.
"Menit ke-10, saya bilang: aktifkan sirene tsunami," ujar Prih, Deputi Bidang Geofisika Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, memutar ulang fragmen Rabu pekan lalu. Saat itu Aceh digoyang dua gempa besar di laut: pertama berkekuatan 8,5 skala Richter (SR) pada pukul 15.38 dan dua jam kemudian 8,1 SR.
Perintah Prih kala itu langsung dikirim via telepon seluler ke receiver di alarm tsunami. Enam sirene di Sumatera Barat dan dua sirene di Bengkulu langsung meraung. Tapi sirene di Aceh membisu. "Sirenenya tidak bunyi. Rusak," kata Muhajir, warga Banda Aceh, saat bergegas mengungsi.
"Bukan rusak, tapi gagal dihubungi karena jalur komunikasi padat sekali," ujar Prih. Menurut dia, sistem dapat dihubungi setelah timnya memakai VSAT. Tapi, lhakadalah, "Listrik PLN-nya mati."
Sirene di kantor Gubernur Aceh dan di Kaju baru menyala 40 menit kemudian, setelah diaktifkan secara manual. Empat alarm lainnya tak sempat disetel. "Teknisinya keburu panik mendengar kabar tsunami sudah mendekati daratan."
Kabar mengkhawatirkan soal kedatangan tsunami memang sudah berseliweran waktu itu. Misalnya, mengutip Twitter, "Air laut sudah surut. Tanda2 tsunami. Segera lari ke tempat tinggi kawan."
Untunglah ombak naik cuma setengah meteran di beberapa pantai Aceh, sekitar sejam setelah gempa pertama. Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat gempa kembar itu mengakibatkan lima orang meninggal—semuanya karena serangan jantung—dan tujuh orang terluka.
Menurut Hamzah Latief, pakar tsunami dari Program Studi Oseanografi Institut Teknologi Bandung, gempa tak memicu ombak besar karena lempeng bergerak mendatar. "Lain jika gempa itu di zona subduksi sehingga tumbukannya vertikal seperti saat tsunami 2004" (lihat "Ancaman di Teras Belakang").
Namun gempa kembar ini menguak ancaman baru. "Potensi gempa besar dan tsunami ternyata juga dari sesar laut," kata Hamzah. Padahal sesar ini berserakan: di sepanjang pantai barat Sumatera, selatan Jawa, Bali, hingga Nusa Tenggara. "Di sini dasar laut bisa melenting sewaktu-waktu."
Itu pernah terjadi pada 19 Agustus 1977 di pantai Sumbawa. Gempa sesar berkekuatan hampir 8 SR di kedalaman 33 kilometer mengakibatkan ombak 8 meter di pantai Ai Ketapang. Toh, menurut Rovicky Dwi Putrohari, Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia, gempa yang paling ditakuti tetap saja sewaktu-waktu bisa terjadi di zona megaÂthrust Mentawai dan Selat Sunda.
"Si Kembar membuat kedua zona itu makin tertekan. Bisa bangkit lebih cepat," kata Rovicky. Ahli gempa ITB lainnya, Irwan Meliano, sepakat. Irwan bahkan menyarankan di kedua zona itu segera dilakukan analisis citra batimetri untuk menakar kegentingannya.
Inilah yang akan terjadi bila lindu melenting dari kedua zona itu. "Gempa Mentawai bisa sebesar 8,8 skala Richter, gempa Selat Sunda 8,7 skala Richter," ujar Danny Hilman Natawidjaja, peneliti gempa dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Energinya hanya sedikit lebih tinggi dari gempa pekan lalu, tapi gempa ini merupakan gempa di zona tumbukan, serupa gempa Aceh 2004 yang memicu tsunami. "Jadi, ada baiknya gempa kembar Rabu lalu dianggap geladi resik."
Untung Widyanto, Anton William, Mahardika Satria Hadi
Ancaman di Teras Belakang
Tiga puluh juta tahun lalu, daratan yang kini bernama India merapat ke lempeng Eurasia. Kedua lempeng itu masih saling dorong sampai sekarang, mengakibatkan garis pertemuan keduanya naik menjadi Himalaya dan membikin daratan Nepal kian pipih lalu, suatu saat nanti, punah.
Sembari maju ke utara, lempeng India juga melintir searah jarum jam. Akibatnya, lempeng Indoaustralia di selatan Sumatera dan Jawa retak-retak. Retakan ini—disebut sesar—pernah sangat aktif, lalu tidur panjang. Gempa hebat yang memicu tsunami Aceh pada 2004 membangunkan kembali sesar-sesar tersebut. Gempa pekan lalu terjadi di salah satu sesar itu. "Yang sedang terjadi saat ini adalah gempa yang bersahut-sahutan di antara sesar-sesar di Indoaustralia dan Eurasia itu," ujar Rovicky Dwi Putrohari, Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia.
Menurut Rovicky, keadaan ini mengkhawatirkan karena sesar-sesar itu ternyata bisa menghasilkan gempa besar dan tsunami. "Ancaman ternyata lebih banyak dari perkiraan."
90 East Ridge
Mentawai Megathrust
Selat Sunda Megathrust
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo