INI kisah orang kecil yang lagi-lagi terinjak derap langkah pembangunan. Sekitar 500 kepala keluarga (dengan lebih dari 2.000 jiwa) di Tanah Tinggi, Johar Baru, Jakarta Pusat, digusur dari tanah negara yang sudah bertahun-tahun mereka tempati. Ketika penduduk mencoba bertahan, setelah batas waktu pengosongan rumah yang diberikan pemerintah kota berakhir, Rabu pekan lalu, aparat keamanan tak mau mengambil risiko baru dengan memperpanjang tempo untuk pindah sebagaimana diminta mereka yang bakal tergusur itu. Jumat subuh, selang dua hari setelah batas waktu pengosongan rumah jatuh, petugas membuldoser daerah Tanah Tinggi itu dengan paksa, sehingga perang batu antara penduduk dan alat negara tak terhindarkan. ''Intifadah'' gaya Tanah Tinggi itu berlangsung selama kurang lebih sepuluh jam. Awalnya, menurut cerita beberapa penduduk kepada TEMPO, setelah mereka salat subuh, terdengar kendaraan aparat keamanan memasuki daerah Tanah Tinggi. Di antara puluhan aparat itu juga tampak pasukan antihuru-hara yang membawa tameng, pentungan karet, dan memakai helm. Para pemuda Tanah Tinggi memasang barikade dari drum dan bangku-bangku untuk menghalangi petugas, tapi tak mempan. Petugas tetap saja menggedor rumah-rumah penduduk dan minta agar penghuninya segera mengosongkan kediaman mereka. Entah siapa yang memulai, tiba-tiba saja pecahan genting dan batu melayang ke alamat petugas. Melihat massa sudah tak terkendali, aparat keamanan menggunakan gas air mata untuk memecah-belah kerumunan penduduk itu, dan mencoba menangkap beberapa orang di antara mereka. Di antara suasana lempar-lemparan batu dan kejar-mengejar itu, korban pun jatuh. ''Saya dipukul pentungan karet,'' cerita seorang pemuda sambil memperlihatkan luka di pelipisnya. Total yang luka-luka 21 orang, termasuk Wakapolsek Johar Baru. Sampai Sabtu lalu, sekitar 10 orang penduduk Tanah Tinggi, yang dicurigai sebagai biang kerusuhan, ditahan polisi. Mengapa aparat keamanan bertindak keras? ''Kami bertindak keras agar korban tak jatuh lebih banyak. Soalnya, ada rakyat yang melemparkan botol berisi bensin,'' ujar Letkol R.H. Permana, Kepala Penerangan Kodam Jaya. Tanah Tinggi sejak dulu memang terkenal rawan. Daerah padat penduduk ini sudah tiga kali terbakar sejak 1991. Terakhir, 5 Juli lalu, lebih dari 370 rumah ludes ditelan api dan sekitar 2.000 jiwa kehilangan tempat berteduh. Dua hari setelah kebakaran, datang surat edaran Wali Kota Jakarta Pusat: melarang penduduk membangun kembali rumah mereka karena di lokasi seluas 8.500 meter persegi itu akan dibangun rumah susun oleh pemda, yang akan diperuntukkan bagi bekas penghuni di situ. Ada penduduk yang setuju dengan keputusan pemda itu. Ada pula yang menolak pindah karena ganti rugi yang diberikan pemda mereka nilai tak pantas. Berapa jumlah ganti rugi yang diberikan pemda? Tanah milik, menurut Sekretaris Wali Kota Jakarta Pusat Soejanto kepada Rihad Wiranto dari TEMPO, dihargai Rp 720.000 per meter persegi. Dan tanah negara yang ditempati penduduk diganti Rp 180.000 per meter persegi. Di Tanah Tinggi hanya ada tujuh persil tanah milik (berarti seluas 700 meter persegi). Selebihnya adalah tanah negara, 5.300 meter persegi, dan tanah yang berstatus verponding Indonesia (bekas tanah milik pada zaman Belanda). Di tanah yang tak seberapa luas itu terdapat 268 rumah (persil) berukuran 4 meter x 5 meter. Untuk ukuran sekecil itu, ganti rugi yang diberikan besarnya Rp 3,6 juta, sedangkan harga rumah susun kelak, menurut sumber TEMPO, sekitar Rp 9,5 juta. Itu berarti penduduk yang ingin menempati rumah susun masih harus membayar kurang lebih Rp 6 juta lagi cukup berat karena mereka rata-rata hidup sebagai pedagang kecil. Pemda DKI Jakarta sebenarnya sudah menawarkan jalan keluar. Sebelum rumah susun selesai dibangun, penduduk akan diberi gratis uang kontrak rumah untuk setahun, yang nilainya Rp 360.400 ribu. Setelah rumah susun yang direncanakan punya 372 persil itu selesai pada Juni 1994, diharapkan, semua penduduk korban kebakaran bisa menempatinya. ''Ini merupakan niat baik Pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan,'' ujar Soejanto, yang mengawasi pembongkaran rumah penduduk, Sabtu siang lalu. Penduduk akhirnya memang menyerah. Sejak Sabtu siang, buldoser sudah didatangkan dan mulai meratakan rumah-rumah penduduk. Sementara itu, penduduk yang tergusur ada yang mengungsi ke rumah sanak famili mereka, masih di Jakarta, dan ada pula yang pergi entah ke mana. Entah berapa orang di antara mereka yang tergusur itu kelak akan menikmati kehidupan di rumah susun yang dirancang pemda tersebut. Toriq Hadad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini