TERGELITIK juga hati PT. Caltex Pacific Indonesia (CPI) melihat
kerepotan Pemda Riau dalam urusan pertanian terutama dalam
masalah bahan pangan (TEMPO 26 Juli 76). Ini terbukti dengan
lahirnya sebuah proyek kerjasama antara perusahaan minyak itu
dengan Pemda Riau berujud sebuah "Pusat Pengembangan Pertanian
Tanaman Pangan". Proyek ini terletak di desa Kampar, Kabupaten
Kampar. Apa benar pentingnya itu proyek? "Sebagai pusat latihan,
penelitian lokal, demonstrasi-demonstrasi dan media penyuluhan",
kata Amrin Kahar, Kepala Dinas Pertanian Riau. Sebab
keterbelakangan Riau dalam masalah pertanian pangan tak lain
disebabkan sebagian besar petani karet Riau belum siap menerima
teknologi baru di bidang tanaman pangan. "Jadi kami perlu
mengintrodusir lebih dulu. Menyuluh dan membina mereka",
jelasnya.
Minus Penduduk
Tapi tentu saja bukan cuma itu penyakit Riau lambat bangkit
dalam urusan pertanian. Nyatanya perhatian dari fihak Pemerintah
pun baru betul-betul serius, sejak Pelita II. Maklum, dengan
sistim prioritas maka Riau kebagian jatah perhatian sudah agak
ke ujung dibanding daerah lain. Soal Bimas dan Inmas saja
misalnya, meskipun sejak tahun 1970 sudah ikut, tapi baru taraf
"membantu". Apalagi areal persawahan yang ada memang terbatas,
berikut sarana-sarana irigasi belum sempurna. Baru sekarang,
setelah sekian survey dilakukan, ternyata Riau cukup potensiil
buat tanaman pangan -- terutama padi-padian.
Instruksi Presiden membuka areal pasang surut 1 juta hektar
memberi Riau porsi sekitar 30%. Meski target untuk Pelita II ini
diturunkan cuma 250 ribu hektar saja, tapi Riau mendapat hampir
75 ribu hektar. Sehingga jumlah areal persawahan Riau yang
semula ada 60 ribu hektar ladang, 40 ribu hektar tadah hujan dan
50 ribu hektar pasang surut -- lalu ditambah program Pemda Riau
sendiri tahun 76/77 dengan membuka irigasi sederhana buat 30
ribu hektar persawahan, maka akhir Pelita II Riau mengantongi
tak kurang 250 ribu hektar sawah. Berarti istilah kemungkinan
berswasembada boleh jadi tercapai, kalau tidak malah surplus.
Asalkan saja, "semua berjalan menurut rencana", kata ir. Amrin.
Dengan luas 9,4 juta Km persegi (daratan) ternyata Riau minus
penduduk. Baru 1,8 juta jiwa. Tentu saja tenaga penggarap
persawahan -- yang sekian ratus ribu hektar itu tak bakal
disandarkan pada petani lokal. Makanya "Transmigrasi itu mutlak"
tambah Amrin. Untuk itu Riau sudah lama membunyikan genderang
memanggil para transmigran ke daerah ini. Tahun enam puluhan
sudah ada yang mampir, tapi konon banyak yang kemudian kabur.
Mengapa? "Mungkin perencanaannya kurang matang", jelas Amrin.
Lalu bagaimana pula yang di Te]uk Kiambang sejumlah 500 KK itu,
kabarnya juga ada yang sudah ngacir. "Ah, cuma prosentasi yang
kecil. Biasa, di daerah lainpun ada", ucap pejabat pertanian
itu.
Nah buat mensukseskan proyek pasang surut di Riau, tentu saja
sejumlah besar lagi Transmigran yang bakal diboyong. Berapa?
Diperkirakan sampai akhir Pelita II mencapai 33.000 KK. Ini tak
termasuk yang lokal, seperti usaha pemukiman kembali para
keluarga peladang yang tahun 76/77 ini ada 400 keluarga.
Tampaknya di atas kertas rencana-rencana itu sudah bagus semua.
Optimis boleh saja, asal jangan melebihi takaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini