Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Rawan pangan di mana-mana

Beberapa daerah di jawa tengah a.l: boyolali, surakarta, demak, kudus, dan sebagainya terjadi kerawanan pangan akibat musim kemarau yang panjang. (nas)

23 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HUJAN mulai turun di beberapa daerah dan bau tanah basah membuat banyak wajah menjadi lega. Musim kemarau panjang tampaknya akan segera berakhir. Walau tak sekering 1972 dan panen padi tahun ini diharapkan mencapai rekor tertinggi di atas 23 juta ton, kemarau tahun ini cukup menyengat. Bencana rutin -- 'kelaparan' -- agaknya masih menyinggahi beberapa daerah. Secara rutin pula, istilah 'kelaparan' tak muncul lagi. Yang digunakan adalah sebutan yang lebih halus dan berasal dari Proyek Perbaikan Gizi Bulog. Yang hanya mampu makan sehari sekali, dengan makanan pokok tanpa campuran bahan makanan lain, disebut kemungkinan kurang makan (KKM). Sedang ang belum tentu makan sehari sekali hingga badan kurus tapi belum membengkak, disebut kurang makan (KM). Yang paling menghantui adalah hoger oedeem alias HO, istilah buat mereka yang jarang makan, badan membengkak, kondisi badan lemah hingga penderita terpaksa terbaring. Sejauh ini, menurut sumber resmi, belum ada laporan daerah yang diserang 110. Tak semua pejabat gembira dengan istilah KKM atau KM. Kepala Bagian Kesejahteraan Rakyat Pemda Boyolali, Jawa Tengah, Sugito, misalnya, lebih suka memakai istilah "keluarga sekeng (miskin sekali)" (KS). Selama musim kering tahun ini, ia mencatat ada 2.026 kepala keluarga di Boyolali yang tergolong KS . Sejak 1977 kerawanan pangan terasa di Boyolali. Dari 19 kecamatan dengan penduduk sekitar 800 ribu, ada 9 kecamatan yang rawan pangan tahun ini. Sampai akhir bulan lalu tercatat ada 853 kasus KKM ùlan 57 KM. "Itu memang laporan dari mLra lurah, tapi belum dicek hingga belum dapat dipastikan kebenarannya," demikian Sugito. Para penderita itu kebanyakan butuh tani yang tak punya lahan. Seperti Sapirin, 41 tahun, dan keluarganya digolongkan KM. Empat bulan kemarau panjang membuat keluarga dengan 5 anak ini porak poranda. Sapirin dari Desa Malangan, Kelurahan Kunti, Kecamatan Andong, Boyolali, yang biasanya bekcrja sebagai buruh tanam atau memanen jagung. Kini dia kehilangan pekerjaan. Istrinya yang biasa mencari dan menjual rumput atau daun jati telah 3 bulan menganggur karena rumput mengering dan pohon jati meranggas. TOH waktu ditemui dua pekan lalu, Sapirin yang kurus kering dan wajahnya menua, masih bisa tersenyum. "Saya sekarang telah sembuh ujarnya lemah. Ini berkat bantuan tetangganya, para pemilik ladang, yang menyumbang 10 ikat jagung. Dari kelurahan ia juga menerima bantuan 12 kg beras. Keberapa desa di kabupaten lain yang termasuk bekas Karesidenan Surakarta seperti Karanganyar, Sukoharjo, Wonogiri dan Sragen juga bernasib sama. Rawan pangan juga terjadi di Kabupaten Demak dan Kudus. Di Kabupaten Banyumas, diperkirskan 2.000 orang di 25 desa segera memerlukan bantuan pangan. Letusan Gunung Galunggung yang mengakibatkan puluhan ribu pengungsi juga membuat 3 kecamatan di Kabupaten Garut, Karangpawitan, Wanaraja dan Sukawening dengan jumlah penduduk sekitar 90 ribu, rawan pangan Debu Galunggung menutup lahan pertanian, membuat para petani dan buruh kehilangan nafkah. "Sebelum Galunggung meletus, kami biasa bertanak dua setengah kilogram beras sehari. Kini setengah kilo saja sudah mewah," ujar Usin, 55 tahun, penduduk Kampung Timbanghayu, pemilik 0,7 ha kebun jeruk dan palawija yang harus menghidupi 8 anak dan 2 cucu. Untuk mengatasi kerawanan ini, Pemda Garut membuka berbagai proyek padat karya, antara lain membersihkan selokan dan jalan dengan imbalan 300 gram beras per hari. Bulog membantu dengan operasi pasar: menjual beras di bawah harga pasar. Lumbung paceklik juga dihidupkan lagi oleh Pemda. "Pangan di Garut sebenarnya cukup, cuma penduduk tidak mampu membeli karena sulit mencari uang," ujar S. Budiman, Sekwilda Garu. Menghidupkan kembali lumbung paceklik dan memperbanyak proyek padat karya memang sesuai dengan petunjuh Presiden Soeharto beberapa waktu lalu, untuk mengatasi musim kering yang panjang dan kemungkinan rawan pangan. Di Kabupaten Demak, pemda membuat proyek Jojoh Telo mengisi tanah pada bagian yang retak dan merekah. Ini dilakukan di sepanjang tanggul Sungai Serang dengan imbalan 2 kg beras buat tiap orang per hari kerja. "Ada sekitr 800 kepala keluarga di sini yang dikhawatirkan kena KKM," kata Chamadi, Kepala Bagian Kesra Kabupaten Demak. Masyarakat setempat umumnya menyambut gembira proyek itu, dengan sedikit catatan. "Beras yang dibagi tergolong kualitas paling jelek dan keras. Lagi pula tidak genap 2 kg," ucap Ngadimin dari Desa Merak. "Yang bekerja sungguh-sungguh dan yang setengah-setengah jatahnya sama," sambung Karto. Bahaya kurang pangan juga merembes ke Lampung dan Sumatera Selatan. Di Desa Rajabasa, Kecamatan Jepara, Kabupaten Lampung Tengah, dari sekitar 10 ribu penduduk, 3 ribu di antaranya kini harus mengganjal perut dengan gaplek, gadung atau umbi-umbian lainnya. Belasan desa di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) dan Ogan Komering Ulu (OKU) juga sama penderitaannya. Musim kering tidak saja membinasakan tanaman pangan, banyak tanaman keras seperti karet, lada, kopi yang layu. Malah adil kebun karet tua yang terbakar. Banyak yang khawatir musibah itu akan membuat runyam mata pencaharian penduduk. Yang lebih memprihatinkan lagi: sejak September penduduk yang telah membakar hutan dan menyiapkan lahan (sistem perladangan berpindah) sia-sia menunggu datangnya hujan, hingga rawan pangan kian menjadi-jadi. Gadung kini juga menjadi makanan utama bagi separuh dari 14 ribu penduduk Desa Kuripan, Kabupaten Lombok Tengah. Ini diakui kepala desanya, Lalu Maywartha. "Lihatlah sendiri di beberapa dusun di kaki bukit itu," ujarnya seraya menunjuk bukit-bukit gundul di sekeliling desa itu. Di kabupaten ini ada 15 desa yang cadangan pangannya menipis. Yang paling konyol mungkin nasib 400 KK penduduk Desa Jatuhan Golok, yang terjelit di perbatasan Kabupaten Labuhan Batu dan Asahan, Sumatera Utara. Belakangan, tiap tahun desa terpencil tersebut kekurangan pangan. Menumt Husaini, Ketua KKTI (Kesatuan Kerukunan Tani Indonesia) setempat, "itu akibat merajalelanya pengijon dan tidak adanya perhatian pemerintah daerah". Gaplek kini telah berbulan-bulan menjadi menu utama penduduk desa bekas 'lumbung beras' ini. Laporan kekurangan pangan di daerah itu kabarnya dianggap sepi oleh pejabat setempat. "KKTI tak terdaftar sebagai organisasi resmi di sini. Jadi sumber itu tak layak dipercaya," kata Bupati Asahan Bahmid Muhamad. Resmi atau tidak, yang agaknya pasti, droping ubi (singkong) ke jatuhan Golok kian bertambah belakangan ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus