Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Di pintu sel ia berhenti

H.r. dharsono menjelang bebas dari lp cipinang. sibuk oleh sejumlah tamu. selama di penjara mempelajari agama. kisah perjuangan dharsono dan kariernya di militer. sempat jadi penyiar radio swasta.

22 September 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUBUH hari Minggu lalu itu, atas permintaan teman-temannya, H.R. Dharsono yang menyerukan azan. Lalu 40-an narapidana di Blok 3 F Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang itu pun salat berjamaah. Syarifin Maloko, mubalig yang terlibat Peristiwa Tanjungpriok, yang menjadi imam. Usai salat, lagi-lagi atas permintaan, H.R. Dharsono -- yang biasa dipanggil Ton -- menyampaikan kata-kata perpisahan. "Selama di penjara ini, saya mendapat hal-hal yang bermanfaat. Betullah apa yang dikatakan Nehru, bahwa penjara merupakan tempat pendidikan yang baik. Jadi, bagi Saudara-Saudara yang masih tinggal di sini, jangan sia-siakan kesempatan yang baik ini," ujarnya. Suasana jadi mengharukan. Ton bicara terbata-bata, sementara di antara pendengarnya ada yang berlinang air mata. Yang paling menarik, kata Ton lagi, selama di penjara ia menemukan amat banyak perbedaan pendapat. "Suasana perbedaan pendapat itu masih bisa dipertahankan terus karena masing-masing kita menghargai pendapat yang lain," katanya. Ia kemudian mengucapkan terima kasih atas kebaikan teman-temannya dan minta maaf atas kesalahannya selama ini. Menjelang pukul 10 pagi, Ton baru melangkah keluar selnya. Di pintu sel, ia berhenti. Kaus merah yang dikenakannya dibuka, lalu diberikannya pada Nur Hidayat, tokoh Peristiwa Lampung. Ia berganti memakai kemeja krem bergaris. Usmani Hamidi, yang selama bertahun-tahun mengajar agama pada Ton, menyerahkan seikat kembang warna-warni. Bunga itu dipetik dari halaman penjara. Lalu, 16 September itu, Ton pun melangkah menuju kebebasan. Sehari sebelumnya, Sabtu siang, Ton makan bersama dengan rekan-rekannya, kelompok tahanan subversif yang dipenjara di blok itu. Hubungan antara para napi itu memang cukup erat. Setelah tinggal "serumah" bersama-sama selama beberapa tahun, bagaimanapun persamaan nasib akan membawa orang saling mendekat. Apalagi Pak Ton memang populer. Sejak dua tahun silam, misalnya, tiap hari ia memimpin dan melatih senam tera di LP Cipinang yang diikuti sekitar 20 napi. Hari-hari terakhir Ton di Cipinang praktis cuma disibukkan oleh dua hal: menerima tamu dan mengemasi barang-barang. Pada setiap jam tengok, pukul 10.00-13.00 setiap Minggu dan Rabu, di bulan September ini, Pak Ton menerima banyak tamu. Namanya juga bekas orang penting. Tak mengherankan jika di antara tamu-tamu itu banyak bekas pejabat. Seperti Jenderal (Purn.) A.H. Nasution, bekas Kapolri Hoegeng Iman Santoso, Letjen. (Purn.) Sudirman, atau Ali Sadikin, bekas Gubernur DKI Jaya. "Kami tetap cs. Kebiasaan bersilaturahmi, ya, tetap jalan terus," ujar Bang Ali dua pekan silam. Jika tamu-tamu surut, Pak Ton pun sibuk mondar-mandir mengemasi barang-barangnya. Maklum, cuma pada jam kunjungan itulah Pak Ton punya kesempatan menitipkan barang-barangnya agar dibawa pulang. Dhana, putranya yang nomor lima, rajin menjenguk Pak Ton, yang dipanggilnya dengan sebutan "Ayah Ton". Dia datang ke LP Cipinang bergantian dengan Somi, kakaknya, atau dengan saudara-saudaranya yang lain. Kepada mereka itu Pak Ton belakangan sering meluncurkan "instruksi-instruksi" angkat-junjung. "Itu belimbing sudah mau besar, bawa saja. Bonsai jambu batu, bonsai beringin sekalian masukin ke mobil," katanya pada Dhana. Selama di LP Cipinang Pak Ton menempati tempat yang terpisah. Bangunan itu berukuran sekitar 4 X 9 meter, dengan teras selebar dua meteran yang memanjang. Di situ ada empat buah ruang: kamar tidur (ukuran 3 x 4 meter), kamar mandi, dapur, dan gudang. Di sisi kanan-kiri dan depan bangunan itu masih tersisa halaman. Sesuai dengan fungsinya sebagai LP, "vila" Pak Ton itu dikelilingi tembok di sisi kiri-kanan-belakang, dan pagar besi di bagian depan. Selama Ton di situ, rumah angker itu menjadi bersih kendati tetap bersuasana murung. "Dulunya, rumah ini seperti mau runtuh. Kami sendiri yang mendatangkan tukang untuk membetulkan genting, plafon, kamar mandi, dan mengapur dinding," kata istri Pak Ton, Ny. Andrijana, 63 tahun. Perlengkapan rumah tangga Pak Ton cukup komplet. Di dapur ada kompor minyak, panci-panci, lemari es, dan rak piring-gelas. Pak Ton memasak? "Yang namanya masak itu bagi saya ya masak nasi, dan memanaskan makanan kiriman dari rumah," ujar Pak Ton. Secara rutin, dua kali seminggu, keluarganya mengirim masakan. Selama di penjara Pak Ton tetap bisa mengikuti perkembangan di luar. TV 14 inci ada di kamarnya, majalah dan koran pun leluasa memasuki kamar Pak Ton. Belakangan Pak Ton juga melanggan siaran TV RCTI. Oleh napi nonpolitik sosok Pak Ton dihormati. "Mungkin karena beliau bekas jenderal, wibawanya masih tersisa," ujar seorang petugas LP Cipinang. Namun, tak berarti Ton lepas dari tangan jail. Suatu kali, sekitar dua tahun lalu, Pak Ton pergi untuk salat Jumat di masjid LP Cipinang. Ketika kembali ke selnya dia heran melihat lubang angin kamarnya dijebol. Pak Ton kemalingan. "Tapi yang diambil cuma rokok beberapa bungkus, dan uang Rp 6 ribu," tutur Ny. Andrijana. Satu hal yang dianggap sebagai berkah selama di penjara, menurut Pak Ton, adalah kesempatan untuk memdalami masalah agama. Dia belajar, antara lain dari Usmani Hamidi, bekas rektor Perguruan Tinggi Dakwah Islam -- yang ditahan di LP Cipinang gara-gara peristiwa Tanjungpriok. Membaca buku agama dan Quran juga termasuk dalam agenda Pak Ton sehari-hari. Sudah beberapa kali ia mengkhatamkan bacaan Quran. Maka, tak mengherankan jika Jenderal A.H. Nasution berseloroh mengomentari, "Saya sekarang mestinya belajar agama sama Ton." Bacaan Quran memang tak asing dalam kehidupan Pak Ton. Dia dilahirkan 10 Juni 1925 di daerah pegunungan Pagumengan, Pekalongan, Jawa Tengah. Ayahnya wedana di situ. Masa kecilnya dekat dengan lingkungan Islam. Sebagai anak wedana, Ton punya banyak kesempatan untuk melanjutkan pendidikan. Dengan lancar dia menamatkan sekolah dasar dan menengahnya di zaman Belanda, dan lulus SMA di masa pendudukan Jepang. Pada masa itu pula Ton ke Bandung, masuk ITB, yang ketika itu disebut Kaguyo Daigaku, mengambil jurusan kimia. "Supaya bisa bikin bom," katanya berseloroh. Jepang tersingkir, proklamasi kemerdekaan didengungkan. Seperti halnya banyak pemuda masa itu, Ton ikut angkat senjata, menjadi prajurit di Batalyon Siluman Merah di Divisi Siliwangi. Berbekal pendidikan dan bakat kepemimpinannya, Ton cepat naik pangkat jadi komandan regu, peleton, kompi, lalu batalyon. Usai Perjanjian Renville Agustus 1947, Ton harus keluar dari daerah Priangan, Jawa Barat. Bersama batalyonnya, dia hijrah ke Jawa Tengah. Selain harus bertempur melawan pasukan Belanda, batalyonnya terlibat pula dalam aksi pembasmian pemberontakan PKI Muso di Madiun, 1948. Aksi pendudukan Belanda atas ibu kota RI, Yogya, Desember 1948, membuat Perjanjian Renville koyak. Pasukan Siliwangi yang berada di wilayah Jawa Tengah pun diperintahkan kembali ke Priangan untuk menggalang perlawanan gerilya di situ. Ton bersama batalyonnya kembali bergerilya di Bandung Selatan. Perang gerilya pun usai. Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, 1949. Namun, pengalaman perang gerilya itu memberikan kenangan tersendiri bagi Pak Ton, berupa lima buah bekas sayatan peluru di badan dan kakinya. Ibu kota RI pun kembali ke Jakarta, setelah hampir empat tahun hijrah ke Yogya. Ton dan pasukannya ditarik ke Jakarta untuk mengawal ibu kota. Bersama Siluman Merah, datang pula batalyon Kala Hitam, pimpinan Kemal Idris, dari Cianjur ke Jakarta -- keduanya menjadi kesatuan militer pertama yang menjaga ibu kota. Peristiwa itulah yang mengawali persahabatan antara Ton dan Kemal Idris. Tak lama kemudian, bersama Siluman Merah dan Kala Hitam bergabung pula tiga batalyon infanteri lain. Lantas menyusul satu batalyon artileri medan, satu batalyon artileri serangan udara, satu batalyon kavaleri, dan satu kompi zeni. Kelompok-kelompok itu kemudian digabung menjadi Brigade IV -- yang merupakan cikal-bakal Kostrad. Dalam brigade itu Kemal menjabat subagai komandan, dan Ton menjadi kepala stafnya. Pada tahun-tahun itulah Kemal dan Ton sering kelihatan jalan-jalan berdua, makan atau nonton film. "Yang paling sering dulu kami nonton film koboi," kata Kemal Idris. Tahun 1952 mereka berpisah. Ton dikirim ke Belanda, mengikuti pendidikan staf komando di HKS (Hogere Krigjschool). Ton kembali pada 1954 dan ditarik ke Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Tugas-tugas staf itu kemudian mengantar Ton ke Magelang 1957, membangun kampus akademi militer nasional yang kini disebut Akabri. Di situ Pak Ton menjabat sebagai Wakil Gubernur AMN dengan pangkat mayor. Sebagai gubernur adalah Soeryo Soelarso, yang ketika itu berpangkat kolonel. "Tugas di AMN bagi saya sangat mengesankan," tutur Ton. Posisinya saat itu, kata Ton, mendatangkan tantangan yang menarik. Tugas itu menuntutnya untuk banyak belajar dan berkreasi untuk menyiapkan fasilitas, peraturan-peraturan, dan kurikulum bagi taruna akademi. Eloknya, rancangan AMN itu dibuat tanpa melakukan studi perbandingan. "Kami cukup belajar dari buku-buku," ujarnya. Namun, Ton hanya sempat menangani taruna AMN angkatan pertama dan kedua. Dia ditarik kembali ke Markas Besar Angkatan Darat, diperbantukan pada Deputi Operasi KSAD. Tahun berikutnya dia kembali ke Siliwangi dengan pangkat letnan kolonel dan menjabat sebagai kepala staf mendampingi Ibrahim Ajie yang menjabat panglima. Yang unik dan barangkali tak ada bandingannya, Ton menjabat sebagai Kasdam Siliwangi dalam tiga periode. Yang pertama antara 1960 dan 1962. Lantas, dia dikirim ke Inggris menjabat atase militer di KBRI London, selama dua tahun. Pulang ke Tanah Air, ia kembali lagi ke Bandung, mengemban jabatan yang sama: Kastaf Siliwangi. Tapi kali ini dengan pangkat kolonel, lalu brigjen. Setahun di Bandung, lagi-lagi Ton harus hijrah ke Jakarta, berkantor di MBAD. Di situ dia menjabat sebagai asisten Panglima AD, yang dijabat oleh Mayjen. Soeharto (kini presiden). Pada jabatan itu dia ikut melaksanakan tu-gas panglima membersihkan tubuh AD dari unsur-unsur PKI, dan mengkoordinasikan pelaksanaan pengadilan-pengadilan militer. Berikutnya, kembali lagi dia ke Bandung, masuk Siliwangi menjabat lagi kepala staf, Maret 1966. Namun, empat bulan berikutnya dia diangkat menjadi Panglima Siliwangi, yang ketika itu merupakan jabatan militer bergengsi, dengan pangkat mayor jenderal. Itulah jabatan militer tertinggi yang pernah disandang Ton. Tiga tahun dia menjabat Pangdam. Periode ini, menurut dia, merupakan masa yang paling manis. "Posisi sebagai Wakil Gubernur AMN dan Pangdam merupakan masa-masa yang paling indah dalam karier militer saya," tutur Pak Ton. Usai menjabat Pangdam, Ton "dimutasikan" menjadi Duta Besar RI di Bangkok, lalu pindah ke Phnom Penh sampai 1975. Phnom Penh jatuh di tangan Komunis 1975, Pak Ton pulang ke Jakarta, dan diperbantukan sebagai staf ahli menteri luar negeri, sambil dipersiapkan sebagai Sekjen ASEAN. Lalu dia pun memegang jabatan Sekjen ASEAN, 1976-1978, dan dalam usia 53 tahun saat itu, dia pun ditarik dari pemerintahan. Kendati berpindah-pindah tugas, Pak Ton termasuk berhasil mempersiapkan pendidikan ke-6 anaknya -- tiga pria dan tiga wanita. Hampir semuanya lulus perguruan tinggi. Untuk ke-6 anaknya, pria atau wanita, Pak Ton menghadiahkan nama depan yang sama: Hendra. Selama ia di Cipinang, rumahnya yang besar dan rindang, di Jalan Setiabudi, Bandung, ditempati istri dan anak sulungnya dr. Rini Permata Kencani (Rani), 40 tahun. Di rumah itulah Ton mencurahkan kasih kepada cucu-cucunya. Nitya, 13 tahun, anak sulung Rani, yang paling dekat dengan Ton, kini tampak senang dengan kepulangan kakeknya -- yang biasa dia sebut juga "Ayah Ton". Gadis kecil ini pekan lalu tampak sibuk membantu ibunya membersihkan rumah, halaman, dan kamar tidur kakeknya. "Ma, nanti taplak mejanya diganti, ya. Piring-piring pakai yang baru. Wah, tapi meja makannya kekecilan, nggak cukup kalau nanti Ayah Ton pulang," rajuknya kepada ibunya. Ayah Ton memang hangat dengan semua anggota keluarganya. Ketika menjabat panglima, Ton pun dekat dengan masyarakat Bandung, 1968-1969. Ketika itu dia punya pendekatan yang jarang dilakukan oleh panglima lain: menjadi penyiar radio swasta Mara, yang ketika itu bermarkas di garasi rumah dr. Wisnu Yudo, Jalan Sumatera, Bandung. Waktu itu, "Saya cuma iseng-iseng," kata Pak Ton, sambil tertawa. Ton mengasuh acara hiburan, yang disiarkan tengah malam sampai dini hari. "Karena itu, saya mendapat julukan Bang Kalong," tuturnya. Tugasnya sebagai penyiar adalah duduk di ruang sempit 3 X 3 meter, dan mengantarkan lagu-lagu malam buat pendengar. "Ya, ada yang minta lagu, ada yang ngirim lagu," ujarnya. Acara itu, menurut Mohamad Sunjaya, pimpinan Radio Mara, ternyata cukup digemari, terutama oleh anak-anak muda. "Kalau Pak Ton mengudara, telepon langsung berdering-dering," ujarnya kepada Widi Yarmanto dari TEMPO. Ngomong soal politik? "Sama sekali tidak. Yang diomongkan cuma masalah ringan sehari-hari," tutur Sunjaya. Radio Mara sendiri kini tumbuh rimbun, dan bermain di gelombang FM dengan 40 orang karyawan. Setiap kali mengudara, Ton tak pernah lupa membuka atau menutup dengan lagu kesayangannya, yang dinyanyikan penyanyi Inggris Matt Monroe: Impossible Dream. Putut Tri Husodo, Nunik Iswardhani, dan Amran Nasution

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus