Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Radikalisme di Indonesia, Azyumardi Azra: Perlu Sertifikasi Ustad

Pengamat terorisme mengatakan radikalisme bisa menyebar dari mana saja.

10 Juli 2018 | 15.09 WIB

(Kiri ke Kanan) Sidney Jones, Iriani Sophiaan, dan Azyumardi Azra dalam diskusi publik terkait radikalisme di Jakarta Selatan, 10 Juli 2018. TEMPO/Ryan Dwiky Anggriawan
Perbesar
(Kiri ke Kanan) Sidney Jones, Iriani Sophiaan, dan Azyumardi Azra dalam diskusi publik terkait radikalisme di Jakarta Selatan, 10 Juli 2018. TEMPO/Ryan Dwiky Anggriawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti terorisme di Asia Tenggara Sidney Jones mengungkapkan langkah yang bisa dilakukan untuk menanggulangi radikalisme yang menyebar di masyarakat. Ia menekankan pentingnya pemahaman atas definisi radikalisme itu sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Sidney, pemahaman atas istilah radikalisme saat ini terlalu luas. Jika seseorang berkata bahwa negara khilafah adalah sistem yang baik, maka tidak serta merta orang yang mengatakan itu telah terpapar radikalisme.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

"Selama mereka tidak menolak demokrasi, mengatakan khilafah adalah sistem yang baik oke-oke saja," kata Sidney dalam diskusi publik tentang pencegahan radikalisme dan terorisme di gedung Graha CIMB, Jakarta Selatan, Selasa, 10 Juli 2018. Dasarnya, pemahaman atas khilafah itu sendiri bisa dijadikan panutan seseorang dalam bertindak tanpa harus mengganti sistem demokrasi suatu negara.

Menurut Sidney, radikalisme yang perlu dicegah adalah ketika ada orang atau sekelompok orang tertentu yang menganggap khilafah adalah alternatif dari demokrasi sehingga berencana untuk menggulingkan NKRI. Ia mencontohkan partai politik yang kerap disebut radikal, tidak bisa disebut berpaham radikal. "Itu tidak bisa dikatakan berpaham radikalisme, karena bagaimanapun juga anggotanya masih menerima sistem demokrasi," ujarnya.

Sidney juga mengingatkan bahwa penyebaran paham radikal bisa datang dari mana saja. "Kita lihat pengajian di masjid-masjid dan juga dakwah-dakwah yang bisa diakses melalui Youtube, banyak di antara pengajian dan dakwah tersebut mengandung paham radikal," ujarnya.

Senada dengan yang disampaikan oleh Sidney, cendekiawan muslim Azyumardi Azra mengatakan bahwa banyak penceramah-penceramah keagamaan berpaham radikal. Penceramah-penceramah radikal ini masih bebas memberikan gagasannya yang mengandung wacana intoleransi hingga anti-NKRI dan Pancasila, baik di masjid atau di media-media digital. "Jadi saya kira ustad-ustadnya itu yang perlu ditertibkan," ujarnya.

Solusi yang ditawarkan Azyumardi adalah ustad atau penceramah keagamaan harus mendapatkan semacam sertifikasi terlebih dahulu dari Kementerian Agama, Majelis Ulama Indonesia, Nahdlatul Ulama atau Muhammadiyah sebelum melaksanakan dakwahnya. "Ustad-ustad itu sebenarnya banyak yang tidak punya kapasitas, dakwahnya kalo enggak melucu-lucu ya provokasi saja isinya," kata dia.

Azyumardi membandingkan ceramah keagamaan di Indonesia dan Malaysia. Menurut dia, di Indonesia siapapun bisa jadi ustad karena siapapun boleh ceramah agama. "Kalau di Malaysia, orang mau ceramah agama harus punya surat izin dulu," kata dia.

Ketua Forum Bela Negara Alumni Universitas Indonesia (BARA UI) yang juga dosen FISIP UI, Iriani Sophiaan mengatakan Indonesia sudah dapat dikategorikan darurat radikalisme, bahkan darurat terorisme, tahap lanjut dari radikalisme. "Orang-orang radikal yang menginginkan runtuhnya NKRI dan Pancasila, merasa kuat untuk menguasai panggung politik. Mereka menunggangi pendukung-pendukungnya yang sebetulnya tak paham makna sesungguhnya dari gerakan para politisi radikal itu," kata dia.

RYAN DWIKY ANGGRIAWAN

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus