Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERJALAN pelan dengan ditopang tongkat abu-abu, Paus Fransiskus menyusuri lorong pesawat Singapore Airlines dari kelas bisnis ke bangku ekonomi. Pada Jumat, 13 September 2024, pesawat Airbus 350-900 itu baru 20 menit lepas landas dari Bandar Udara Internasional Changi, Singapura, membawa rombongan Takhta Suci Vatikan kembali ke Roma.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di kabin kelas ekonomi itu, puluhan kamera para jurnalis dari berbagai negara menyorot wajah Fransiskus. Bunyi tepuk tangan memenuhi kabin begitu Fransiskus melambaikan tangannya ke arah para wartawan. Fransiskus lalu duduk di kursi roda yang disediakan seorang personel Garda Swiss, pengawalnya. Ia memegangi topi kebesarannya yang melorot.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berbicara dalam bahasa Italia, yang diterjemahkan oleh Direktur Biro Pers Takhta Suci Vatikan Matteo Bruni ke bahasa Inggris, Fransiskus berterima kasih kepada para wartawan karena telah mengikuti rangkaian Perjalanan Apostolik-nya selama dua pekan ke Indonesia, Papua Nugini, Timor Leste, dan Singapura. “Akhirnya kita berada di akhir perjalanan,” kata Paus, 87 tahun, yang lahir dengan nama Jorge Mario Bergoglio di Argentina.
Matteo Bruni lalu mempersilakan para wartawan mengajukan pertanyaan. “Pertanyaan apa saja,” ujar Bruni. Tak semua wartawan mendapatkan kesempatan bertanya. Fransiskus memprioritaskan pertanyaan dari para wartawan yang negaranya ia kunjungi dalam Perjalanan Apostolik. Satu negara, satu penanya—karena waktu konferensi pers maksimal 30 menit.
Bruni mengatakan para wartawan boleh mengelaborasi berbagai pernyataan Paus Fransiskus selama kunjungan itu. Soalnya, di pelbagai negara, Fransiskus menyampaikan pesan berbeda-beda. Saya yang mendapatkan kesempatan pertama bertanya tentang pesan Paus di Papua Nugini. Di depan Gubernur Jenderal Papua Nugini Bob Bofeng Dada, pada 7 September 2024, Paus Fransiskus menyentil negara itu soal pengelolaan sumber daya alam.
Fransiskus mengatakan sumber daya alam seharusnya tidak dieksploitasi besar-besaran. Penduduk lokal Papua Nugini menyatakan pertambangan di negara itu masif dalam sepuluh tahun terakhir. Investasi jorjoran datang dari Australia dan Cina.
Dua tahun belakangan, Indonesia menjajaki komunikasi dengan Papua Nugini. Seorang pejabat Indonesia di Papua Nugini di Port Moresby bercerita, Presiden Joko Widodo pernah membahas penghiliran industri ekstraktif sumber daya alam dengan Gubernur Jenderal Papua Nugini.
Paus menyerukan pengelolaan sumber daya alam tak hanya dinikmati sebagian kelompok masyarakat. Paus juga menyorot keberadaan perusahaan-perusahaan internasional yang mengeruk sumber daya alam tapi mengesampingkan masyarakat lokal. “Jika para ahli dan perusahaan internasional besar harus terlibat dalam pemanfaatan sumber daya, masyarakat lokal perlu mendapatkan hak yang semestinya,” ucap Paus di Papua Nugini.
Apa yang terjadi di Papua Nugini mirip dengan yang terjadi di Papua, wilayah Indonesia. Masyarakat adat di pulau itu tersingkir akibat pengerukan sumber daya alam yang masif. Mendapat pertanyaan saya dalam penerbangan menuju Roma itu, Paus menjelaskan bahwa Gereja Katolik bisa mengambil peran melalui para misionarisnya untuk menyikapi masalah di Papua dan Papua Nugini.
Di Papua, Paus Fransiskus menemui lima pastor Argentina yang tinggal di Vanimo, perbatasan Papua Nugini dengan Papua. Para pastor itu mengabdi selama bertahun-tahun di wilayah perbatasan untuk ikut melindungi hak hidup masyarakat. “Mereka, yang saya kunjungi, hidup dan menjaga hutan di sana,” kata Fransiskus.
Paus mengatakan masalah seperti ini banyak terjadi di negara-negara yang sedang berkembang. Menurut dia, harus ada dialog antarsektor yang melibatkan kelompok masyarakat. “Yang paling perlu dilakukan adalah komunikasi sosial,” tutur Paus.
Pertambangan dan pembukaan lahan di Papua Nugini yang berdampak pada masyarakat adat didengar oleh Paus sejak Juni 2024 atau dua bulan sebelum perjalanan kerasulan ini. Fransiskus menerima informasi itu dari kepala suku Turi, Mundiya Kepanga, yang datang ke Istana Apostolik di Vatikan.
Saat saya bertemu dengan Mundiya di Port Moresby, dia bercerita bahwa ia berjumpa langsung dengan Fransiskus di ruang kerjanya. Mundiya meluapkan kegusarannya terhadap deforestasi yang membuat masyarakat adat tergusur dari ruang hidup mereka. Mundiya melihat Fransiskus mencatat hal-hal yang ia sampaikan ke dalam sebuah buku. “Setelah selesai mencatat, beliau memberikan pulpennya kepada saya,” kata Mundiya. Di ujung pertemuan itu, Fransiskus mengatakan ia akan mengunjungi Papua Nugini untuk bertemu langsung dengan masyarakat.
Paus Fransiskus mengunjungi Sekolah Humaniora Tritunggal Mahakudus di Baro, dekat Vanimo, Papua Nugini, 8 September 2024. Reuters/Guglielmo Mangiapane
Tak hanya berbicara mengenai pertambangan, dalam pesawat menuju Roma itu Paus Fransiskus menyampaikan pandangannya tentang problem di negara maju, seperti Singapura. Dia menyorot sejumlah negara yang menolak imigran. Di Singapura, Paus meminta pemerintah memperhatikan kesejahteraan migran dan imigran dengan memberikan upah yang layak. “Negara harus melindungi martabat pekerja migran. Para pekerja ini berkontribusi besar bagi masyarakat dan harus dijamin dengan upah yang adil dan layak,” ujarnya.
Kardinal William Goh telah menyusun pesan-pesan Paus di empat negara itu. Namun Paus belum mendapat gambaran tentang negara-negara dari perwakilan Nunsiatura (Kedutaan Besar Vatikan) di Indonesia. Karena itu, ia mengumpulkan para pastor dalam pertemuan pribadi di Singapura. “Kami banyak berbicara tentang masalah di negara kami,” kata Goh di Singapura, Kamis, 12 September 2024.
Di negara tetangga Papua Nugini, Timor Leste, dalam tatap muka bersama para wartawan di pesawat, Paus menyorot kekerasan seksual yang melibatkan para pastor. Masalah ini merujuk pada skandal seorang tokoh gereja terkemuka di Timor Leste, Uskup Carlos Ximenes Belo, yang terbukti melecehkan secara seksual anak laki-laki di bawah umur selama 20 tahun.
Vatikan telah memberikan sanksi terhadap uskup tersebut. “Gereja mengutuk setiap jenis kekerasan, bukan hanya kekerasan seksual,” ucap Paus Fransiskus. Pesan yang sama disampaikannya dalam pertemuan dengan Presiden Timor Leste José Ramos-Horta di Timor Leste, Senin, 9 September 2024.
Pada 2019, Paus menerima surat dari sekelompok aktivis dan organisasi swadaya masyarakat di Timor Leste tentang maraknya kekerasan seksual di negara itu. Maria Imaculada, relawan Asian Justice and Rights, salah satu aktivis yang turut menyurati Paus. Ia mendampingi sekitar 800 korban kekerasan, termasuk kekerasan seksual yang dilakukan para pastor.
Dalam surat itu, Imaculada mendesak Vatikan memberikan sanksi berat bagi para pelaku kekerasan seksual di lingkungan gereja. Menjelang kedatangan Paus Fransiskus, para pendamping korban membuat surat terbuka untuk meminta Vatikan meminta maaf atas perbuatan para pelaku. “Selama ini gereja cenderung diam dan tutup mata karena menganggap masalah ini hal yang tabu,” kata Imaculada di Papua Nugini, Selasa, 10 September 2024.
Seorang pendamping korban di Timor Leste bercerita, korban kekerasan seksual dan pendamping diintimidasi sekelompok orang tak dikenal beberapa hari sebelum Paus tiba di Papua Nugini. Mereka mendapat teror hingga ancaman. Imaculada dan seorang aktivis yang menolak disebut namanya mengaku dilarang keluar dari rumah dan tak boleh menyuarakan isu-isu sensitif, seperti kekerasan seksual, selama kedatangan Paus.
Selama tiga hari Paus berada di Timor Leste, para korban dan pendamping mereka pun berdiam di tempat tinggal masing-masing. Mereka mengalap berkah kedatangan Paus Fransiskus dari rumah sembari berharap Paus akan berbicara tentang kekerasan seksual. Mereka bersorak ketika Paus Fransiskus membahas soal itu di depan Presiden. “Kedatangan Paus Fransiskus menjadi kekuatan atau vibrasi,” tutur Imaculada. “Setelah ini, kami akan meneruskan perjuangan.”
Dalam penerbangan menuju Roma, Paus Fransiskus memastikan gereja akan terus berpihak kepada para korban kekerasan seksual. Ia berhenti berbicara ketika pesawat terguncang akibat turbulensi. “Masalah kekerasan seksual telah menyebabkan turbulensi, bahkan di pesawat ini,” katanya ketika pesawat kembali tenang. Para wartawan tersenyum mendengar humor khas Paus Jesuit ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo