Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tindakan polisi terhadap pengunjuk rasa di Lampung dinilai berlebihan.
Aksi penolakan UU Cipta Kerja kerap berakhir ricuh.
Institusi kepolisian harus mengevaluasi cara-cara yang digunakan untuk menangani demonstrasi.
JAKARTA – Tindakan represif kepolisian terhadap pengunjuk rasa yang menolak Undang-Undang Cipta Kerja di Lampung menuai kecaman. Aparat dinilai sewenang-wenang dalam menangani pengunjuk rasa. “Kami mengecam sikap aparat kepolisian yang diduga menggunakan kekuatan berlebihan dalam menghadapi protes mahasiswa yang menolak Undang-Undang Cipta Kerja,” ujar Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyampaian pendapat di muka umum dalam bentuk unjuk rasa merupakan hak warga negara yang dilindungi undang-undang. Sebagai aparat penegak hukum, kata Usman, polisi seharusnya memberikan ruang kepada mahasiswa untuk menyampaikan pendapat secara damai. “Jadi, tidak perlu menggunakan kekerasan,” ujarnya. “Kami mendesak Presiden Jokowi mengevaluasi kinerja kepolisian. Represi terhadap unjuk rasa damai tidak boleh berulang terus-menerus.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Lampung Memanggil menggelar aksi di depan gedung DPRD Lampung pada 30 Maret lalu. Mereka menuntut pemerintah mencabut Undang-Undang Cipta Kerja. Awalnya, massa melakukan long march dari Tugu Adipura menuju gedung DPRD Lampung. Di gerbang DPRD, pengunjuk rasa dihadang aparat keamanan. “Kawan-kawan itu ingin masuk pelataran di DPRD, tapi ditolak,” kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung, Sumaindra Jarwadi. Pengunjuk rasa akhirnya menggelar orasi sambil bernegosiasi dengan aparat.
Baca: Aksi Tolak Perpu Cipta Kerja Kembali Bergerak
Menjelang petang, kata Sumaidra, situasi memanas. Polisi mulai menggunakan water cannon untuk menghalau massa. Kericuhan tidak bisa dihindari setelah polisi melepaskan gas air mata. “Dari dokumentasi yang kami terima, ada pengunjuk rasa yang dipiting dan dipukul.”
Aparat kepolisian menghalau aksi masyarakat sipil dan mahasiswa yang sedang berunjuk rasa mendesak pemerintah dan DPR mencabut UU Cipta Kerja, di depan gedung DPRD Provinsi Lampung, 30 Maret 2023. Instagram LBH Bandar Lampung
Polisi kemudian menangkap 48 orang, yang terdiri atas 45 mahasiswa dan 3 pedagang. Mereka dibawa ke Polres Bandar Lampung. “Perkembangan terakhir, tadi sekitar pukul 15.00, teman-teman sudah dilepaskan,” ujar Sumaidra. LBH Bandar Lampung, kata dia, telah membuka posko pengaduan untuk menerima laporan tentang kekerasan yang dilakukan aparat. "Aparat kepolisian tidak pernah belajar dari pengamanan-pengamanan aksi sebelumnya."
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mengecam tindakan polisi yang menangkapi pengunjuk rasa di Lampung. Bahkan penangkapan itu dinilai telah menyalahi prosedur. Sebab, berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penangkapan terhadap seseorang bisa dilakukan jika terjadi tindak pidana. “Masalahnya, unjuk rasa itu kan bukan tindak pidana, kenapa harus ditangkap?” kata peneliti dari Kontras, Rozy Brilian.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Lampung, Komisaris Besar Zahwani Pandra Arsyad, mengatakan penangkapan terhadap 48 orang dalam aksi unjuk rasa di depan gedung DPRD sudah sesuai dengan prosedur. Penangkapan itu dilakukan sebagai bentuk pengamanan. “Jadi, intinya, sebanyak 48 orang tersebut diamankan dalam rangka penyelidikan dan penyidikan,” kata dia. “Kami kan berhak memeriksa, apakah orang itu masuk pidana atau tidak.”
LBH Bandar Lampung mendampingi 48 pengunjuk rasa yang ditangkap di Polresta Bandar Lampung, 30 Maret 2023. Instagram LBH Bandar Lampung
Zahwani menyesalkan adanya kericuhan dalam unjuk rasa di depan gedung DPRD itu. Padahal awalnya aksi berlangsung damai. Namun massa memaksa masuk ke pelataran DPRD. Kepolisian tentu tidak bisa mengizinkan. Saat itulah massa mulai bertindak ricuh dan menginjak-injak pagar berduri yang dipasang polisi. Karena itulah polisi terpaksa menggunakan water cannon dan gas air mata untuk menghalau massa.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendorong institusi kepolisian mengevaluasi seluruh jajarannya dalam menangani demonstrasi. Sebab, ada kecenderungan polisi bertindak represif terhadap masyarakat yang menyampaikan pendapat dalam bentuk unjuk rasa. “Kebebasan berekspresi dan berpendapat adalah hak setiap warga negara,” kata Koordinator Sub-Komisi Pemajuan HAM Komnas HAM, Anis Hidayah. “Jadi, setiap orang berhak menyampaikan pandangan sikap kepada pemerintah.”
JIHAN RISTIYANTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo