Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KERIUHAN itu terjadi di sebuah kafe tiga lantai di Simpang Lima, Kota Banda Aceh, Sabtu dua pekan lalu. Menjelang dinihari, tiga puluh personel Wilayatul Hisbah atau Polisi Syariat Kota Banda Aceh merangsek ke lantai dua dan tiga. Sebagian masuk ke ruang karaoke. Sisanya berjaga di pintu keluar. Dipimpin langsung Wali Kota Banda Aceh Illiza Saaduddin Djamal, polisi syariat menyisir setiap ruangan yang disekat. Hasilnya, sepuluh perempuan berbaju seksi, lima pria, dan seorang waria ditangkap saat berkaraoke.
Ratusan warga Banda Aceh berkerumun di halaman kafe ketika ke-16 orang itu hendak diangkut ke Kantor Polisi Syariat. Suasana kian gaduh setelah caci-maki berhamburan. "Di sini rupanya kalian berbuat maksiat," seorang warga Banda Aceh berteriak. Karena masyarakat hendak memukuli mereka yang terjaring razia, Illiza tampil ke depan menenangkan massa. Ia meminta warga Banda Aceh tidak emosional dan main hakim sendiri.
Polisi syariat tak menjatuhkan sanksi kepada mereka yang terjaring razia. Mereka hanya ditahan satu malam, dinasihati, lalu dilepas keesokan harinya. Pemilik kafe ditegur keras. "Untuk sementara fasilitas karaoke ditutup," kata Kepala Seksi Perundang-undangan dan Syariat Islam Kota Banda Aceh Evendi A. Latif, Rabu pekan lalu.
Razia itu bagian dari Instruksi Wali Kota Banda Aceh Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pengawasan dan Penertiban Pelayanan Tempat Wisata/Rekreasi/Hiburan, Penyedia Layanan Internet, Kafe, dan Sarana Olahraga. Sejumlah ketentuan pada aturan ini membatasi aktivitas perempuan pada malam hari. Poin ke-13, misalnya, melarang perempuan bekerja di atas pukul 10 malam. Instruksi ini diterbitkan satu bulan sebelum razia digelar.
Beberapa hari setelah terbit, aturan itu sempat diperbaiki. Kegiatan perempuan, misalnya, diperlonggar hingga pukul 11 malam. Pelonggaran ini disesuaikan dengan aktivitas dan waktu kerja di Banda Aceh sebagai ibu kota provinsi. Revisi instruksi ini diterbitkan pada Kamis dua pekan lalu. Sejak aturan ini terbit, razia ke tempat hiburan makin marak.
Razia tersebut sempat menuai protes dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kota Banda Aceh, Farid Nyak Umar. Ia mempertanyakan landasan hukum atas razia kafe dan pembatasan ruang gerak perempuan. Seorang pejabat di Pemerintah Kota Banda Aceh lalu menjelaskan, pembatasan kerja perempuan sudah diatur di dalam instruksi wali kota. Farid manggut-manggut mendengarkan penjelasan itu. "Kami mendukung instruksi, tapi sosialisasinya masih kurang," ujarnya.
Aturan itu sebenarnya tindak lanjut dari instruksi Gubernur Aceh yang terbit pada 28 Februari 2014. Intinya hampir sama: penertiban kafe dan layanan Internet di seluruh Aceh. Instruksi gubernur bahkan lebih ketat. Poin ketiga instruksi ini, misalnya, melarang pramusaji perempuan bekerja di atas pukul 9 malam. Pemilik kafe dan layanan Internet juga dilarang melayani pelanggan perempuan di atas pukul 9 malam kecuali bersama muhrimnya. Pemerintah Provinsi Aceh mengancam akan mencabut izin usaha penyedia jasa hiburan jika melanggar instruksi dan syariat Islam.
Illiza mengatakan pemerintah kota membutuhkan waktu lebih dari satu tahun untuk menindaklanjuti instruksi gubernur tersebut. Soalnya, sebagian poin dalam instruksi itu sudah diatur dalam pengaturan izin usaha atau Qanun Pariwisata Aceh. Alasan lain, aturan ini tak terlalu mendesak untuk dikeluarkan saat instruksi gubernur muncul. Belakangan, Illiza mendapat laporan dari polisi syariat yang rutin menggelar razia. Isi laporan itu: polisi syariat menemukan banyak perempuan yang berkeliaran hingga larut malam. Itu sebabnya ia segera mengeluarkan instruksi pembatasan aktivitas perempuan di malam hari.
Terbitnya aturan itu menjadi amunisi baru bagi polisi syariat untuk menggelar penertiban hampir tiap malam. "Razia sebenarnya sudah rutin digelar, tapi instruksi ini membuat kami lebih bersemangat lagi," kata Evendi A. Latif. Apalagi sebentar lagi bulan puasa.
Evendi menuturkan, kepolisian setempat akan mendukung setiap aksi polisi syariat. Targetnya, razia itu membidik kafe dan tempat hiburan yang masih buka hingga pukul 11 malam. Hasilnya, makin sedikit perempuan ditemukan di kafe atau tempat hiburan setelah instruksi diberlakukan.
Aturan itu menimbulkan kritik. Wakil Presiden Jusuf Kalla mempertanyakan urgensi pembatasan jam kerja bagi perempuan di Aceh. Ia mengatakan pembatasan jam kerja pada perempuan tak bakal sepenuhnya menghentikan kekerasan terhadap perempuan di provinsi syariah tersebut. Meskipun memaklumi Aceh memiliki otonomi khusus untuk membuat peraturan, dia mengingatkan, aturan yang dibuat harus sesuai dengan amanat konstitusi.
Wakil Ketua Komisi Nasional Perempuan Yuniyanti Chuzaifah menilai aturan itu diskriminatif. Menurut dia, aturan ini mengesankan perempuan yang beraktivitas di malam hari bukanlah perempuan baik-baik. Padahal banyak perempuan yang mesti pulang larut malam, misalnya pekerja di sektor kesehatan atau minimarket.
Yuniyanti juga menyoroti kekerasan terhadap perempuan di Aceh yang justru lebih banyak terjadi di sektor domestik. Berdasarkan catatan Komnas Perempuan, sepanjang 2013-2014 terjadi 539 kekerasan terhadap perempuan. Sebanyak 66 persen dari angka ini merupakan kekerasan di dalam rumah tangga. Artinya, kata Yuniyanti, kekerasan terhadap perempuan tak ada hubungannya dengan aktivitas perempuan di malam hari. "Banyak kekerasan terjadi di sektor domestik, tapi kenapa mengatur perempuan yang beraktivitas di ruang publik?" ucap Yuniyanti.
Illiza bergeming. Ia menilai para pengkritiknya tak membaca instruksi secara detail. Menurut dia, para pengkritiknya hanya membaca pemberitaan ihwal pemberlakuan jam malam. Padahal, kata Illiza, istilah tersebut tak pernah keluar dari pemerintah kota. Menurut dia, yang diatur dalam instruksi itu adalah hak pekerja perempuan. "Saya perempuan. Masak, saya mau membuat ruang gerak saya menjadi terbatas?" ujarnya.
Tentang tingginya tingkat kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan setelah penerapan syariat Islam, Illiza punya perspektif lain. Menurut dia, hal ini justru dipengaruhi oleh meningkatnya kesadaran perempuan Aceh melaporkan tindak kekerasan dan perundungan seksual. Ruang untuk berekspresi, kata dia, semakin terbuka. "Dulu mereka tak berani karena tak ada ruang," ujarnya.
Illiza bukan tak menyadari instruksi itu menuai kritik. Di media sosial, instruksi ini disebut sebagai pemberlakuan jam malam bagi perempuan. Aneka protes muncul di jejaring sosial Twitter hingga Facebook. Tanda pagar #bandaacehmasukakal di Twitter sempat menjadi trending topic nasional selama beberapa saat. "Saya tak mengira bakal seheboh ini," kata Illiza.
Wayan Agus Purnomo, Reza Aditya, Adi Warsidi (Banda Aceh)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo