PETANI menyandang bedil berbayonet adanya mungkin hanya di Taman Menteng Prapatan, Jakarta dan boleh jadi satu-satunya di dunia. Di negeri pembuat patung itu, yakni Rusia, bahkan perwira militer kini didorong menjadi petani. Pihak penguasa di Moskow mengiming-imingi mereka dengan insentif memikat. Inilah cara pemerintah menjinakkan puluhan ribu perwira yang memang harus kena demobilisasi. Mereka ini terbilang potensial sebagai faktor yang bisa menggoyang stabilitas nasional. Memang, selama ini orang Rusia bangga bukan main menjadi serdadu, dan malu bekerja di ladang. Namun, setelah perang dingin usai, dan Uni Soviet pun bubar, kebanggaan tua itu rupanya harus segera dikubur jika tak ingin lebih sengsara. Menurut koran The Asian Wall Street Journal, pertengahan Agustus lampau, puluhan ribu perwira sedang dirangsang menggantungkan bayonetnya, dan menggantinya dengan mata bajak. Letnan Kolonel Anatoli Dembitysky, 50 tahun, misalnya, yang mengaku telah menghabiskan umurnya sebagai pengemudi tank, kini bertani di sebidang tanah kecil di kawasan Smolensk, daerah barat Rusia. ''Memang, jauh lebih gampang cuma menonton TV dan menikmati pensiun, tapi perlu ada orang yang membangun kembali Rusia,'' ujar Letnan Kolonel Vassily Bykov, yang 29 tahun dinas militer. Setahun terakhir ia mengelola tanah kolektif di Budnitsky. ''Selama ini, sebagai serdadu, mereka dilatih untuk membunuh. Setelah belajar bagaimana memproduksi, mereka diharap melahirkan era baru keluarga baik-baik di Rusia,'' kata Valeri Isayev, pemimpin perusahaan yang mencukongi proyek perwira-tani ini. Namun, kenyataan dewasa ini, di Rusia tetap jauh lebih mudah menjadi perwira meski tentara dalam keadaan kaotik dan jatuh moral dibandingkan untuk menjadi petani. Ikuti saja pengalaman Leonid Galchuk. Bekas letnan kolonel yang berperawakan gendut ini pernah memimpin sebuah resimen di timur jauh Rusia sebagai pasukan penjaga tapal batas Soviet. Ia kemudian mengelola ladang gandum di sebuah lereng bukit yang tenang di Vladimir, sebuah kota purba Rusia 160 km dari Moskow. Menempuh jalan berluluk menuju kaplingnya, ia melantunkan akhir yang aneh dalam kariernya dalam artiharfiah mempertahankan sosialisme dari pengaruh kapitalisme. Kini, sebagai anggota dari 400.000 perwira perkasa yang putus asa lantaran tak dihargai lagi, dengan bayaran tak memadai, Letnan Kolonel Galchuk malah bersalin rupa menjadi perintis kapitalisme itu sendiri. ''Banyak sekali yang paradoks sekarang ini,'' kata perwira berusia 47 tahun itu seraya menghalau nyamuk yang hinggap di wajahnya. Tanah negara yang digarapnya merupakan bekas lahan pertanian tua yang luas. Meski pemilikan pribadi sudah diperkenankan, menggarapnya tetap secara kolektif. Tanah saja tentu belum memadai. Perlu dukungan alat transportasi, misalnya. Ada kredit ringan dari himpunan masyarakat pedesaan, dengan bunga 8% setahun. Namun, itu hanya bisa untuk membeli kendaraan bekas. Galchuk bergabung dengan sembilan petani yang belum berpengalaman. Dan dengan pinjaman bersama, mereka siap untuk panen besar sebentar lagi. Meski jalan yang harus dilaluinya lumayan berliku, Galchuk tetap memasang angan-angan besar. Misalnya, ingin membangun rumah. Kini harga sebuah rumah baru meliputi US$ 30.000 atau sekitar Rp 60 juta. Dari mana uangnya? Ia hanya mengangkat bahu. ''Saya yakin, separuh dari kami akan membangun rumah,'' ujarnya. Cuma disebutnya hal itu tergantung sejauh mana didapat dukungan penduduk setempat. ''Banyak warga lokal cemas, proyek perwira-tani ini bakal menjadi gelombang pertama dari kulaks gaya baru,'' katanya. Kulaks adalah juragan tani pada zaman Tsar yang terkenal bakhil dan jahat. Menurut Galchuk, dengan kecurigaan tadi, warga setempat waswas terlibat dalam proyek perwira-tani ini. Jangan-jangan posisi mereka kelak hanya bakal menjadi sekadar hamba sahaya alias budak belaka. Tidak mudah menyulap bayonet menjadi mata bajak, rupanya. Ed Zoelverdi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini