H.R. Dharsono bebas dan disambut serta dielu-elukan massa. Insiden yang dikhawatirkan ternyata tak terjadi. Ton bebas murni. Betulkah perbedaan pendapat bisa dianggap subversif? PINTU gerbang itu dihuka tepat pukul 10 pagi, Ahad lalu. Lima buah sedan muncul beriringan dari balik tembok -- meluncur melewati gerhang penjara Cipinang, Jakarta Timur. Di jok depan kiri mobil terakhir sebuah Corolla Twin Cam putih, Letjen. (Purn.) Hartono Rekso Dharsono duduk dengan wajah cerah. Tubuhnya segar dibalut kemeja lengan pendek garis-garis warna cokelat. Setelah 5 tahun 10 bulan, bekas Panglima Siliwangi itu akhirnya dibebaskan. Karena mendapat remisi, ia dibebaskan 14 bulan lebih cepat. Di luar tembok penjara Cipinang, sekitar 1.000 orang menyambut. Mereka mencoba mengerumuni Ton, begitu H.R. Dharsono biasa dipanggil. Ton membuka jendela. Seorang dara menyalaminya dan memberikan rangkaian bunga. Yang lain mencoba mendekat, tapi petugas yang mengawal cepat-cepat mencegah. Ton cuma bisa melambai-lambaikan tangan dan tersenyum, dan disambut dengan yel-yel "Hidup Pak Ton. Hidup Pak Ton". Jalanan di depan LP Cipinang macet sementara. Di antara para penyambut itu ada yang telah nongkrong di situ sejak pukul 00.00 dini hari. "Sebab, kami mendengar info Pak Ton akan dibebaskan sebelum fajar," ujar seorang mahasiswa dari Bandung. Terselip di antara penyambut, pagi itu, Ali Sadikin, Hoegeng Iman Santoso, Slamet Bratanata, dan puluhan kuli tinta baik domestik maupun asing. Iring-iringan mobil itu terus meluncur, di bawah kawalan polisi. Dari dalam mobil, Ton masih sempat melirik ke arah kelompok anak muda yang berdiri di jalur pemisah jalan -- mengenakan baju kaus bergambar Ton dalam seragam Siliwangi, yang bertuliskan "Maung Siliwangi Merdeka". Tampak sebuah spanduk dibentangkan: Selamat Atas Kebebasanmu, H.R. Dharsono! Dari kami: Mahasiswa Bandung, begitu bunyinya. Petugas keamanan yang bersiaga di situ segera merampas spanduk itu -- dan diberikan begitu saja tanpa perlawanan. Tak ada insiden. Anak-anak Bandung itu menamakan dirinya Solidaritas Mahasiswa Pembela Hak-Hak Asasi Manusia (SMAPHAM). "Kami hanya ingin menunjukkan rasa simpati. Kami tidak menuntut apa-apa," ujar Tjoetjoe S. Hananto, pimpinan SMAPHAM. Anak-anak muda ini menaruh simpati, menurut Tjoetjoe, karena Ton dianggap sebagai pejuang orde baru yang tetap konsisten terhadap cita-cita semula. Kelompok anak muda itu sengaja mencetak 1.500 kaus bergambar bekas Panglima Siliwangi itu untuk menyambut pembebasan Ton. Sebagian kaus itu dijual, sebagian lagi dipakai sendiri, dan ada yang dibagikan kepada petugas keamanan yang bersiaga di LP Cipinang. Kedatangan mereka ke Jakarta, menurut Tjoetjoe, atas inisiatif mereka sendiri. "Kami independen," ujarnya. Hanya saja, Toetjoe mengaku mendapatkan bantuan dana dari sejumlah pengusaha Jakarta dan Bandung. Siapa? "Wah, tidak etis kalau kami sebut," katanya menghindar. Tjoetjoe dkk. segera kembali ke Bandung dengan bis carteran, menyusul Ton. Syahdan, semula Ton khawatir bahwa pembebasan itu bersyarat -- tidak boleh main politik misalnya. Tapi kekhawatiran tadi tak terbukti. Pak Ton bebas penuh. "Ia mempunyai hak seperti warga negara lainnya -- dan bebas seperti manusia biasa," ujar Kepala Dinas Penerangan ABRI, Brigjen. Nurhadi Purwosaputro, kepada Diah Purnomowati dari TEMPO. Sebelumnya, pihak keamanan khawatir, pembebasan Ton akan dimanfaatkan untuk manuver politik. Keruan saja sudut-sudut jalan sekitar penjara Cipinang dijaga ratusan petugas berseragam. Kalau sekadar ingin menyambut, menurut seorang petugas, boleh-boleh saja. "Yang tak kami kehendaki adalah aksi-aksi unjuk rasa yang mendompleng ketenaran Pak Ton," ujarnya. Ton memang cukup populer. Bagi sebagian masyarakat, tampaknya dia kini menjadi semacam simbol perlawanan. Ada yang menganggap Ton dipenjara hanya karena berbeda pendapat dengan pemerintah. Ucapan Ton pada 1986, tatkala dia diadili, "Perbedaan pendapat kok dianggap subversif", didengung-dengungkan kembali. Padahal, kini Presiden Soeharto telah mencanangkan bahwa perbedaan pendapat dibolehkan. Momentum pembebasan Ton agaknya akan dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang dikenal kritis terhadap pemerintah. Ton memang dikenal suka bicara lantang dan blak-blakan. Karena itu pula sore 8 November 1984, Ton dijemput petugas keamanan dari kediamannya di Jakarta, di Jalan Wahid Hasyim, lalu diboyong ke rumah tahanan politik Guntur untuk diperiksa. Sembilan bulan kemudian, lahirlah sebuah berkas perkara, yang membawa Ton ke meja hijau. Tuduhannya: tindak subversi. Setelah melewati serangkaian pemeriksaan dan persidangan yang berbelit, majelis hakim Pengadilan Jakarta Pusat, yang diketuai Soediono, mengetukkan palu: 10 tahun kurungan penjara bagi Ton, potong masa tahanan. Ton rupanya tak gentar dengan vonis itu. "Saya tak menyesal sedikit pun, dan bertolak dari keyakinan tidak bersalah, hari ini juga saya menyatakan naik banding," ujarnya kepada hakim. Oleh Pengadilan Tinggi Jakarta, Mei 1986, hukuman itu dikoreksi menjadi 7 tahun. Ton naik kasasi. Namun, putusan Mahkamah Agung, Oktober 1986, mengukuhkan hukuman kurungan tujuh tahun itu. "Saya tak akan minta grasi," ujarnya ketika itu. Benar, permohonan grasi tak pernah dia ajukan. Namun, berkat remisi, hukumannya berkurang menjadi 5 tahun 10 bulan. Tindak subversi yang ditudingkan pada Ton merupakan buntut peristiwa berdarah di Tanjungpriok 12 September 1984. Peristiwa Priok itu sendiri bermula dari pengajian yang berlangsung di Jalan Sindang. Bertindak sebagai penceramah ketika itu, antara lain, Amir Biki, Syarifin Maloko, dan Yayan Hendrayana. Malam itu Amir Biki tampil ke mimbar dengan membawa sebilah badik. Isi ceramahnya berisi maki-makian terhadap pemerintah, terutama penolakan pada asas tunggal Pancasila. Massa pengajian, yang kebanyakan dari kalangan bawah, pun terbakar. Di sela-sela ceramah itu, Amir sempat menelepon ke Kodim 0502 Jakarta Utara, dan menuntut agar keempat jamaahnya yang ditahan dibebaskan. Tapi tuntutan itu tak dikabulkan. Keempat pemuda Tanjungpriok itu ditahan karena terlibat insiden dengan Babinsa Kelurahan Koja Selatan -- gara-gara sang petugas mencoba menertibkan corat-coret yang nadanya bermusuhan dengan pemerintah. Rupanya, ultimatum Amir Biki itu tak sekadar gertakan. Sekitar pukul 23.00, Amir mengerahkan jamaahnya untuk menyerbu Kodim. Tapi di Jalan Yos Sudarso, persis di depan kantor Polres Jakarta Utara, massa itu dihadang oleh sepasukan ABRI. Bentrokan tak terhindarkan. Senapan meletus. Sejumlah orang rebah diterjang peluru. Amir tewas malam itu juga. Menurut siaran resmi dari Mabes ABRI, 9 orang tewas akibat insiden itu dan 53 orang lainnya luka-luka. Cerita tentang kasus Priok belum reda, Jakarta kembali terguncang gara-gara kasus peledakan. Pada 4 Oktober 1984, suara ledakan keras mengguncang kantor BCA di Jalan Pecenongan dan Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat. Sebuah ledakan lainnya terjadi di Pertokoan Jembatan Metro Glodok. Belakangan diketahui, peledakan itu dilakukan oleh kelompok Rahmad Basoeki. H.R. Darsono terlibat? "Sama sekali tidak," kata Adnan Buyung Nasution, pengacara yang mendampingi Ton di sidang. Putusan hakim pun tak menyebut bahwa Ton ada di belakang kedua peristiwa berdarah itu. Tindakan subversi yang dituduhkan jaksa kepada Ton ada dua hal: kehadirannya dalam rapat di musala Kramat Pulo Gundul, Jakarta Pusat, dan keterlibatannya dalam "Lembaran Putih Peristiwa 1984 di Tanjungpriok". Ton tidak menyangkal ikut terlibat dalam pembuatan lembaran putih, pada 15 September 1984. Lembaran itu disusun di Jalan Borobudur 2, Jakarta Pusat, di rumah Ali Sadikin, bekas Gubernur DKI. Bersama Ton dan tuan rumah, ada 17 orang lainnya yang ikut membubuhkan tanda tangan, di antara mereka terdapat bekas orang penting seperti Burhanudin Harahap, Hoegeng Iman Santoso, Slamet Bratanata, dan Syafruddin Prawiranegara. Pada pokoknya, lembaran putih itu menyebutkan bahwa peristiwa Priok itu meledak dari "sebuah ketegangan yang sudah lama membara di bawah permukaan stabilitas semu". Penyebab keresahan itu: penyimpangan penyelenggaraan kekuasaan pemerintah negara dari isi dan jiwa UUD 1945. Lembaran putih itu juga mendesak agar dibentuk komisi bebas untuk menyelidiki secara tuntas kasus Priok tadi, dan mengumumkan hasilnya kepada khalayak. Ton tak cuma dipersalahkan menandatangani lembaran putih. Lebih dari itu, dia didakwa memimpin rapat. Bahkan Ton dianggap terbukti membawa lembaran putih itu ke rapat di musala kecil di Kramat Pulo Gundul itu, di rumah A.M. Fatwa. Kehadiran Ton, menurut dakwaan jaksa memanaskan suasana rapat di musala itu, dengan ucapan-ucapannya yang keras. Dalam "ceramahnya" sekitar 15 menit, menurut tuduhan itu, mantan Panglima Siliwangi itu mengeluarkan kata-kata: "Peristiwa Tanjungpriok itu telah menimbulkan rasa tidak puas di kalangan rakyat, oleh sebab itu harus dijadikan modal perjuangan. Jangan berhenti sampai di situ, harus ada kelanjutannya." Ucapan Pak Ton, menurut jaksa, menyulut emosi mereka yang hadir. Saking emosinya, masih menurut tuduhan itu, Erlangga, salah seorang pengurus HMI Pusat yang hadir di situ, menimpali: "Kita harus bikin peledakan." Lantas disambung lagi dengan ucapan-ucapan: "Beri saya bom", "Kita perlu membuat aksi teror", dan semacamnya. Soal peledakan itu belakangan benar terjadi, Rahmad Basoekilah pelakunya. Tindakan Ton dengan lembaran putih, menurut hakim, adalah sebuah aksi subversi -- karena dianggap merongrong kekuasaan negara dan kewibawaan pemerintah. Ucapannya di musala itu pun dinilai sama subversifnya. Lebih dari itu, ucapannya tadi dianggap memberikan inspirasi bagi Rahmad Basoeki untuk meledakkan BCA. Sebuah kesalahan pula, begitu tuduhan jaksa, bahwa Ton tak membuat laporan ke petugas keamanan setelah mendengar rencana-rencana "peledakan bom, teror" tersebut. Namun, tuduhan itu ditolak Ton dkk. Soal lembaran putih dan rapat di musala Kramat Pulo Gundul itu memang diakui adanya. Tapi soal agitasi itu untuk pengeboman itu? Erlangga, yang menjadi moderator dalam diskusi di musala, membantah. Ketika orang-orang mulai naik darah, menurut Erlangga, justru Pak Ton berbisik-bisik padanya. "Beliau bilang, coba kalau ada yang keras-keras direm dulu," tutur Erlangga, yang kena vonis hampir 6 tahun gara-gara diskusi itu. Dalam pembelaannya, Ton sendiri menunjukkan, tidak ada saksi yang diajukan yang mengiyakan bahwa ia menghasut mereka. Malah hadirin yang sedang marah dibujuknya untuk tenang. Karena itu, ia menolak tuduhan bahwa ia merongrong kekuasaan negara atau kewibawaan pemerintah. Persidangan Pak Ton dilakukan secara terbuka. Sosok bekas sekjen Asean ini rupanya menarik minat banyak orang -- di samping pers lokal dan asing. Ruang sidang Pak Ton selalu penuh. Bahkan, pada persidangan terakhir hadir tak kurang dari 600 orang. Setelah sidang yang membacakan vonis ditutup, Pak Ton dielu-elukan oleh massa. Dengan antusias mereka menyambut ajakan Ton untuk menyanyikan Halo-Halo Bandung. Akhirnya Ton divonis telah melakukan tindak pidana subversi. Kritik sosial yang dilancarkannya dianggap tidak disalurkan melalui cara-cara konstitusional, menurut tata cara demokrasi Pancasila, yaitu membawa masalahnya ke DPR dan MPR untuk dimusyawarahkan atas dasar kekeluargaan. Kontrol sosial yang dilakukan Ton didasari oleh cara berpikir dan perbuatan menurut gaya budaya demokrasi liberal yang tidak sejalan dengan hakikat demokrasi Pancasila -- begitu kata hakim. Namun, diakui pula, Ton tak pernah berniat menggulingkan pemerintahan orde baru. Majelis hakim pun menyebut-nyebut beberapa hal yang meringankan Ton. Di antaranya, dia disebut sebagai prajurit pejuang. Ton diakui pula jasanya sebagai tokoh yang ikut membidani lahirnya orde baru. Lantas, segala kritik itu, menurut hakim, masih dalam lingkup pengabdiannya kepada negara. Bahwa Ton ikut membidani lahirnya orde baru, itu memang dicatat dalam sejarah. Pada masa-masa perjuangan orde baru periode 1966-1969, Ton bahu-membahu dengan Pangkostrad Kemal Idris dan almarhum Sarwo Edhie, yang ketika itu menjabat sebagai komandan pasukan elite RPKAD. "Boleh dikatakan kami ini tiga serangkai," kata Kemal. Saat Ton menjabat sebagai panglima, "Banyak satuan Siliwangi yang digabung ke Kostrad," tambah Kemal. Kekuatan orde baru, saat itu, memang tak serta-merta mendapat dukungan penuh dari kaum militer. Maklum, saat itu karisma Bung Karno masih kuat, juga di kalangan ABRI. Sebagai Kasdam Siliwangi untuk ketiga kalinya, Maret 1966, Ton banyak mendukung kegiatan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). "KAMI pun jadi lebih leluasa turun ke jalan," ujar seorang bekas pimpinan KAMI Bandung. Ton tercatat pernah membebaskan beberapa mahasiswa yang ditahan pihak militer di Bandung gara-gara berdemonstrasi anti-Soekarno. Akhirnya Ton diangkat sebagai Panglima Siliwangi menggantikan Ibrahim Adjie, Juli 1966. Orde lama pun tumbang. Pimpinan orde baru, di bawah Pak Harto, sibuk mencari format yang tepat untuk menata kehidupan politik dan ekonomi yang morat-marit akibat salah urus di masa orde lama. Banyak gagasan muncul. Ketika itulah, Ton gigih mengampanyekan konsep dwipartai -- melebur kekuatan politik yang ada menjadi hanya dua partai. Dharsono sendiri mengakui bahwa konsep dwipartai itu bukanlah gagasannya secara murni. "Itu hasil pemikiran saya dan teman-teman," ujarnya. Memang, konsep dwipartai itu telah muncul dalam Seminar Angkatan Darat II di Bandung, Mei 1966, yang banyak memunculkan ide-ide almarhum Mayjen. Suwarto. Melihat gelagat bahwa konsep dwipartai itu sepi dari sambutan, Ton pun mengubahnya menjadi konsep dwikelompok. Dalam konsep itu, kondisi multipartai yang secara obyektif ada di dalam masyarakat, tak diusik. Hanya saja, dalam pelaksanaannya, semua kekuatan politik itu harus dibelah menjadi dua kubu: satu kubu mendukung pemerintah dan satu kubu oposisi loyal. Kedua kubu itulah yang dibiarkan "bertarung" dalam pentas politik untuk membangun dinamika yang sehat. Tapi gagasan itu pun tak banyak mendapat dukungan. Toh Ton nekat berjalan sendirian. Dalam musyawarah masyarakat Jawa Barat, yang berlangsung di Hotel Preanger, Bandung, Pak Ton menggelar gagasan itu, dan mengajak semua kekuatan politik di Jawa Barat menjalankannya. Maka, oleh Ton semua DPRD-GR (Gotong Royong) di Jawa Barat diminta membelah diri menjadi dua kelompok: yang pro pemerintah dan oposisi loyal. Tindakan Ton ini mengejutkan banyak pihak. Ia pun harus menanggung risikonya: berhadapan dengan kritik bertubi-tubi. Tapi, di kalangan DPRD-GR gagasan Ton itu sempat dilakukan. Bisa jadi karena langkahnya yang "terlalu maju" itu, Ton buru-buru dipanggil ke Jakarta 1969. Kemudian kepadanya disodorkan tugas baru: duta besar. Setelah tiga tahun di Bangkok, Ton dimutasikan ke Phnom Penh. Menjelang Saigon (sekarang Ho Chin Minh City) jatuh ke tangan komunis, dia ditarik ke Jakarta dan menjadi staf ahli Menteri Luar Negeri Adam Malik, 1975. Setahun berikutnya Ton menjadi Sekjen Asean. Meski dalam posisi itu, suara Ton tetap vokal. Ketika menghadiri acara peringatan 12 tahun Tritura (Tri-Tuntutan Rakyat) di Gedung Julius Usman, Jalan Lembang, Bandung, Ton bicara keras. Pidatonya ketika itu, Januari 1978, rupanya sejalan dengan aksi yang dilakukan mahasiswa dari pelbagai kampus, menjelang Sidang Umum MPR 1978. Para mahasiswa itu, antara lain, menentang adanya calon tunggal dalam pemilihan presiden. Ton dalam pidatonya, antara lain, mengatakan: ada keresahan di kalangan masyarakat -- dan keresahan itu merupakan akibat penyimpangan perjuangan orde baru. Dia merasa terharu mendengar kata-kata "Kembalikan ABRI kepada Rakyat" -- slogan yang banyak diucapkan mahasiswa. "Teriakan dari bawah jangan diartikan merongrong, tapi sebagai peringatan," tambahnya. Ucapan Ton rupanya dinilai "terlalu jauh" oleh Pemerintah. Akibatnya, ia ditarik dari jabatan sebagai Sekjen Asean, lima bulan lebih cepat dari masa tugasnya. Tapi dia tidak sama sekali terpelanting. Panglima Siliwangi, ketika itu dijabat oleh Mayjen. Himawan Sutanto, memintanya memimpin PT Propelat, perusahaan yang bernaung di bawah Kodam Siliwangi. Ton menerima kendati tak sepenuh hati. "Iseng-iseng dari pada nganggur," ujarnya. Tapi dia mengaku tak bisa banyak berbuat di perusahaan yang banyak bergerak dalam jasa konstruksi itu. Dan 1,5 tahun kemudian dia harus meninggalkan Propelat. "Saya disuruh berhenti dari situ," tuturnya. Lepas dari Propelat, dia bergabung dalam forum studi dan komunikasi (Fosko) TNI-AD, yang dibentuk April 1978 oleh Jenderal TNI Widodo, yang ketika itu menjabat sebagai KSAD. Fosko TNI-AD itu berada di bawah Yayasan AD Kartika Eka Paksi. Tugasnya menyiapkan konsep-konsep intern untuk pengembangan Angkatan Darat. Anggota forum itu terdiri dari staf pengajar Seskoad dan beberapa orang pensiunan perwira tinggi, di antaranya Djatikusumo, Sudirman, Achmad Sukendro, Sugih Arto, M. Jasin, Mokoginta, dan Daan Jahja. Dalam kelompok ini Ton menjabat sebagai sekjen. Tak berapa lama Fosko ini menyusun makalah yang disebut kertas kerja II. Di situ ditulis bahwa doktrin dwifungsi ABRI dan pelaksanaannya perlu ditinjau kembali. Risalah bikinan Fosko itu pun mengingatkan agar ABRI benar-benar berdiri di atas semua golongan. Berikutnya Fosko mengirimkan risalah lagi -- nadanya sejenis tapi lebih keras -- kepada KSAD Jenderal Poniman, 2 Mei 1980. Risalah itu ditandatangani oleh H.R. Dharsono dan Sudirman. Suara keras itu yang konon membuat Fosko kehilangan dukungan dari pimpinan AD. Maka, terhitung 1 Juni 1980, Fosko itu dinyatakan lepas dari Angkatan Darat. Pada kurun yang hampir bersamaan, yaitu pada 5 Juli 1978, terbentuklah Yayasan Lembaga Pengembangan Pengertian dan Kesadaran Berkonstitusi 1945. Duduk sebagai pelindung yayasan ini, antara lain, M. Hatta, Hoegeng, Ali Sadikin, dan A.H. Nasution. Sebagian dari bekas anggota Fosko, seperti M. Jasin dan Mokoginta, ikut pula di lembaga kesadaran berkonstitusi itu. Sejumlah anggota yayasan itu pun mengajukan "gugatan" kepada Pemerintah lewat surat bertanggal 13 Mei 1980 risalah berjudul "Pernyataan Keprihatinan". Di kemudian hari, risalah itu populer dengan sebutan Petisi 50, yang sempat membuat geger. Dalam petisi itu Ton tak ikut serta. "Ketika itu saya sedang ada perlu di Bengkulu," ujarnya. Kendati Fosko sudah tak bernaung di bawah Angkatan Darat, beberapa orang eks anggotanya masih melakukan pertemuan-pertemuan seminggu sekali. Forum diperluas, sehingga anggota "Petisi 50" pun sering hadir. Di situlah awal persahabatan Ton dengan tokoh-tokoh semacam A.M. Fatwa, Ali Sadikin, dan Slamet Bratanata -- anggota "Petisi 50". Pertemuan-pertemuan itu berlangsung hingga 1984, seminggu sekali di Gedung Veteran (Graha Purna Yudha), Jakarta. Peristiwa berdarah di Tanjungpriok itu diketahui Ton sewaktu dia ada di gedung itu. Kemudian, dia menelepon Slamet Bratanata, dan mendapat saran agar datang ke rumah Ali Sadikin pada tanggal 1-5 September 1985. Perjalanan itulah yang kemudian membawa Ton ke penjara. Dampaknya tak cuma mengenai Ton secara pribadi. Anaknya yang ke-4, Prayitna Wardhana, di-PHK-kan dari tempat kerjanya, sebuah pabrik minuman di Jakarta, tak lama setelah ayahnya masuk bui. "Hingga kini alasan pemberhentian saya masih misterius," kata Dhana, 31 tahun. Kendati demikian, Ny. Andrijana tak akan memaksa suaminya berhenti main politik. "Dari dulu kami selalu mendampingi Bapak berjuang," ujarnya. Sebagai istri dia mengaku cemas juga melihat sang suami menyerempet-nyerempet bahaya. "Tapi ya bagaimana, semua orang kan main politik," katanya. Ibu enam anak itu pun merasakan dampak penahanan Ton. Pensiun suaminya yang Rp 270 ribu habis untuk perjalanan bolak-balik Bandung-Jakarta untuk menengok suami. Ton sendiri -- yang sering menyebut dirinya prajurit tua -- mengaku belum punya rencana yang pasti untuk mengisi waktu luangnya. "Saya akan mengonsolidasikan keluarga dulu," ujarnya. Setelah itu? "Saya ingin jadi dai, ustad, ceramah sana-sini. Tapi apa boleh, ya?" ujarnya. Seorang wartawan bertanya pada Ton, apakah ia bersedia menjadi pemimpin nasional bila diminta oleh rakyat. Ton yang Minggu siang lalu itu habis menyantap nasi tumpeng yang dibuat keluarganya untuk menyambut kebebasannya, di rumahnya di Bandung, buru-buru menjawab, "Nggak, saya nggak ada ambisi pribadi untuk itu. Tapi saya akan berjuang untuk kebenaran dan keadilan, sesuai dengan yang kita cita-citakan dulu." Putut Tri Husodo, Ahmad Taufik, dan Nunik Iswardhani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini