BELUM ada bentuk yang pas dalam sistem pendidikan kita. Kali ini, lagi-lagi penjurusan di SMA yang menjadi ajang percobaan. Dalam kurikulum 1994, penjurusan di SMA tidak lagi dikotak- kotakkan: A1 (fisika), A2 (biologi), A3 (sosial), dan A4 (budaya dan bahasa), tapi kembali ke model tahun 1975: jurusan IPA (ilmu pengetahuan alam) dan IPS (ilmu pengetahuan sosial). Yang juga terkena perombakan adalah waktu penjurusan: tak lagi dimulai ketika seorang siswa naik ke kelas dua seperti yang selama ini berlaku, tapi mundur setahun, yaitu saat mereka menginjak kelas tiga. Resminya, aturan baru itu mulai berjalan dua tahun lagi, yaitu pada saat siswa yang masuk kelas satu SMA sekarang ini naik ke kelas tiga. "Soal perubahan penjurusan itu merupakan hasil keputusan lama. Sekarang kita tinggal melaksanakannya," kata Prof. Sri Hardjoko Wirjomartono, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen P dan K. Yang jelas, kata guru besar ITB ini, keputusan itu diambil melalui rapat yang panjang. Tapi sudah adakah evaluasi tentang hasil penjurusan model lama selama ini? "Setahu saya belum," kata Sri Hardjoko. Dia memang baru setahun menggantikan Prof. Harsya W. Bachtiar, yang kini Staf Ahli Menteri P dan K. Jadi, apa dasar perubahan penjurusan itu? Menurut Harsya, diskusinya waktu itu begini: satu pendapat mengatakan, semua siswa SMA harus mengikuti pelajaran yang sama. Ini dalam rangka menyiapkan siswa ke universitas. Sedangkan untuk masuk perguruan tinggi, ada persyaratan yang berbeda. Misalnya, untuk masuk fakultas kedokteran, syaratnya jelas berbeda dengan masuk fakultas sastra. Jadi, tidak adil kalau mereka diberi pelajaran yang sama padahal harus menghadapi persyaratan yang berbeda. "Karena itu, disepakati harus ada penjurusan," katanya. Kemudian timbul soal, sejak kapan sebaiknya penjurusan itu dimulai. Ada pendapat, kalau itu dimulai di kelas satu, siswa akan mendapat spesialisasi lebih mendalam sehingga lebih mudah mengikuti pendidikan di universitas. Ada pula yang mengatakan, sebaiknya penjurusan dimulai di kelas tiga agar siswa mendapat pengetahuan umum yang cukup seragam. Diskusi akhirnya memilih penjurusan dimulai di kelas tiga. Pertanyaannya kemudian, bagaimana kalau mereka menemui kesulitan ketika duduk di universitas. "Prof. Sukadji (Dirjen Pendidikan Tinggi ketika itu) mengatakan, gampang, kita bikin saja matrikulasi bagi mahasiswa baru yang lemah pelajaran tertentu," kata Harsya menirukan alasan Sukadji saat itu. Hanya saja masalahnya, mengapa model ini baru dipikirkan sekarang. Menurut guru besar UI ini, perkembangan pendidikan terkadang memang begitu. Artinya, ada sistem tertentu yang baru di kemudian hari, setelah diterapkan, diketahui telah tidak sesuai. Jadi, tidak mustahil, katanya, "Sistem yang baru ini pun bisa berubah lagi." Prof. Andi Hakim Nasoetion menilai, penjurusan model baru itu lebih baik dibandingkan dengan yang sudah ada. Alasannya, kata bekas Rektor IPB yang juga pengamat masalah pendidikan ini, penjurusan model lama membuat lulusan SMA tidak tahu banyak. Mengapa? "Bagi siswa yang masuk jurusan A3 dan A4, beberapa mata pelajaran dasar seperti matematika kurang dikuasainya secara baik, dibandingkan dengan siswa A1 dan A2," katanya. Padahal, jika mereka melanjutkan pendidikan ke jurusan sosial di universitas, mereka juga membutuhkan pemahaman yang cukup terhadap matematika. Maka, tak mengherankan jika sering ditemukan, seorang mahasiswa jurusan sosial yang berprestasi baik ternyata dulunya ketika di SMA adalah siswa jurusan IPA. Walaupun begitu, penjurusan yang hanya satu tahun di SMA tidak dipermasalahkan oleh Andi. Sebab, bagi seorang siswa yang masuk IPA, mata pelajaran itu telah mereka pelajari sejak kelas satu. Lagi pula, katanya, kelas tiga hanya untuk pendalaman mata pelajaran tertentu. Toh penjurusan yang dimulai di kelas tiga ini juga ada kelemahannya. Jika seorang siswa tidak gemar fisika, misalnya, mereka mau tidak mau harus terus mengikuti pelajaran itu selama dua tahun. Jadi, siswa yang nilai kimia dan fisikanya jeblok, misalnya, harus siap-siap menelan pil pahit dalam sistem penjurusan yang baru nanti. "Lebih bagus begitu, biar jangan sembarangan orang masuk SMA, karena mereka yang masuk SMA harus siap untuk melanjutkan ke universitas. Sedangkan yang tidak mampu sebaiknya minggir dan masuk sekolah kejuruan," kata Andi Hakim. Sejarah penjurusan SMA di Indonesia memang panjang. Pada zaman kolonial -- sampai awal kemerdekaan -- jurusan di SMA hanya A dan B. Kemudian dibagi menjadi tiga: jurusan A, B, dan C. Tapi pada tahun 1960-an datang lagi perubahan dengan munculnya istilah SMA jurusan paspal (ilmu pasti dan pengetahuan alam) dan jurusan sos (ilmu sosial). Tahun 1975, di bawah Menteri P dan K Syarif Thayeb (1974--1978), dua jurusan tadi diubah menjadi IPA dan IPS. Ternyata, pembagian SMA hanya dengan dua jurusan tadi dirasakan belum cukup. Maka, pada tahun 1984 muncul lagi aturan baru. Tak tanggung-tanggung, lahirlah jurusan A1 (fisika), A2 (biologi), A3 (sosial), dan A4 (budaya dan bahasa). Pada zaman Menteri P dan K Nugroho Notosusanto, jurusan itu ditambah satu lagi, yaitu A5 (teologi).Gatot Triyanto, Dwi S. Irawanto, dan Bambang Sujatmoko
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini