Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Pemetaan Gambut, BIG Pakai Metode Juara Indonesian Peat Prize

Akan dikeluarkan Peraturan Kepala BIG terkait pemetaan gambut sesuai metode pemenang Indonesian Peat Prize.

3 Februari 2018 | 07.40 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kepala Badan Informasi Geospasial, Hasanuddin Zainal Abidin. Tempo/Vindry Florentin

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Informasi Geospasial Hassanuddin Z. Abidin mengatakan lembaganya akan memakai metode tim pemenang  kompetisi  Indonesian  Peat Prize untuk memperbaiki Standar Nasional Indonesia (SNI) ihwal pemetaan gambut berskala 1:50.000.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Untuk memulai perbaikan, terlebih dahulu Hassanuddin akan mengeluarkan Peraturan Kepala BIG terkait pemetaan tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Dengan membuat metode pemenang sebagai standar, kami akan memperoleh peta gambut beserta data dan informasi spasialnya sebagai sarana melindungi lahan gambut secara lebih efektif dan efisien,” ujar dia dalam keterangan tertulis, Sabtu, 3 Februari 2018.

Baca juga:

Tim International Peat Mapping (IPM) diumumkan sebagai pemenang kompetisi berhadiah satu juta dolar AS pada Jumat, 2 Februari 2018. Para juri menilai tim yang terdiri dari ilmuwan dari Remote Sensing Solutions GmbH (RSS), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dan Universitas Sriwijaya itu menawarkan metode yang paling baik untuk memetakan lahan gambut.

Anggota tim IPM meliputi pakar pemetaan dan lahan gambut dari Indonesia, Jerman, dan Belanda. Yaitu  Prof. Dr. Florian Siegert, Dr. Uwe Ballhorn, Peter Navratil, Prof. Dr. Hans Joosten, Dr. Muh. Bambang Prayitno, Dr. Bambang Setiadi, Felicitas von Poncet, Suroso dan Dr. Solichin Manuri.

Indonesian Peat Prize diprakarsai oleh BIG untuk merespon masih minimnya, kurang akuratnya, dan kurang terkininya data dan informasi gambut di Indonesia. Gambut, lapisan vegetasi dan tanah yang tebal dan basah yang tertimbun selama ribuan tahun, dapat ditemukan di banyak ekosistem tropis dan Indonesia merupakan rumah bagi hutan rawa gambut terbesar di dunia.

Lahan gambut sangat kaya akan kandungan karbon dan keanekaragaman hayati, namun seringkali dikeringkan atau dibakar untuk dialihfungsikan menjadi lahan pertanian dan perkebunan.

Gambut adalah sumber emisi karbon yang besar ketika dibakar atau membusuk. Pada tahun 2015, lahan gambut berkontribusi pada sekitar 42 persen emisi di Indonesia. Kebakaran hutan dan lahan gambut yang terjadi di tahun yang sama, juga mengakibatkan sekitar 100.000 kematian dini, menimbulkan kerugian ekonomi yang mencapai 221 triliun rupiah, serta melepaskan 1,62 miliar metrik ton gas rumah kaca, setara dengan emisi yang dikeluarkan 350.000 kendaraan sepanjang tahun.

Pengukuran kedalaman, atau ketebalan, lahan gambut sangatlah penting. Makin tebal lapisan gambut, makin parah pula dampak ekologis yang ditimbulkan akibat gangguan terhadap gambut, termasuk emisi karbon.

Ketidakpastian mengenai data dan informasi tentang gambut telah menghambat berbagai upaya perlindungan dan restorasi gambut serta menciptakan ruang bagi pihak yang tidak bertanggung jawab untuk terus melanjutkan alih fungsi lahan gambut, yang seringkali menyebabkan keringnya gambut dan timbulnya kebakaran.

Florian Siegert, perwakilan dari tim International Peat Mapping, menjelaskan timnya telah melakukan penelitian mengenai lahan gambut tropis sejak awal 1990, dan  memiliki rekam jejak yang panjang dalam mendukung proyek konservasi dan restorasi lahan gambut.

“Kami siap mendukung penelitian dan kerja sama ilmiah antara universitas di Indonesia dan Jerman serta pemerintah untuk menerapkan dan mengembangkan lebih lanjut metode kami untuk mengelola, melindungi, dan merestorasi lahan gambut di Indonesia dan di seluruh dunia,” ujar Florian Siegert.

Bambang Setiadi, anggota tim International Peat Mapping dari BPPT, menyatakan bahwa penelitian menunjukkan, ketika tingkat air tanah di hutan rawa gambut tropis berada di posisi rendah di musim kemarau, gambut akan lebih rentan terhadap kebakaran.

"Metodologi ini akan mendukung perolehan data elevasi topografi untuk lahan gambut, termasuk kubah gambut, yang dapat digunakan untuk memahami tingkat air tanah dan penilaian hidrologi lainnya untuk tujuan restorasi," ujar Bambang.

Co-chair Dewan Penasihat Ilmiah sekaligus Ketua Himpunan Masyarakat Gambut Indonesia Prof. Dr. Supiandi Sabiham menyatakan, Dewan Penasihat Ilmiah sangat menghargai karya yang dihasilkan para finalis dalam mengembangkan metode untuk memetakan dan melindungi lahan gambut, yang penting untuk dilakukan guna memenuhi komitmen iklim Indonesia.

"Mengelola lahan gambut secara lestari dan bertanggung jawab harus diutamakan, dan untuk mencapai tujuan tersebut, Indonesian Peat Prize memainkan peran yang sangat besar," kata Supiandi.

Indonesian Peat Prize tidak hanya merepresentasikan sebuah solusi terobosan bagi Indonesia, tetapi juga menyediakan jalan bagi masyarakat di seluruh dunia untuk bekerja sama memperbaiki tata kelola dan konservasi lahan gambut.

Indonesian Peat Prize dipimpin oleh pemerintah Indonesia, dengan dukungan dari Yayasan David and Lucile Packard, pakar gambut dan pemetaan yang tergabung dalam Dewan Penasihat Ilmiah yang berperan sebagai juri, serta tim teknis yang berasal dari BIG, Kementerian Pertanian, serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. WRI Indonesia merupakan mitra pelaksana kompetisi gambut Indonesian Peat Prize.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus