Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sinyal-sinyal presiden

Pidato presiden di dpr, pekan lalu, sarat dengan sinyal politik. perbedaan pendapat, menurut pak harto, hal biasa dalam kehidupan politik.

28 Agustus 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALAU ingin melihat prakiraan suasana politik di Indonesia pada waktu mendatang, simak saja isi pidato Presiden Soeharto di depan anggota DPR RI, Senin pekan lalu. Pidato Kepala Negara itu, seperti biasanya, sarat dengan sinyal-sinyal politik mulai dari soal perbedaan pendapat sampai masalah peran ABRI di masa datang. Tak mengherankan kalau banyak praktisi dan pengamat politik mengutak-atik dan menafsirkan pidato kenegaraan yang disampaikan selama sekitar 100 menit itu dengan versi sendiri-sendiri. Masalah perbedaan pendapat, yang dahulu tabu, menurut Pak Harto, sebagai sesuatu yang biasa dalam kehidupan politik. ''Beda pendapat adalah absah dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan kita,'' katanya. Malah, beda pendapat justru menjadi kekuatan untuk mencapai kesepakatan bersama yang lebih bermutu bagi kepentingan semua. Namun, Kepala Negara juga mengingatkan agar perbedaan pendapat itu jangan sampai menjurus jadi permusuhan, yang mengakibatkan perpecahan. Pada bagian lain pidato kenegaraan itu, Presiden Soeharto juga melihat konflik tidak lagi sebagai barang haram. ''Di dalam masyarakat yang dinamis, hal ini (konflik) adalah alamiah sehingga tak dapat dihindari,'' katanya. Hanya, untuk membiasakan menghadapi konflik ini, Pak Harto lagi-lagi mengingatkan perlunya disusun, ''Tata cara dan tata krama bagi penyelesaian konflik tersebut secara damai, etis, adil, dewasa, dan berkeadaban.'' Peran militer di masa datang, seperti tersirat dari pidato Kepala Negara, tetap akan besar. ''ABRI selalu memberi kesegaran pada kehidupan demokrasi dan kemantapan kehidupan konstitusional,'' kata Pak Harto. Bersamaan dengan itu, Presiden minta agar organisasi kekuatan sosial politik, organisasi kemasyarakatan, lembaga perwakilan, dan lembaga penyelenggara negara lainnya makin memahami misi dan fungsi masing-masing. Pernyataan Kepala Negara itu, menurut Afan Gaffar, pengamat politik dari Yogyakarta, menyiratkan bahwa ABRI harus melakukan modifikasi dalam peranannya. ''Dwifungsi ABRI tetap ada, tetapi sudah harus berubah. ABRI tak lagi memegang komando seperti sekarang,'' katanya. Sebaliknya, organisasi kemasyarakatan, partai politik, dan lembaga lainnya sudah saatnya diperlakukan secara wajar. Berdasarkan sinyal politik yang diberikan Presiden Soeharto itu, Afan Gaffar optimistis ketua umum Golongan Karya (Golkar) periode 1993-1998 akan berasal dari kalangan sipil. Sejak berdiri pada 1964, ketua umum Golkar selalu berasal dari ABRI. Tak kalah menarik adalah pernyataan Pak Harto sebelum mengakhiri pidato kenegaraan. ''Ketika mengucapkan sumpah jabatan Presiden RI di hadapan Sidang Umum MPR, 11 Maret lalu, saya mohon dukungan, koreksi, dan pengawasan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dukungan itu akan menambah keyakinan saya. Koreksi akan mengingatkan saya untuk menimbang-nimbang kembali kebijakan pemerintah yang saya putuskan. Dan, pengawasan akan mencegah saya dari kekeliruan yang tak perlu terjadi,'' kata Pak Harto. Permintaan Mandataris MPR itu kontan disambut anggota Dewan dengan tepuk tangan riuh. ''Ini sebuah perubahan. Ajakan itu serius dan bukan basa-basi,'' kata Afan lagi. Perubahan itu, menurut dia, tak lepas dari besarnya rasa percaya diri Pak Harto. Selama 25 tahun terakhir ini banyak perubahan terjadi dalam masyarakat kita. Misalnya, kata dosen pada Universitas Gadjah Mada itu, persentase melek huruf meningkat, pendapatan per kapita sudah di atas US$ 500, dan media massa semakin berperan. Bagaimanapun, semua ini harus diakomodasikan dengan cara membuka jalan ke arah keterbukaan yang lebih besar. ''Kalau keterbukaan dan kebebasan yang lebih besar tak dilakukan, maka suatu waktu akan timbul gejolak yang tak bisa dikendalikan,'' ujar Afan kepada Mochamad Faried Cahyono dari TEMPO. Sebaliknya, anggota Fraksi PDI di DPR, Aberson M. Sihaloho, melihat tak ada sesuatu yang baru dalam pidato kenegaraan itu. ''Dulu-dulu juga Pak Harto pernah menyampaikan hal yang sama,'' katanya. Tapi, sampai sekarang, tambah Aberson, imbauan serupa yang disampaikan Kepala Negara tak jalan karena tak ada political will dari pemegang mayoritas kekuatan sosial politik yang ada. Ia memberi contoh tentang soal hak inisiatif DPR, yang selama ini tak pernah digunakan karena terbentur aturan yang dibuat anggota DPR sendiri, seperti syarat minimal sebuah rancangan undang-undang (RUU) harus diajukan 20 anggota dari tiga fraksi yang berbeda. ''Kalau aturan mainnya seperti ini, ya susah untuk PDI mengusulkan RUU,'' keluhnya. Maka, Aberson tak mau berharap banyak terhadap sinyal politik yang dilontarkan Pak Harto itu. Ia masih mau melihat gerak-gerik aparat pemerintah yang berada di bawah. ''Apakah mereka bisa menerjemahkan pidato Pak Harto dan kemudian melaksanakannya,'' katanya. ''Kalau sinyal itu tak ada tindak lanjutnya, nantinya cuma jadi sekadar lips service saja.'' Ketua MPR/DPR Wahono juga khawatir terhadap pembangunan politik di Indonesia. ''Terlalu banyak pernyataan dengan banyak tafsiran. Akibatnya, banyak tokoh politik bicara simpang-siur. Ini tidak sehat dan membingungkan masyarakat,'' katanya. Politik, kata orang, memang suka membingungkan. Ahmed K. Soeriawidjaja, Dwi S. Irawanto, dan Iwan Q. Himawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus