UNTUK kedua kalinya, Pertamina dan bekas Direktur Utamanya, Ibnu
Sutowo -- digugat di pengadilan New York, AS. Kali ini yang kena
restoran Ramayana, yang bertempat di kantor perwakilan
Pertamina, 52D Street New York.
The Securities & Exchange Commission (SEC), badan pengawas bursa
saham AS, menuduh Ibnu Sutowo "memaksa" 54 perusahaan dan
pengusaha dari 5 negara membeli saham restoran Ramayana yang
total bernilai $ AS 1,11 juta. Resminya restoran yang
memanfaatkan ruang kantor perwakilan Pertamina itu adalah milik.
perusahaan Indonesian Enterprises Inc. Tapi direkturnya juga
Ibnu Sutowo.
Ke-54 investor itu -- perusahaan minyak dan perusahaan lain yang
punya usaha dengan Pertamina - masing-masing membayar $AS 5.000
sampai 55.000 untuk saham-saham Indonesian Enterprises itu.
Kendati demikian, mereka "belum pernah menerima dividen dari
restoran yang beroperasi sejak 1970 itu", begitu keterangan
seorang pengacara SEC.
Para kontraktor dan relasi bisnis Pertamina itu katanya dikirimi
surat permintaan membeli saham restoran Ramayana itu yang
diposkan dari New York akhir Januari 1970 oleh Kepala Perwakilan
dan Pertamina di sana, Hasmoro Reksoatmodjo. Sebelumnya,
katanya, niat Ibnu Sutowo itu sudah diajukannya secara tertulis
dalam surat yang ditandatanganinya sendiri sebagai Dirut
Pertamina. Mereka yang belum memberikan tanggapan masih disurati
lagi berkali-kali atau ditelepon oleh Hasmoro -- dengan pesan
khusus bahwa Ibnu Sutowo "punya kepentingan pribadi" dalam
proyek itu.
Kini, Pertamina, Indonesian Enterprises dan Ibnu Sutowo pribadi
digugat oleh SEC di pengadilan New York. Tuduhan SEC adalah:
Ibnu Sutowo selaku Dirut Pertamina waktu itu "memaksa" ke-54
investor itu - sebagian besar perusahaan AS -- membeli saham
Ramayana "untuk kepentingan yang tidak berhubungan dengan
keuntunan saham restoran itu". Dan masih banyak lagi.
Tapi yang terpenting adalah tuduhan bahwa penjualan saham
restoran itu tidak didaftarkan ke Komisi Pengawas Peredaan
Saham. Ini bertentangan dengan ketentuan UU Saham AS tahun 1933.
Pendaftaran saham, menurut ketentuan UU itu, harus disertai data
finansiil tentang perusahaan yang menjual saham itu, serta
ramalan keuntungan yang rasionil.
Tertuduh, menurut SEC, memberikan keterangan "palsu dan
menyesatkan" tentang saham-saham restorar itu, seraya
"menyalah-gunakan relasi bisnisnya" dengan ke-54 langganan
Pertamina itu. "Korban-korban" itu di antaranya adalah
perusahaan-perusahaan minyak Amerika seperti Exxon, Arco, Mobil
Oil, Cities Service, Phillips Petroleum, dan Union Oil. Sedang
yang non-minyak contohnya adalah Monsanto, Armco Steel, Gulf &
Western, Schlumberger, Hughes Tool, yang semuanya dari AS juga,
Banque de Paris et des Pays-Bas dari Perancis, serta
maskapai-maskapai dagang Jepang seperti Mitsubishi, Mitsui dan
C. Itoh.
Anehnya . . .
Kalau mau dikecualikan dari peraturan pendaftaran saham pada
SEC, sebuah perusahaan harus punya kekayaan tidak lebih dari $AS
1 juta, dengan tidak lebih dari 500 saham. Sedang nilai saham
yang dijual ke luar tidak boleh melebihi $AS 500.000.
Semua ketentuan ini dilanggar oleh tertuduh, karena nilai saham
yang dijual seluruhnya $AS 1,11 juta, sebanyak 11.050 saham.
Dengan demikian kekayaan perusahaan itu pun sudah melebihi batas
$AS 1 juta. Jumlah sahamnya pun melebihi batas 500 saham - yakni
batas yang tidak perlu didaftar. Berdasarkan setumpuk
pelanggaran itu, SEC menuntut agar penjualan restoran Ramayana
yang berlangsung paling tidak sampai Juli 1974 - untuk
seterusnya dilarang.
Anehnya, mengapa SEC baru bertindak sekarang, hampir 6 tahun
sesudah penjualan saham restoran Ramayana dimulai? Seorang
pejabat SEC yang dikutip oleh The New York Times, 3 Pebruari
lalu menyatakan: "Penjualan saham itu belum pernah sebelumnya
diajukan kepada kami".
Juga maskapai-maskapai minyak dan non-minyak yang disebut-sebut
sebagai 'korban pemaksaan' tidak terdengar memprotes. Kata
seorang jurubicara Atlantic Richfield pada NYT: "Kami memang
membeli satu saham dalam proyek itu, tapi kami tidak
merasakannya sebagai paksaan (shakedown). Kami menganggapnya
satu investasi yang baik, khususnya dalam rangka hubungan kami
dengan pemerintah Indonesia. Soalnya kami aktif dalam kegiatan
lepas-pantai di sana". Sedang jurubicara Phillips Petroleum,
Union Oil, Standard Oil of California dan Cities Service tidak
mau memberikan komentar.
Sudah Dijual
Kantor perwakilan Pertamina di New York juga tidak mau
memberikan tanggapan. Sedang di Jakarta, sejumlah pejabat
Sekneg, Deparlu dan Pertamina yang dihubungi para wartawan asing
berusaha menetralisilr tuduhan badan pengawas bursa saham AS
itu.
Ada yang kontan menyangkal tuduhan itu. Ada yang menyebutkan
bahwa restoran itu kini telah dijual oleh Pertamina pada
Hasmoro, orallg penting Pertamina di sana. Menlu Adam Malik,
yang ditanyai oleh wartawan NYT David Andelman, minggu lalu
menyatakan keyakinannya, bahwa "Ibnu Sutowo akan mampu membela
dirinya". Katanya lagi, Ibnu Sutowo yang kini sudah berada di AS
tidak akan berkata, bahwa hutang itu "dilakukan oleh Pertamina,
dan sekarang saya bukan lagi pejabat Pertamina". Tanggapan itu
dikemukakan oleh Adam Malik dalam satu nafas, berkenaan dengan
perkara hutang tanker samudera Pertamina yang juga diajukan di
pengadilan New York.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini