MINGGU dini hari, LP Cipinang senyap. H.R. Dharsono masuk ke selnya, setelah semalaman bergadang bersama rekan-rekannya sesama napi karena beberapa jam lagi ia bebas. Bekas Pangdam Siliwangi dan Sekjen ASEAN itu sudah empat hari pindah kamar, tidak sendirian lagi, dan ditempatkan bersama Rachmat Basoeki dan Jayadi. Pukul 03.00, seorang petugas membangunkannya, minta agar ia berbenah. Tapi Dharsono tak peduli. Ia menegaskan: akan keluar pukul 10 pagi, sesuai dengan kesepakatannya dengan Kepala LP. Pukul 07.00, dua petugas membujuknya lagi, karena katanya, "keluarga Bapak sudah menunggu". Padahal, keluarga jenderal purnawirawan itu baru tiba pukul 08.10. Agar tak diganggu petugas, Ton mengunci pintu sel dari dalam. Sampai detik-detik menjelang pukul 10, Dharsono bergeming -- biarpun istri, pengacara, dan anak-anaknya disuruh membujuk. Mengapa ia dibujuk agar keluar tengah malam atau subuh? Rupanya, ada kekhawatiran bebasnya Ton akan dimanfaatkan kelompok tertentu. Hal itu tampak tiga hari sebelumnya, ketika pers diimbau untuk tidak mendramatisasi pelepasan itu. Sebab, pihak keamanan rupanya mencium rencana penyambutan atas pembebasan itu oleh sekelompok mahasiswa dengan pengalungan bunga. Maka, keluarganya pun dicoba diatur agar berangkat menjemput lebih awal. Sabtu malam, dua petugas nongkrong di rumah Somi, salah seorang anak Dharsono, di Cipete. Pengacara Dharsono, Amartiwi Saleh dari LBH Bandung, juga sudah tiba. Nyonya Dharsono pun diimbau petugas agar menjemput pada tengah malam atau subuh. "Bagi Ayah, yang terpenting cucu-cucunya. Karena itu, ia menetapkan pukul 10 pagi seperti waktu bezoek biasa. Lagi pula, nggak manusiawi memboyong anak-anak ke LP selagi mereka masih tidur," kata Nuraga, anak keempat, menolak. Minggu pukul 02.00, Waas Intel Kodam V/Jaya Letkol. Slamet Supriadi datang ke rumah Somi. Kesepakatan pun tercapai: berangkat pukul 07.00. "Bayangkan, pukul 2 pagi begini masih tawar-menawar," kata Nuraga. Ia sangat letih karena belum sempat beristirahat sejak pagi. Pukul 04.00, Dhana (anak Dharsono yang kelima) tiba bersama keluarganya. Di rumahnya, mereka dibangunkan petugas yang memberi tahu, ayahandanya sudah berada di Cipete. Tentu saja mereka jengkel dan kesal karena merasa dibohongi. Akhirnya pukul 07.30, keluarga itu berangkat dengan empat mobil, didahului sebuah sedan Mercy hijau lumut yang ditumpangi para petugas. Mereka tiba pukul 08.10 di LP Cipinang. Setelah para petugas berunding, diutuslah Dhana dan Nuraga menemui ayahanda mereka. Tapi, 10 menit kemudian, mereka kembali sambil nyengir dan geleng-geleng kepala. "Ayan capek semalaman nggak tidur. Tunggu saja, deh. Janjinya kan jam sepuluh," tulis Dharsono kepada istrinya dan Amartiwi Saleh. Pukul 08.45, para petugas berunding lagi dengan pihak keluarga. Lalu diputuskan mengutus Nyonya Dharsono, Amartiwi, Somi, Dhana, dan Nuraga untuk membujuk Ton sekali lagi. Tapi lagi-lagi mereka kembali dengan tangan hampa. Akhirnya lima menit sebelum waktu yang dijanjikannya, pukul 09.55, Dharsono muncul. Ia tampak segar dengan kemeja krem bergaris cokelat dan celana krem pula. Kopor yang ditentengnya juga cokelat. Ia menuju gerbang LP diiringi sekitar 20 napi rekan-rekannya. Antara lain bekas Menteri Perindustrian, H.M. Sanusi. Enam dari delapan cucu Dharsono yang berusia antara dua dan sepuluh tahun -- dua di antaranya ikut orangtuanya di Jerman -- dibariskan. Kembang di tangan mereka yang sudah berantakan karena dipegang terus selama beberapa jam dibenahi. "Ayah Ton, Ayah Ton," teriak mereka sambil menghambur ke arah sang kakek. Suasana haru tiba-tiba terasa segar ketika salah seorang cucu dengan polos nyeletuk, "Yah, pake nangis nggak, nih?"....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini