Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TENANG saja mereka memasuki Perumahan Aur Kuning, Pekanbaru, Selasa sore dua pekan lalu. Menunggang tiga Kijang kapsul beriringan, para pria berbaju rapi itu menyapa sopan penjaga keamanan yang mencegat di gerbang kompleks. "Mereka bilang mau menjumpai kawannya," kata Boiman, penjaga keamanan itu, Rabu pekan lalu.
Boiman tak menaruh curiga. Demikian pula ketika tiga mobil itu keluar dari kompleks kurang dari satu jam kemudian. Esoknya, ia baru tahu, di salah satu mobil yang keluar itu, terenyak Muhammad Faisal Aswan, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Riau, penghuni rumah nomor 24 di blok J.
"Rupanya, rombongan itu menangkap Pak Faisal," kata Boiman. Kini ia mafhum: para pria di dalam mobil itu petugas Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pada sore yang sama, dari Aur Kuning, petugas KPK bergerak ke kantor DPRD. Yadi, petugas keamanan di kantor DPRD, mencatat ketiga mobil KPK tiba pukul 16.50. Satu jam kemudian, ia melihat tujuh anggota Dewan masuk ke tiga mobil tadi. "Tak ada hiruk-pikuk," katanya. "Kami tak tahu mereka ditangkap."
Ketujuh orang itu, yakni M. Dunir, Tengku Muhaza, Adrian Ali, Toerechan Asyhari, Syarif Hidayat, Indra Isnaini, dan Ramli Sanur, dibawa ke Kepolisian Daerah Riau, yang dimintai bantuan oleh KPK. MeÂreka adalah anggota Panitia Khusus Revisi Peraturan Daerah Nomor 6/2010 tentang Pengikatan Dana Anggaran Kegiatan Tahun Jamak untuk Pembangunan Venues pada Kegiatan Pekan Olahraga Nasional XVIII di Riau.
Ramli Sanur diizinkan pulang malam itu juga. Yang lain baru pulang keesokan harinya. Hanya Dunir yang menemani Faisal di dalam sel hingga sekarang. Kepada penyidik, Faisal mengaku orang suruhan Dunir, yang menjabat Ketua Panitia Khusus. "Faisal hanya perantara," kata pengacara Faisal, Syam Daeng Rani. "Dia disuruh Dunir membagikan uang." Tapi pengacara Dunir, Aziun Asyari, membantah. "Dunir ditumbalkan."
Sore itu, DPRD Riau baru saja mengesahkan revisi Peraturan Daerah Nomor 6/2010. Empat puluh lima dari 55 anggota Dewan yang hadir dalam sidang paripurna setuju pemerintah provinsi mengucurkan duit tambahan Rp 382,9 miliar untuk membangun tujuh venue cabang olahraga, termasuk lapangan tembak yang mangkrak.
Seorang anggota Dewan bercerita, sidang paripurna membahas revisi peraturan daerah itu berjalan amat lancar, terutama ketika menyetujui penambahan anggaran untuk lapangan tembak. Dari semula Rp 44,3 miliar, anggaran pembangunan ditambah menjadi Rp 63,7 miliar. Penambahan Rp 19,4 miliar tak dihadang interupsi. Ini jauh berbeda dengan siang itu, dalam sidang yang sama, ketika mereka membahas revisi Peraturan Daerah Nomor 5/2008 tentang anggaran stadion utama PON.
Pembangunan stadion berkapasitas 43 ribu penonton itu terbengkalai karena anggaran membengkak dari Rp 900 miliar menjadi Rp 1,118 triliun. Kekurangan Rp 218 miliar itu belum disepakati landasan hukumnya. "Karena banyak interupsi, diusulkan dibahas di sidang berikutnya," kata politikus itu.
Faisal buru-buru pulang setelah Ketua DPRD Djohar Firdaus mengetukkan palu. Di rumahnya di Aur Kuning, seorang tamu telah menunggu. Sang tamu, Kepala Seksi Pengembangan Sarana Prasarana Dinas Pemuda dan Olahraga Riau, Eka Dharma Putra, menyorongkan duit Rp 900 juta dalam tiga tas jinjing berbeda: tas kain hitam berisi Rp 500 juta, tas karton cokelat Rp 250 juta, dan tas plastik kuning pastel Rp 150 juta. Ketika itulah para petugas KPK mendobrak rumah Faisal.
Sore itu, selain menangkap Faisal dan Eka, KPK meringkus Rahmat Syahputra, karyawan PT Pembangunan Perumahan, di Bandar Udara Sultan Syarif Kasim II. Rahmat hendak terbang ke Jakarta. "Uang di tangan Faisal berasal dari PT Pembangunan Perumahan," kata sumber Tempo. Perusahaan konstruksi pelat merah ini merupakan anggota konsorsium penggarap proyek PON di Riau. Sekretaris Perusahaan Pembangunan Perumahan, Betty Ariani, belum bisa dimintai komentar soal ini.
Penangkapan Faisal bisa jadi membikin Gubernur Riau Rusli Zainal panas-dingin. Sejumlah orang menyebutkan pria 32 tahun itu kerabat jauh sang Gubernur, yang juga berasal dari Indragiri Hilir. Sama-sama bernaung di Partai Golkar, Faisal sering disebut kepanjangan tangan Rusli di Dewan.
Seorang anggota DPRD bercerita, ketika pembangunan sarana PON mangkrak karena dananya cekak, Faisal aktif melobi mengatasnamakan Rusli. Dalam dua bulan terakhir, kata sumber itu, Faisal kerap menggelar pertemuan dengan pemimpin Dewan, ketua fraksi, dan ketua komisi. Salah satu tempat pertemuan adalah rumah Wakil Ketua DPRD Taufan Andoso. Bukan anggota Panitia Khusus, kegigihan Faisal agar Dewan menyetujui pencairan dana tambahan proyek PON jelas mengundang curiga.
Keterlibatan Rusli juga tampak dari percakapan antara orang dekat sang Gubernur dan Taufan Andoso. Suatu hari, bawahan Rusli itu berkata kepada Taufan, "Pak Gubernur sudah setuju." Maksudnya, menurut sumber Tempo, Rusli diklaim setuju pemberian duit ke Dewan untuk memuluskan revisi peraturan daerah.
Taufan menolak menjelaskan kasus ini. "Selaku pemimpin Dewan, wajar saya mengetahui soal apa saja di DPRD ini, termasuk soal PON," ujarnya. "Tapi tidak berarti saya tahu masalah suap ini."
Dewan akhirnya menyetujui penambahan anggaran di tujuh venue cabang olahraga, tapi ada harganya. Lukman Abbas, Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Riau, yang bersama Rusli dicegah ke luar negeri pada Kamis pekan lalu, memerintahkan Eka Dharma Putra menyetorkan duit ke Dewan. Yang jadi soal, Dinas Olahraga tak punya duit.
Sumber Tempo bercerita, Eka dan orang-orang Dinas Olahraga kemudian menemui anggota konsorsium penggarap proyek. PT Pembangunan Perumahan akhirnya bersedia menalangi anggota konsorsium lain, PT Wijaya Karya dan PT Adhi Karya. Rahmat Syahputra, karyawan PT Pembangunan, menyerahkan duit Rp 1,8 miliar kepada Eka. Tapi yang diserahkan kepada Faisal hanya Rp 900 juta. Duit ini yang baru disita KPK.
Duit Rp 900 juta sisanya hingga kini belum jelas di mana. Satu sumber mengatakan, malam ketika Faisal, Dunir, dan kawan-kawan diinterogasi di Riau, duit itu dibawa ke Jakarta oleh seorang pegawai Dinas Olahraga, rekan Eka. Duit hampir diserahkan kepada seorang pejabat Riau yang malam itu ada di Jakarta untuk mengikuti acara partai. Operasi KPK di Jakarta batal karena terhadang hujan. "Setelah hujan, jalan macet," kata sumber itu. Akibatnya, KPK kehilangan jejak si target.
Siapa pejabat Riau itu? Belum jelas betul. Rusli Zainal dan Lukman Abbas dikabarkan berada di Jakarta pada Selasa malam dua pekan lalu itu. Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas mengatakan pencegahan Rusli ke luar negeri terkait dengan kasus ini lantaran revisi peraturan daerah itu melibatkan pemerintah provinsi dan Dewan. "Sebagai gubernur, perlu didalami sejauh mana keterkaitannya," kata Busyro.
Didatangi di kantornya, seorang pegawai gubernuran mengatakan Rusli sedang ke Jakarta. Telepon dan pesan pendek tak diresponsnya. Dalam rilisnya setelah pencekalan pada Kamis pekan lalu, ia membantah terlibat dalam perkara ini. "Sudah saya tegaskan tidak boleh ada aturan yang dilanggar," ujarnya. "Tapi, kalau sudah terjadi, tidak boleh diratapi."
Anton Septian (Jakarta), Jupernalis Samosir (Pekanbaru)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo