Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Power Wheeling dan RUU Energi Baru Mengancam Monopoli Listrik PLN

Pasal tentang power wheeling mengganjal pengesahan undang-undang energi baru-terbarukan. Mengancam keistimewaan PLN.

15 September 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • RUU EBET memuat dua pasal mengenai power wheeling.

  • PLN menilai power wheeling hanya berdampak negatif pada perseroan.

  • Tingkat pemanfaatan EBET di Indonesia masih rendah.

DUA pekan menjelang purnatugas, Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat masih menggelar rapat kerja dengan pemerintah. Komisi yang membidangi sektor energi, riset dan teknologi, serta lingkungan hidup ini menjadwalkan pertemuan dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia pada Rabu, 18 September 2024. Agendanya hanya satu: membahas Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan alias RUU EBET.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pertemuan tersebut, berdasarkan jadwal rapat Komisi VII, akan meliputi pelaporan panitia kerja, pembacaan naskah RUU, serta pendapat akhir minifraksi, presiden, dan Dewan Perwakilan Daerah. Setelah itu, akan berlangsung penandatanganan naskah pengambilan keputusan agar pembahasan RUU EBET bisa dilanjutkan ke tingkat I paripurna atau sidang pleno komisi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anggota Komisi VII dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Mulyanto, membenarkan informasi tentang agenda rapat terakhir tersebut. “Termasuk keputusan mengenai pasal tentang power wheeling,” ia menjelaskan kepada Tempo, Kamis, 12 September 2024. 

Power wheeling adalah mekanisme berbagi jaringan tenaga listrik yang dibangun PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN kepada pihak swasta dengan mekanisme sewa atau membayar. Pemerintah menyebutnya sebagai pemanfaatan bersama jaringan transmisi atau PBJT. Konsep power wheeling menjadi satu-satunya isu yang mengganjal pembahasan RUU EBET. 

Pengecekan panel surya berkapasitas 1,3 Mega Watt di Pabrik tekstil Ever Shine Tex kawasan Tigaraksa, Tangerang, Banten, Rabu 29 November 2023. Tempo/Tony Hartawan

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Eniya Listiani Dewi mengatakan rapat panitia kerja serta forum tim perumus dan tim sinkronisasi Komisi VII DPR bersama pemerintah telah merampungkan pembahasan semua pasal dalam RUU EBET. Total terdapat 63 pasal.  

Namun, menurut Eniya, belum ada kata mufakat mengenai masalah power wheeling. “Substansi PBJT menjadi pending issue,” ujarnya di Jakarta, Senin, 9 September 2024. Eniya meyakinkan, dari sisi pemerintah, rumusan PBJT yang diusulkan dalam RUU EBET sudah disetujui oleh semua wakil kementerian. 

Menurut Mulyanto, pembahasan RUU EBET oleh tim perumus dan tim sinkronisasi pada Senin, 2 September 2024, lebih berfokus pada aspek redaksional. Tidak ada perubahan substansi ataupun norma pengaturan. Ia memastikan sejauh ini sikap dan pandangan Fraksi PKS konsisten menolak pasal tentang power wheeling

Fraksi PKS mengingatkan, istilah power wheeling atau pembukaan akses jaringan transmisi kepada pihak ketiga dapat menimbulkan kesalahan persepsi sehingga kesan yang muncul hanya sebatas masalah teknis atas penggunaan transmisi secara bersama, tidak menggambarkan persoalan yang sesungguhnya. “Kenapa tidak menggunakan bahasa yang lugas membolehkan swasta menjual listrik EBET yang diproduksinya secara langsung?” kata Mulyanto.

Mulyanto menambahkan, bila urusan ini disederhanakan menjadi sekadar sewa-menyewa jaringan transmisi, hal itu tidak perlu diatur lagi dalam undang-undang, melainkan cukup menggunakan skema bisnis antara PLN dan pihak swasta. Sebab, norma ini sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. Begitu pula pembangunan dan pemanfaatan listrik energi baru untuk keperluan sendiri atau captive power yang sudah terakomodasi dalam sejumlah aturan. “Ini soal prinsip monopoli negara atas sektor kelistrikan sebagai amanat konstitusi, agar listrik tidak dikuasai orang per orang dan harga ditentukan mekanisme pasar,” ucapnya.

Anggota Komisi VII dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Mulyanto. FOTO/pakmul.id

Eniya menepis persepsi bahwa power wheeling akan berujung pada liberalisasi sektor kelistrikan. Pemerintah, dia menjelaskan, akan mengatur pemanfaatan bersama jaringan transmisi yang hanya diizinkan untuk listrik dari pembangkit energi baru dan energi terbarukan. Tujuannya, mempercepat pertumbuhan bauran energi hijau. 

Pada 2023, realisasi bauran energi baru dan terbarukan hanya 13,3 persen dari target pemerintah 17,9 persen. Hingga Agustus tahun ini, Kementerian Energi mencatat penambahan kapasitas terpasang pembangkit energi hijau 241,06 megawatt dan diproyeksikan akan mencapai 650,99 megawatt pada Desember mendatang. Pertumbuhan signifikan didorong pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap sebagai dampak penerbitan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 2 Tahun 2024 tentang PLTS atap on-grid. Kementerian Energi memasang target bauran energi hijau yang lebih besar pada 2025, yakni 23 persen.

•••

POWER wheeling ada dalam dua pasal Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan, yakni Pasal 29A yang mengacu pada energi baru dan Pasal 47A yang merujuk pada energi terbarukan. Pada ayat 1 kedua pasal tersebut tercatat, “Untuk mengoptimalkan pemanfaatan energi baru/energi terbarukan, pemegang wilayah usaha ketenagalistrikan harus memenuhi kebutuhan konsumen akan penyediaan tenaga listrik yang bersumber dari energi baru/energi terbarukan.”

Sedangkan ayat 2 kedua pasal itu menyatakan, “Pemenuhan kebutuhan konsumen akan penyediaan tenaga listrik yang bersumber dari energi baru/energi terbarukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan berdasarkan rencana usaha penyediaan tenaga listrik yang memprioritaskan energi baru/energi terbarukan dan dapat dilakukan dengan pemanfaatan bersama jaringan transmisi dan/atau jaringan distribusi melalui mekanisme sewa jaringan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagalistrikan.”

Adapun ayat 3 berbunyi, “Dalam hal pemanfaatan bersama jaringan transmisi melalui mekanisme sewa jaringan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan, usaha jaringan transmisi tenaga listrik wajib membuka akses pemanfaatan bersama jaringan transmisi untuk kepentingan umum dengan memenuhi syarat tetap menjaga dan memperhatikan aspek kapasitas jaringan, keandalan sistem, kualitas pelayanan pelanggan, aspek keekonomian, keseimbangan pasokan kebutuhan tenaga listrik, dan kemampuan keuangan negara.”

Ketentuan untuk membuka akses jaringan listrik sebenarnya bukan isu baru. Hal itu sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Ada pula klausul dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 14 Tahun 2012 tentang Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik, yang diubah menjadi PP Nomor 23 Tahun 2014. Hal itu juga ditetapkan dalam PP Nomor 25 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral. Bedanya, dulu skema power wheeling dilakukan berdasarkan negosiasi bisnis PLN dengan pihak swasta yang memerlukan. Kini skema itu sepenuhnya akan diatur pemerintah.  

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Eniya Listiani Dewi mengatakan kunci konsep power wheeling adalah skema. Pengembang pembangkit energi baru dilarang menjual listrik secara langsung kepada konsumen PT Perusahaan Listrik Negara skala rumah tangga, bisnis, ataupun industri.

Petugas melakukan inspeksi keandalan pasokan listrik di Gardu Induk PLN Cawang, Jakarta, Rabu 20 Desember 2023. Tempo/Tony Hartawan

Skema ini berbeda dengan yang berlaku di sejumlah negara lain, seperti Amerika Serikat dan Jepang, yang pengembangnya bisa menjual listrik kepada pelanggan rumah tangga. Eniya memberi contoh, skema di Jepang memungkinkan konsumen memilih layanan. “Ada yang bisa menawarkan paket atau tarif lebih murah,” tuturnya. Namun konsep power wheeling di Indonesia berbeda. 

Pemerintah memberi gambaran penerapan power wheeling. Misalnya pengembang membangun pembangkit energi baru-terbarukan di wilayah usaha PLN. Setrum yang dihasilkan bisa dijual kepada konsumen baru atau digunakan sendiri. Eniya menyebutkan ada beberapa perusahaan yang berkomitmen membangun pembangkit listrik tenaga surya terapung di sebuah bendungan di Banten. Setrumnya akan dipakai untuk menyuplai pabrik perusahaan itu di Cilegon. “Ini perlu sewa jaringan PLN.” 

Bila berdasarkan hitungan ternyata listrik dengan skema sewa jaringan itu mahal, dan PLN sanggup menyediakannya dengan harga lebih kompetitif, Eniya menambahkan, hal itu akan lebih baik. Dengan begitu, Eniya optimistis PLN akan lebih berdaya dan mengontrol angka konsumen yang terus bertumbuh. 

Eniya mengatakan aset transmisi dan distribusi listrik akan tetap dikuasai negara dan PLN dapat memanfaatkannya, termasuk untuk memperoleh pendapatan tambahan dari sewa jaringan. Selain itu, dia melanjutkan, pemerintah menetapkan syarat seperti menjaga kapasitas jaringan, keandalan sistem, kualitas pelayanan pelanggan, aspek keekonomian, dan keseimbangan pasokan kebutuhan tenaga listrik. Pemerintah juga memperhatikan kemampuan keuangan negara sehingga PLN tak dirugikan. 

Namun Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pekerja PLN Abrar Ali mengatakan power wheeling bertentangan dengan konstitusi. Menurut dia, Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan sektor strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara. Jika skema power wheeling berlaku, Abrar mengungkapkan, amanat penguasaan negara tidak terpenuhi karena sebagian aset beralih kepada pihak swasta. 

Eniya Listiani Dewi. FOTO/X/@eniyadewi

Serikat Pekerja PLN juga merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36 Tahun 2012 yang menyebutkan pengelola hajat hidup rakyat tersebut adalah badan usaha milik negara, bukan pihak swasta. Rujukan lain adalah Putusan MK Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 yang menyatakan kebijakan pemisahan usaha penyediaan tenaga listrik dengan sistem unbundling mereduksi makna dikuasai negara yang terkandung dalam Pasal 33 UUD 1945. Dengan demikian, sistem unbundling yang memuat skema itu dinilai inkonstitusional.  

Menurut Abrar, listrik sebagai barang publik tidak bisa diserahkan kepada mekanisme pasar bebas, yang hanya mengacu pada pasokan dan permintaan. Sebab, dalam mekanisme pasar bebas, yang diuntungkan adalah pemilik modal. Abrar menyarankan pemerintah tidak memaksakan penerapan power wheeling, apalagi banyak contoh negatif di negara lain.

Di Vietnam, misalnya, power wheeling dihentikan sementara karena Vietnam Electricity (EVN) mengalami kelebihan pasokan, seperti yang terjadi dalam sistem kelistrikan Jawa-Bali. Bahkan EVN harus membeli setrum seharga US$ 9,2 sen dari pembangkit tenaga angin dan US$ 9,8 sen untuk listrik dari pembangkit tenaga surya. Serikat Pekerja PLN juga merujuk pada pengalaman penerapan power wheeling dan privatisasi sektor kelistrikan melalui Electric Power Industry Reform Act di Filipina pada 2001 yang mengerek harga listrik 55 persen. 

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa mengatakan power wheeling akan menggerus pasar PLN, meski perusahaan itu bisa mendapatkan duit tambahan dari sewa jaringan. Di sisi lain, power wheeling mendatangkan investasi yang bakal membuka lapangan kerja. Karena itu, pemerintah perlu menghitung secara cermat untung-rugi keduanya. 

Fabby tak menampik adanya urusan teknis yang mesti ditanggung PLN karena harus menjamin keandalan pasokan, terutama listrik energi baru-terbarukan yang tidak stabil. Namun, dia melanjutkan, biaya penyediaan cadangan setrum itu tidak boleh gratis. “Pengguna power wheeling harus bayar biaya keandalan sistem, di luar ongkos akses transmisi.” Selain itu, pemerintah mesti memasukkan biaya keandalan pasokan tersebut dalam perumusan formula tarif sewa jaringan listrik. Fabby menilai aspek ini justru bisa menjadi sumber pendapatan baru bagi PLN. 

Toh, ada kabar baru yang berembus. Pekan lalu, Komisi VII DPR urung mendorong draf undang-undang itu untuk disahkan pada hari-hari terakhir menjelang purnatugas. Kabar dari Senayan menyebutkan DPR bakal menyerahkan naskah RUU EBET yang pembahasan pasal-pasalnya telah rampung kepada pemerintah dan DPR periode berikutnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Ghoida Rahmah berkontribusi pada artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Terganjal Pasal Berbagi Jaringan"

 

Retno Sulistyowati

Retno Sulistyowati

Alumnus Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo pada 2001 dengan meliput topik ekonomi, khususnya energi. Menjuarai pelbagai lomba penulisan artikel. Liputannya yang berdampak pada perubahan skema impor daging adalah investigasi "daging berjanggut" di Kementerian Pertanian.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus