JAJARAN sembilan kerucut yang mengelilingi bangunan berlantai enam itu bisa mengingatkan pengunjung pada sekumpulan kemah orang Indian. Tapi bentuk kerucut itu sesungguhnya diilhami oleh bentuk tumpeng. Kerucut tumpeng itu, kata Hedijanto, pemimpin proyek tersebut, melambangkan ''puji syukur kepada Tuhan yang telah memberkati Pak Harto.'' Warna hijau, putih, dan kuning di sekeliling bangunan berbentuk kerucut tadi, tambahnya, melambangkan sederetan jajan pasar. Itulah Museum Purna Bhakti Pertiwi, yang diresmikan Presiden Soeharto, Senin pekan ini. Museum yang berdiri di tanah seluas 20 hektare itu berisi koleksi benda sejarah kejuangan Pak Harto. Memasuki halaman museum, yang terletak berdampingan dengan Taman Mini Indonesia Indah, pengunjung akan disambut KRI Harimau, kapal torpedo yang digunakan Panglima Mandala Mayjen Soeharto (kini Presiden) sewaktu memimpin operasi Pembebasan Irian Barat. Begitu pintu utama museum dibuka, akan terlihat batang sawo kecik yang ditanam terbalik. Pohon setinggi 15 meter dengan garis tengah enam meter ini dibongkar beserta akar-akarnya dari Hutan Purwo, Banyuwangi, enam tahun silam. Pada kayu berumur lebih dari 200 tahun itu diukir lakon Romo Tambak, sebuah episode Ramayana, yang mengisahkan kerja besar membendung Laut Alengka agar pasukan Rama dapat menyerbu Dasamuka. Di ruang lobi itu pula, di sepanjang dinding museum, terdapat relief sejarah Orde Baru mulai penumpasan pemberontakan G-30 S/PKI sampai pencapaian masyarakat tata tentrem karta rahardja. Ukiran kayu jati pilihan dari Randublatung, Blora, ini dibuat oleh sejumlah seniman kayu yang khusus didatangkan dari Bali. Koleksi yang menarik adalah cendera mata dari sahabat-sahabat Pak Harto. Di museum itu tersimpan, misalnya, replika kapal laut Sembilan Naga hadiah dari Pengusaha Sudwikatmono, peraduan model kuno hadiah Pengusaha Probosutedjo, piring emas dari Sultan Bolkiah, peralatan perak dari Mesir, seperangkat peralatan makan kristal dari Swedia, patung Gandhi yang terbuat dari emas, patung perunggu dari Amerika, baju-baju kimono dari Jepang, karpet buatan Persia, guci-guci kuno dari Cina, dan tujuh patung kuda dari kulit asli buatan India, tanda mata dari Pangdam Jaya Mayjen Hendropriyono. ''Ini semua bukan untuk memamerkan kekayaan pribadi, tapi agar dapat dinikmati masyarakat,'' kata Hedijanto, mengutip penjelasan Ibu Tien Soeharto. Adapun ''warisan'' Pak Harto sendiri meliputi sejumlah pakaian dinas militer, topi baja, selongsong peluru meriam, tanda kehormatan, bintang jasa, kumpulan pidato kenegaraan, sampai foto Pak Harto dalam berbagai kurun waktu dengan berbagai tokoh (mulai Jenderal Sudirman, Gatot Subroto, Ahmad Yani, Li Peng, Ferdinand Marcos, Shah Reza, sampai Indira Gandhi). Menurut Hedijanto, ide pembangunan museum datang dari Ibu Tien. Ketika itu, 1984, Ibu Tien merasa kebingungan bagaimana menyimpan aneka koleksi tersebut, sehingga muncul ide membangun museum tadi. Tiga tahun kemudian, pembangunan museum untuk menampung koleksi Pak Harto pun dimulai, dan diawasi langsung oleh Ibu Negara. ''Kadang-kadang beliau mengawasi dari pagi hingga malam,'' kata Hedijanto. Ongkos pembuatan museum, kata Hedijanto, sekitar Rp 40 miliar (di luar biaya pembebasan tanah), dibiayai oleh Yayasan Purna Bhakti Pertiwi, yang diketuai sendiri oleh Ibu Tien. Laporan Linda Djalil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini