MENGENAKAN celana pendek dan kaus oblong, ia mirip pemuda masa kini saja. Tak tampak bahwa sesungguhnya ia seorang pangeran, pimpinan sebuah kerabat ningrat yang menonjol di Jawa, yang hari-hari ini banyak dibicarakan. Ia memang baru saja lari pagi. "Saya setiap pagi lari atau naik sepeda balap keliling sekitar Mangkunagaran. Dulu saya latihan karate dan yudo. Olah raga keras itu sekarang saya tinggalkan," kata Sudjiwokusumo. Tampan, 37 tahun, selalu berpakaian rapi. Djiwo suka mengendarai sendiri mobilnya, sedan Toyota warna metalik. Ia juga dikenal gemar pergi ke diskotek, menghibur diri. Perkawinannya memang kurang berhasil. Ia berpisah dengan istrinya, Sukmawati Soekarnoputri, beberapa tahun silam setelah memperoleh dua anak: Pandra Sukarno Putro Jiwonagoro dan Agung Putri Suniwati. Di tengah kesibukan persiapan pelantikannya sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Ario Mangkoenagoro, Djiwo beberapa kali berbincang-bincang dengan Aries Margono dan Kastoyo Ramelan dari TFMPO. Nukilan percakapan itu: Setelah nanti dikukuhkan menjadi K.G.P.H. Mangkoenagoro, apa yang akan Anda lakukan? Membenahi manajemen. Saya ingin Mangkunagaran bisa mencari uang. Bukan untuk saya, terutama untuk pemeliharaan dan peningkatan kesejahteraan para abdi dalem. Sekarang ini, abdi dalem paling banter gajinya Rp 5 ribu sebulan. Saya kasihan melihatnya. Itu sebabnya Mangkunagaran melakukan bisnis, agar bisa mandiri membiayai istana ini. Hotel Mangkunagaran, misalnya, perlu dibenahi. Juga melanjutkan bisnis yang sudah dirintis sebelumnya seperti usaha rotan di Kalimantan itu. Termasuk memikirkan bisnis yang tersendat: pabrik gula di Lombok. Itu usaha yang bekerja sama dengan Jerman. Lokasi pabriknya sudah ada, tetapi lokasi kebunnya masih sulit. Sedang kami cari pemecahannya. Di bidang kebudayaan? Pemerintah dan masyarakat mengharapkan agar Mangkunagaran menjadi pusat budaya dan moral. Kami sadari itu sebagai suatu misi. Nah, modal yang ada, Mangkunagaran telah lama memiliki seksi kebudayaan istana yang bernama Langen Prodjo. Latihan dan pementasannya rutin. Yang digarap seni tradisional dan ciptaan baru. Yang tradisional itu seperti Anglir Mendung. Kreasi baru itu seperti yang dipunyai grup Swara Maharddhika. Setiap ada upacara penting di Istana, kesenian Mangkunagaran ditampilkan. Begitu pula karawitannya. Bagaimana Anda melihat pamor Mangkunagaran saat ini? Tetap baik. Pamor saya artikan sebagai nilai budi. Suatu kemuliaan, kebagusan, keindahan, yang terpancar dan ditangkap baih secara rohaniah maupun lahiriah. lika keraton ini bersih, ia punya daya pikat untuk dikunjungi. Jika para tamu merasa memperoleh manfaat melihat museum kami dan pertunjukan kesenian kami, itu artinya ada sinar kebagusan, ada pamor. Saya berusaha keras untuk tidak lalai. Berdoa, bekerja, dan minta petunjuk-petunjuk Tuhan. 'Kan berulang kali saya katakan, Mangkunagaran ingin maju agar tidak ketinggalan zaman. Tentang Anda sendiri, apa yang kira-kira dirasakan setelah menjadi Mangkoenagoro? Ada yang saya khawatirkan dengan kedudukan itu nanti. Saya khawatir kehilangan teman. Saya harap teman-teman tetap memanggil Djiwo atau Wo pada saya. Rasanya, masih kikuk saya dipanggil Mangkoenagoro. Kadang-kadang saya lupa dengan sebutan baru itu. Secara psikologis, gelar baru itu akan menciptakan jarak dalam pergaulan. Tetapi saya belajar menempatkan diri, sehingga tidak terlalu jauh jarak itu. Misalnya, saya dulu sering ke disko. Sekarang harus tahu empan-papan (menempatkan diri). Walau ke disko itu misalnya, saya pikir tak apa-apa itu 'kan hiburan. Sekali-sekali 'kan boleh. Mungkin juga dengan gelar baru itu, saya tak mudah bikin janji dengan teman-teman, meski itu janji main tenis, misalnya. Tentang tiba-tiba dibatalkannya angka IX pada Mangkoenagoro, bagaimana? Saya tak ambil pusing. Jabatan itu bukan jabatan politis . Itu jabatan budaya. Jika pakai angka IX, saya dituduh feodal. Yang penting, saya akan memajukan Mangkunagaran. Apakah nanti sebagai Mangkoenagoro tanpa embel-embel angka IX masih memberikan gelar? Tentu saja masih. Tetapi memakai pertimbangan yang selektif dan hati-hati. Alasan pemberian gelar itu sederhana saja dan masuk akal. Ada orang yang tulus membantu kami tanpa mengharapkan keuntungan materiil. Nah, kewajiban kami adalah menyampaikan rasa terima kasih. Dengan gelar. Dan itu membuat kami lebih akrab. Tetapi, semua itu tentu saja harus dikonsultasikan dengan keluarga. Apa setelah jadi Mangkoenagoro, Anda akan terjun ke politik? Ha ... ha ... ha .... Saya belum tahu. Lihat saja nanti. Bagaimana dengan calon pendamping Mangkoenagoro? Ha ... ha ... ha ... Sudah dijual ke mana-mana, tidak laku. Mungkin perlu lewat rubrik jodoh di koran, ya? Ha . . . ha ... ha... Sehari setelah dikukuhkan sebagai KG.P.A. Mangkoenagoro, TEMPO kembali mewaancarai Djiwo. Ia tampak letih dan agak tertekan, meski tetap selalu mencoba tersenyum. Adanya keputusan drastis yang menghilangkan angka IX itu, apa komentar Anda? Memang ada pihak sesepuh yang menghendaki gelar tanpa diberi angka IX. Ini harus saya terima. Jangan Anda tanya perasaan saya. Saya sekarang pasrah. Ketabahan tak harus hilang. Ada kesan, angkatan tua Mangkunagaran tak menghendaki kehadiran raja dan tak menginginkan berlanjutnya dinasti. Mereka hanya menghendaki pemimpin budaya. Bagi saya, memakai angka atau tidak, sebenarnya hanyalah pemimpin budaya. Walaupun memakai angka, saya tak akan berlaku seperti raja. Ayah saya pun, Mangkoenagoro VIII, tak berlaku seperti raja, bila takarannya dibandingkan dengan Mangkoenagoro VII yang mempunyai 8 selir. Jadi, ada perpecahan di Mangkoenagaran? Ada perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat yang memperhitungkan jauh ke depan. Ada demokrasi, bukan feodalisme. Saya tentu memilih demokrasi. Kehendak bekerja sama dengan pemerintah juga demokrasi. Apa Anda merasa tertekan? Apa kesannya seperti itu? Inilah konsekuensi memadukan keinginan dengan mendengarkan suara dan nasihat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini