Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

RUU Warisan DPR Lalu dalam Program Legislasi Nasional 2025. Apa yang Harus Diawasi?

RUU kontroversial yang tertunda masuk dalam daftar Prolegnas 2025-2029. Sejumlah pegiat mendorong pembahasan ulang.

21 November 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • DPR telah menetapkan 176 RUU masuk dalam daftar Prolegnas 2025-2029.

  • RUU Pilkada yang berstatus tundaan atau carry over masuk Prolegnas meski bukan prioritas 2025.

  • DPR memastikan akan membahas ulang rancangan undang-undang meski berstatus carry over.

BADAN Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya menuntaskan penyusunan laporan Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang 2025-2029 dan Prolegnas RUU Prioritas 2025. Ketua Baleg DPR Bob Hasan membacakan laporan ini dalam rapat paripurna pada Selasa, 19 November 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Laporan tersebut kemudian diserahkan kepada Wakil Ketua DPR Adies Kadir yang memimpin rapat. Tanpa berdebat panjang, anggota Dewan yang hadir menyetujui laporan tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Adapun jumlah RUU yang ditetapkan sebagai Prolegnas 2025-2029 sebanyak 176. Dari jumlah itu, sebanyak 41 RUU ditetapkan sebagai RUU Prolegnas Prioritas 2025. Artinya, DPR akan membahas aturan ini selama satu tahun mendatang.

Wakil Ketua DPR Adies Kadir (tengah) didampingi Wakil Ketua DPR Saan Mustopa (kiri) dan Cucun Ahmad Syamsurijal memimpin rapat paripurna ke-8 masa persidangan I tahun sidang 2024-2025 dengan menyetujui 41 RUU Program Legislasi Nasional Prioritas 2025 dan 176 RUU Prolegnas jangka menengah 2025-2029, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 19 November 2024. ANTARA/Galih Pradipta

Jumlah 41 RUU yang disepakati masuk Prolegnas itu juga disetujui bersama oleh pemerintah yang diwakili Menteri Hukum Supratman Andi Agtas pada Senin, 18 November 2024. Pembahasan RUU prioritas ini sebetulnya berjalan alot. Wakil Ketua Baleg DPR, Ahmad Iman Sukri, mengiyakan hal tersebut.

“Karena pemerintah mengusulkan sekian RUU, komisi juga mengusulkan masing-masing, kemudian ada Baleg juga mengusulkan. Rata-rata RUU itu inisiatif DPR, Dewan Pimpinan Daerah, dan Baleg,” kata Iman saat dihubungi Tempo pada Rabu, 20 November 2024.

Setelah melalui diskusi panjang, akhirnya ditetapkan 176 RUU yang masuk dalam Prolegnas selama lima tahun mendatang. Adapun tujuh di antara 176 rancangan tersebut berstatus carry over atau warisan dari DPR periode sebelumnya.

Iman mengatakan rancangan yang sudah masuk pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM), tapi belum diselesaikan legislator periode sebelumnya, akan dioper untuk dibahas DPR periode 2024-2029.

Namun ada beberapa RUU yang telah dibahas pada periode sebelumnya dan mengandung kontroversi, kini masuk lagi dalam Prolegnas. Salah satunya RUU Pemilihan Kepala Daerah.

Iman mengatakan RUU Pilkada memang masuk daftar Prolegnas selama lima tahun mendatang. Namun rancangan aturan tersebut tak masuk dalam daftar prioritas yang harus selesai pada 2025. 

Sebelumnya, RUU Pilkada memantik protes besar bertajuk peringatan darurat Garuda biru di seantero negeri. Musababnya, pembahasan RUU yang hendak disahkan dalam rapat paripurna DPR pada 22 Agustus 2024 itu terbilang kilat karena berlangsung kurang dari sehari di kamar Baleg sehari sebelumnya.

RUU tersebut dianggap memberikan karpet merah kepada Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia Kaesang Pangarep maju dalam pemilihan gubernur. DPR dan pemerintah saat itu dianggap berkelindan mengakali putusan Mahkamah Konstitusi yang menurunkan syarat ambang batas usia pencalonan kepala daerah.

Saat itu sejumlah elemen kekuatan sipil turun menolak RUU tersebut. Demonstrasi peringatan darurat itu digelar di DPR hingga menimbulkan bentrokan antara massa yang hendak menerobos masuk DPR dan aparat kepolisian.

Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Rizky Argama, mengatakan RUU Pilkada memang tidak masuk Prolegnas Prioritas 2025. RUU ini ada kemungkinan masuk Prolegnas jangka menengah lima tahun. Kendati demikian, DPR bisa saja membahas RUU ini lewat evaluasi tengah tahun yang dilakukan antara Juni dan Agustus. Pada masa itu DPR atau pemerintah bisa mengusulkan kembali RUU mana saja yang perlu dimasukkan dalam Prolegnas Prioritas.

“Artinya, misalnya pemerintah dan DPR sepakat memasukkan RUU Pilkada dalam RUU prioritas tahunan, itu masih mungkin di pertengahan tahun. Jadi, sebetulnya publik tetap harus waspada,” kata Rizky kepada Tempo, kemarin.

Aturan soal carry over RUU mengacu pada Pasal 71A Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Menurut Rizky, pasal ini menyebutkan bahwa RUU yang telah memasuki pembahasan DIM dapat dimasukkan kembali ke daftar Prolegnas periode DPR berikutnya atas kesepakatan DPR, presiden, atau DPD. 

Rizky menjelaskan, RUU carry over memiliki keistimewaan tidak perlu lagi memulai dari proses awal atau perencanaan. Artinya, RUU carry over dianggap sudah melalui proses perencanaan karena telah memiliki naskah akademik. Dengan begitu, pembahasan selanjutnya tinggal memakai draf RUU dan naskah akademik dari periode sebelumnya. 

“Jadi, apakah pembahasan perlu diulang? Jawabannya tidak. Dia tinggal dilanjutkan saja dari hasil pembahasan DIM yang sudah terjadi pada periode lalu,” ujarnya. 

Namun Bob Hasan membantah RUU Pilkada atau RUU carry over yang masuk Prolegnas tidak akan dibahas kembali di Baleg. Ia menegaskan semua daftar inventarisisasi masalah dalam RUU carry over bakal dibahas dan bisa saja direvisi apabila tidak mengakomodasi kepentingan publik. 

“Kalau di saya itu tidak ada tinggal ketok. Semua harus melibatkan partisipasi publik. Kemudian focus group discussion-nya semua harus lengkap,” katanya saat ditemui di Kompleks DPR, Rabu, 20 November 2024. 

Adapun Andreas Hugo Pareira mengungkapkan RUU operan yang masuk Prolegnas tidak serta-merta bisa langsung disahkan. Sebab, kata dia, ada perubahan nomenklatur dan pergantian mitra kerja komisi DPR dari periode sebelumnya. Ia mencontohkan RUU Pariwisata yang harus memiliki surat presiden baru karena Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sebelumnya kini dipecah menjadi Kementerian Pariwisata. 

Menteri Hukum Supratman Andi Agtas (tengah) menerima berkas laporan pembahasan RUU Prolegnas dari Ketua Badan Legislasi DPR Bob Hasan disaksikan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian (kiri) dalam rapat paripurna ke-8 masa persidangan I tahun sidang 2024-2025, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 19 November 2024. ANTARA/Galih Pradipta

“Walaupun sudah ada DIM. Bahkan waktu itu sudah pernah dibahas di Komisi X, tapi sekarang Kementerian Pariwisata bermitra dengan Komisi VII,” kata Andreas saat dihubungi Tempo, kemarin. 

Kendati tidak semua RUU carry over harus memiliki surat presiden baru, Andreas mengatakan semua RUU warisan harus ada pembahasan ulang. Politikus PDIP itu mengatakan RUU Pilkada diprotes banyak orang karena dilakukan secara diam-diam. Menurut dia, pembahasan RUU harus terbuka dan melibatkan partisipasi publik agar tidak terkesan sebagai RUU titipan segelintir kelompok. “Yang pasti, kami tidak menghendaki itu dilakukan secara diam-diam seperti kemarin,” ujarnya. 

Sejumlah pakar hukum tata negara menilai seharusnya tak ada penyebutan carry over untuk RUU bermasalah, seperti RUU Pilkada. Musababnya, jika disebut carry over, tak ada lagi pembahasan dari awal.

Mereka juga melihat RUU carry over masih problematik dalam sistem peraturan perundang-undangan Tanah Air. Pakar hukum tata negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, mengatakan penetapan RUU mana yang harus dioper mesti didasarkan pada kesepakatan antara pemerintah, DPR, dan DPD. Atas dasar kesepakatan inilah yang menjadi masalah dalam sistem carry over. 

“Jadi, kalau aturan carry over atau pewarisan itu mau dilanjutkan, itu juga tetap dikunci berdasarkan keputusan politik antara pemerintah dan DPR atau DPD,” katanya kepada Tempo, Rabu, 20 November 2024. 

Hal inilah yang membuat RUU yang dibutuhkan publik dan seharusnya di-carry over justru tidak dilanjutkan karena tidak ada kesepakatan politik di antara lembaga pembentuk undang-undang. 

Herdiansyah menuturkan kesepakatan terjadi karena ada tawar-menawar di belakang pembentukan undang-undang. Padahal, kata dia, banyak RUU yang lebih penting dilanjutkan, seperti RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, RUU Masyarakat Hukum Adat, dan RUU Perampasan Aset. 

“Alih-alih melanjutkan, malah yang dibahas RUU yang lain. Ada undang-undang yang sebetulnya tidak penting malah dibahas, misalnya UU Kementerian Negara, yang sebenarnya undang-undang itu hanya untuk kepentingan elite politik daripada rakyat banyak,” tutur Herdiansyah.

Sependapat dengan Herdiansyah, pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada, Yance Arizona, mengatakan carry over tidak banyak berpengaruh terhadap perbaikan kualitas legislasi. Padahal, kata dia, yang terpenting untuk meningkatkan kualitas legislasi adalah membuka keran partisipasi publik. 

Yance menuturkan ada beberapa hal yang bisa dilakukan agar RUU tidak menumpuk sehingga tidak perlu di-carry over. Pertama, DPR harus lebih selektif dalam menentukan RUU yang akan dimasukkan dalam Prolegnas tahunan. Seharusnya, kata dia, Prolegnas disusun secara matang berisi substansi, target, dan proses yang akan ditempuh dalam membuat legislasi. 

“Jadi, Prolegnas tidak saja daftar RUU seperti yang ada sekarang ini,” ujarnya saat dihubungi Tempo. 

Kedua, DPR dan pemerintah harus memperluas partisipasi publik. Tujuannya agar tidak ada hambatan dalam pembentukan suatu undang-undang lantaran minim partisipasi masyarakat. Menurut Yance, RUU yang dibahas secara tertutup lebih rentan mendapat penolakan dari publik dan membuat pembahasannya lebih lama. Ia mengatakan seharusnya partisipasi publik lebih mudah di tengah kemajuan teknologi. Terakhir, Yance menyarankan pembentuk undang-undang melibatkan ahli untuk menentukan teknis rumusan RUU.

“Sehingga anggota DPR berfokus pada isu-isu substansial saja agar tidak terjebak dalam pembahasan teknis yang bertele-tele,” tuturnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Nandito Putra dan Annisa Febiola berkontribusi dalam penulisan artikel ini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus