SELAMA tiga tahun terakhir ternyata banyak desa yang mentas dari status miskin. Sampai pertengahan Juli lalu, menurut hasil Survei Potensi Desa (SPD) 1993, jumlah desa miskin tinggal 20.633 buah turun sekitar 2.300 desa dari hasil survei 1990. Angka baru itu diumumkan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional, Ginandjar Kartasasmita, Rabu pekan lalu. Tak hanya perubahan jumlah desa miskin yang terlihat dari hasil survei tersebut. Daftar itu juga memperlihatkan konsentrasi desa miskin yang cukup besar di luar Pulau Jawa. Di Pulau Jawa, menurut SPD 1993, setiap empat desa tinggal satu desa yang masih tergolong miskin. Di Kalimantan, pada setiap lima desa ada dua desa yang masuk kategori tertinggal. Di Irian Jaya lebih gawat: setiap lima desa tercatat empat desa yang merupakan desa miskin. ''Isolasi suatu daerah memang mempengaruhi tingkat kemiskinan,'' kata Menteri Ginandjar. Sekalipun desa miskin masih menumpuk di luar Pulau Jawa, toh ada beberapa provinsi yang berhasil mengentaskan desa tertinggal dalam jumlah cukup besar. Di Aceh, selama tiga tahun terakhir, ada sekitar 600 desa yang naik status sehingga desa miskin di sana kini tinggal 2.275 buah. Di Sumatera Utara, sesudah pengurangan dengan sekitar 600 desa yang berubah status, sekarang tersisa 1.364 desa miskin. ''Wajar jumlah desa miskin turun. Kemakmuran kan meningkat,'' kata Gunawan Sumodiningrat, Kepala Biro Analisa Ekonomi dan Statistik Bappenas. Sebaliknya di Jawa Barat dan di Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Di kedua provinsi ini, jumlah desa miskin justru bertambah. Di Jawa Barat, berdasarkan hasil SPD 1993, sekitar 150 desa dinyatakan sebagai desa miskin baru. Sementara itu, di Jakarta ada pertambahan empat desa miskin sehingga jumlahnya menjadi 11 desa miskin. Munculnya desa miskin baru, menurut Gunawan, antara lain karena pemekaran wilayah. Gunawan menambahkan, pemecahan desa menjadi beberapa desa akan membagi fasilitas yang ada sehingga melahirkan beberapa desa kecil yang prasarananya kurang. Lantaran sudah tak memenuhi kriteria SPD, desa baru itu dinyatakan sebagai desa miskin. Munculnya peta desa miskin yang baru itu memang ditunggu-tunggu para kepala daerah. Soalnya, ketika Menteri Ginandjar menggulirkan ''bola panas'' peta kemiskinan, akhir April lalu, beberapa gubernur dan bupati tersengat. Gubernur Jawa Timur, Soelarso, misalnya, menyatakan peta daerah miskin versi Bappenas sudah tak akurat. ''Saya tidak tahu dari mana data peta itu berasal,'' katanya. Protes keras lainnya dilontarkan Gubernur Sumatera Selatan, Ramli Hasan Basri. ''Aneh, banyak desa di daerah saya yang sudah maju, tapi di peta Bappenas masih masuk ke dalam kelompok miskin,'' ujar Ramli. Protes-protes baru reda setelah Presiden Soeharto menginstruksikan agar peta kemiskinan itu dikaji ulang. Sebenarnya, kedua survei yang dilakukan Biro Pusat Statistik, baik pada 1990 maupun pada Mei sampai Juli kemarin, menggunakan indikator yang sama, yakni potensi desa. Tiga indikator pokok yang digunakan adalah keadaan sosial ekonomi desa, fasilitas perumahan dan lingkungan, serta kependudukan. Meski indikatornya sama, Lurah Sartani, yang membawahkan daerah Kenjeran, Surabaya, masih tetap kecewa dengan peta baru daerah miskin itu. Kenjeran, juara pertama lomba desa di Kodya Surabaya, tahun ini, di peta baru tergolong desa miskin. Padahal, di desa itu terdapat puskesmas, sepuluh mesjid, SD, SMP, dan lapangan sepak bola. Tentang potensi ekonomi desanya, menurut Sartani, pendapatan penduduk di Kenjeran, yang berjumlah 2.400 jiwa dan sebagian besar petani, antara Rp 5.000 dan Rp 15.000 per hari. Namun, beberapa desa malah lebih suka kalau wilayahnya dimasukkan dalam kategori miskin walau desa itu sebetulnya berkecukupan. Mengapa? Desa yang tergolong miskin ini, mulai April tahun depan, bakal menerima kucuran duit lewat jalur Inpres (lihat Inpres Baru buat Desa). Adanya Inpres baru itu, yang disebut Inpres Desa Tertinggal, ditegaskan Presiden Soeharto dalam pidato kenegaraan di depan DPR, Senin pekan lalu. Inpres ini (jumlahnya dikabarkan lebih besar dari Inpres Desa lama, yang cuma Rp 5,5 juta) diharapkan berputar di desa yang menjadi kantong kemiskinan itu. Perencanaan dan pemutaran uang tersebut sepenuhnya dilakukan penduduk desa bersangkutan. Mengenai pengelolaan bantuan yang sepenuhnya dilakukan penduduk, menurut Gubernur Timor Timur, Abilio Jose Osorio Soares, belum tentu langkah itu bisa dilaksanakan seluruhnya pada 312 desa miskin di daerahnya. ''Sebagian besar penduduk Timor Timur masih buta huruf. Jadi, bagaimana mereka bisa mengelola uang itu?'' katanya. Kekhawatiran Abilio itu memang harus dicarikan jalan keluarnya. Kalau tidak, bisa-bisa sebagian besar desa miskin di Tim-Tim tak mentas-mentas dari ketertinggalan mereka.Iwan Q.H., Sri Pudyastuti (Ujungpandang), dan Keliek M. Nugroho (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini