Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pengukuhan seorang raja tanpa nomor

Gph sudjiwokusumo, 37, dikukuhkan sebagai mangkoenagoro baru dengan sebuah upacara yang sederhana dan singkat. sudjiwo tidak diperkenankan menggunakan gelar mangkoenagoro ix dan adipati.

30 Januari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GENDING Laras Padang mengalun dari pendopo agung. Semua yang hadir berdiri dan mengarahkan pandangan ke arah Pendopo Pringgitan, di depan Pendopo Agung itu, menanti munculnya seorang calon Mangkoenagoro. Yang dinanti muncul. Gusti Pangeran Hario Sudjiwo Kusumo, 37 tahun, diapit dua pinisepuh Mangkunagaran keluar dari Dalem Ageng diiringi gending Monggang yang dibunyikan dari gamelan Kiai Segorowono, juga terletak di pendopo. Ia mengenakan kain batik corak parangkusumo simbol kebahagiaan -- jas beskap hitam model Jangenarjan, dasi kupu-kupu putih serta kalung dan gelang emas. Kedua pinisepuh yang mengapit Sudjiwo itu adalah K.P.H. Soerjosoejarso dan K.P.H. Poerwohadinoto. Keduanya adalah menantu Mangkoenagoro VII atau adik ipar Mangkoenagoro VIII. Mereka menuju ke kursi yang disediakan, di deret terdepan para undangan yang jumlahnya sekitar 1.000 orang. Lalu gending Monggang mengalun lagi. Dan balai yang sama, muncul keris pusaka Mangkunagaran -- milik Mangkoenagoro I -- yang diberi nama Kiai Bandjir, yang diletakkan di atas baki. Dan pengukuhan Mangkoenagoro yang baru itu pun dimulai dengan sebuah upacara yang sederhana dan singkat, Ahad Legi, pekan lalu di Solo, Jawa Tengah. Menurut almanak Jawa, tanggal itu, 4 Jumadilakir, bertepatan dengan penobatan R.M. Said sebagai Mangkoenagoro I. Mula-mula G.R.Ay. Siti Noeroel Kamaril Ngasarati Koesoemowardhani, istri K.P.H. Soerjosoejarso, membacakan piagam pengukuhan. Yang dikukuhkan berdiri paling depan, diapit oleh dua orang sesepuh agung K.P.H. Soerjosoejarso dan K.P.H. Soenarno Poerwohadinoto. Usai pembacaan piagam itu, K.P.H. Soenarno Poerwohadinoto mencabut keris yang dipakai Sudjiwo. Lalu ia mengambil keris pusaka Kiai Bandjir. Keris itu diserahkan dulu kepada K.P.H. Soerjosoejarso. Ketua Dewan Pertimbangan Mangkunagaran inilah yang kemudian menyelipkan keris itu di bagian belakang pinggang Djiwo. Seorang penguasa baru telah dikukuhkan. Upacara masih berlanjut dengan pembacaan Ikrar Prasetya oleh K.G.P.A. Mangkoenagoro yang baru. Sumpah prasetya diucapkan di bawah Quran itu berisi 4 hal. Antara lain, "kewajiban berjuang mempertahankan tetap tegak berdirinya negara RI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945". Saat pembacaan prasetya, Mangkoenagoro, yang sudah menanggalkan nama Sudjiwo Kusumo ini, tampak gugup. Suaranya tersendat. Sejak keluar dari Dalem Ageng, duda dua anak ini memang tampak tegang. Apalagi tangan kanannya terbalut perban. Bagian akhir dari rangkaian upacara ini adalah penandatanganan Piagam Pengukuhan. Piagam itu ditulis dalam bahasa Indonesia, dan Mangkoenagoro membubuhkan tanda tangan yang juga baru -- bukan tanda tangan Sudjiwo Kusumo. Prosesi itu pun selesai setelah dipanjatkan doa oleh sembilan penghulu keraton dari Pendopo Pringgitan. Mengapa sembilan? "Kami diperintahkan membaca doa selamatan dengan bersembilan, barangkali karena rencana semula ini penobatan Mangkoenagoro yang kesembilan," kata Haji Mochtarom Adnan, penghulu Puro Mangkunagaran . Upacara untuk melahirkan seorang Mangkoenagoro dengan biaya Rp 7 juta ini dihadiri dua orang menteri: Menteri Kehutanan Soedjarwo dan Menko Polkam Surono, masing-masing disertai istri. Mereka datang sebagai pribadi. Dari keluarga presiden pertama Bung Karno, hadir Megawati dan Guruh. Sukmawati, bekas istri Sudjiwo, tak tampak. Juga Gubernur Jawa Tengah Ismail, yang pernah melarang bupati dan wali kota di daerahnya menerima gelar dari keraton, tak hadir. Di luar dugaan, turis asing, yang diperkirakan akan banyak menyaksikan acara langka ini, hanya datang segelintir. Padahal, tidak seperti yang direncanakan sebelumnya, tidak ada pungutan bayaran US$ 3. Begitu pula tata cara menghadiri undangan, yang semula direncanakan semua yang hadir mengenakan pakaian Jawa, tak terjadi. Semua ini memang ada kaitannya dengan perubahan yang secara drastis terjadi sebelumnya. Pengukuhan ini bukan untuk melantik Mangkoenagoro IX, tetapi Mangkoenagoro tanpa nomor. Secara resmi keputusan perubahan status Mangkoenagoro ini diumumkan Sabtu malam pekan lalu, hanya sehari sebelum pengukuhan. Para wartawan yang sudah berdatangan di Kota Solo dikumpulkan secara mendadak di Pendopo Pringgitan. Di sanalah Ketua Dewan Pertimbangan Mangkunagaran, Mayjen. (Purnawirawan) K.P.H. Soerjosoejarso yang didampingi Mayjen. (Purnawirawan) K.R.M.H. Soerjosoempeno selaku Wakil Ketua Dewan Pertimbangan, dan B.R.Ay. Retno Satuti Yamin selaku Kepala Rumah Tangga Istana, memberikan latar belakang, mengapa tak ada Mangkoenagoro IX. Pernyataan yang dibacakan K.P.H. Soerjosoejarso itu selengkapnya: "Mengingat:perkembangan negara dan bangsa Indonesia dalam pembangunan dan demokrasi kekerabatan yang memerlukan rasa kesatuan dan persatuan. Menimbang: bahwa pelestarian warisan budaya Mangkunagaran yang telah dirintis oleh para leluhur kita, perlu ada kelanjutan dan dilestarikan. Memutuskan: telah dimusyawarahkan bersama oleh para keluarga Mangkunagaran bahwa pada pengukuhan G.P.H. Sudjiwo Kusumo pada tanggal 24 Januari 1988 untuk tidak digunakan Mangkoenagoro IX itu, karena kami lebih mengutamakan demokrasi kekerabatan daripada keberlanjutan suatu dinasti." Soerjosoempeno, yang mengambil alih seluruh pembicaraan setelah pernyataan tadi dibacakan, menjelaskan Mangkoenagoro tanpa nomor ini juga tidak diperkenankan menggunakan gelar adipati. "Adipati mengandung pengertian punya wilayah kekuasaan atau daerah swapraja. Karena tidak memiliki itu, maka sekarang pemerintah tidak campur tangan lagi," katanya. Jika memakai gelar adipati, ia wajib dilantik oleh suatu pemerintah yang lebih tinggi, pemerintahan di atasnya. Antara Mangkunagaran dan pemerintah RI tak ada hubungan dalam administrasi pemerintahan. Karena itu, kata Soerjosoempeno, jabatan Mangkoenagoro sekarang lebih ditekankan pada aspek pelestarian budaya. "Kita akan lebih menitikberatkan pada pengembangan budaya, agar bisa disumbangkan pada bangsa, terutama dari segi pariwisata," kata Soerjo, bekas Pangdam Diponegoro itu. Disebutkannya pula, sebelum pengambilan keputusan hal ini telah dimusyawarahkan dengan "keluarga Cendana". Menurut Soerjosoempeno, kerabat Mangkoenagoro yang datang menemui Ibu Tien dan Pak Harto ini, selain meminta petunjuk, juga memohon kemungkinan Pak Harto, baik selaku presiden maupun selaku anggota HMN, bersedia mengukuhkan Sudjiwo Kusumo sebagai Mangkoenagoro. Pak Harto, menurut Soerjosoempeno, menolak dengan alasan, pemerintah RI bukan penjajah. Pak Harto berpendapat, sebagaimana dikutip oleh Soerjosoempeno, "Masalah pengukuhan ini adalah urusan intern keluarga, dalam hal ini pemerintah tidak akan campur tangan." Soerjosoempeno.tak mau menjelaskan, kapan kerabat Mangkoenagoro itu datang ke Cendana. Kebijaksanaan pemerintah ini memang sudah lama beredar di kalangan dalam Puro Mangkunagaran. Gelar adipati tak menimbulkan masalah, karena seluruh kerabat Mangkunagaran sepakat gelar itu akan dibuang. Namun, soal angka IX timbul pro dan kontra. Keluarga Mangkoenagoro VIII yang mendapat dukungan dari kalangan muda ingin angka IX itu dipertahankan. Tetapi keluarga (trah) Mangkoenagoro VII yang didukung trah-trah lain yang tergabung dalam HKMN ingin angka itu dihapuskan. Pada tahap awal, kelompok pertama seperti di atas angin. Pada 16 Januari lalu, Sekretaris Puro Mangkunagaran R.T. Marto Nagoro (juga menjabat manajer Hotel Mangkunagaran, salah satu sumber keuangan istana) yang didampingi K.P.H.N. Hudhiono Kadarisman (suami dariG.R.Ay. Rosati, kakak Djiwo) mengumumkan lewat pertemuan pers bahwa Sudjiwo Kusumo nantinya bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Ario Mangkoenagoro IX. Kelompok inilah yang sejak awal merencanakan pelantikan Mangkoenagoro IX. Rentetan upacara diadakan besar-besaran meniru upacara pelantikan Mangkoenagoro sebelumnya. Undangan yang diedarkan juga menyebutkan dengan jelas adanya Mangkoenagoro IX. Niat untuk mengadakan upacara pelantikan yang agung dengan semua undangan, termasuk wartawan, berpakaian Jawa lengkap sudah diedarkan. Turis asing membayar US$ 3 -- sesungguhnya untuk menyewa pakaian Jawa agar bisa memasuki daerah pendopo, bukan karcis masuk. Rencana kelompok ini ternyata batal, kecuali upacara penyembelihan kerbau liar atau Mahesa Lawung itu. Trah lain di luar keluarga Mangkoenagoro VIII menentangnya. Kelompok penentang ini kabarnya ingin agar yang menjabat Mangkoenagoro di waktu-waktu yang akan datang tidak harus keturunan langsung dari Mangkoenagoro sebelumnya. Mangkoenagoro hanyalah Pengageng Puro Mangkunagaran, dan karenanya bisa dipilih secara demokratis dari siapa saja kerabat Mangkunagaran yang cakap dan layak memimpin, asalkan dia anggota HKMN. Belakangan, Soerjosoempeno bahkan menyebutkan, "Angka di belakang gelar Mangkoenagoro itu adalah produk penjajah." Diam-diam, di dalam tembok keraton itu terjadi perbedaan pendapat yang tajam. Empat hari sebelum rencana pelantikan, yakni Rabu pekan lalu, perbedaan pendapat belum bisa diselesaikan. Bahkan pertentangan semakin tajam dengan pecahnya kelompok pemuda Mangkunagaran. Dalam organisasi HKMN ada yang bernama HPMN yakni Himpunan Pemuda Mangkunagaran. Ini yang resmi. Organisasi pemuda ini kini mendapat saingan dari Kawula Muda Mangkunagaran, dan kelompok ini berada di belakang Sudjiwo. Sudjiwo sempat terbang ke Jakarta. Tak jelas siapa saja yang ditemuinya, selain Soedjarwo, selaku Ketua HKMN "Suryosumirat", untuk meminta petunjuk. Setelah balik lagi ke Solo, direncanakanlah rapat pinisepuh Mangkunagaran hari Kamis malam, untuk memutuskan soal dipakai tidaknya angka IX ini. Ada maksud agar kasus itu jelas, sebelum upacara Mahesa Lawung diselenggarakan di hutan Krendowahono, 15 km dari Solo ke arah Purwodadi. Rapat itu ternyata batal, karena pinisepuh penting dan penentu, yakni Ketua Dewan Pertimbangan HKMN, Soerjosoejarso, dan istrinya G.R.Ay. Noeroel tidak muncul di Solo. Keluarga ini tinggal di Bandung. Padahal, Gusti Noeroel inilah yang akan melantik Mangkoenagoro. Soerjosoempeno, orang kedua di Dewan Pertimbangan yang tinggal di Semarang, juga belum datang ke Solo. Upacara Mahesa Lawung -- sebuah upacara penting yang mendahului penobatan seorang raja di Mangkunagaran - akhirnya dilaksanakan juga Jumat siang, tetap tanpa dihadiri tokoh-tokoh itu. Ini memberi isyarat, mereka tak setuju adanya penobatan Mangkoenagoro IX. Dan semuanya itu menjadi kenyataan ketika rapat pinisepuh akhirnya berlangsung hari Sabtu, setelah pertandingan kejuaraan tinju kelas berat antara Mike Tyson dan Larry Holmes disiarkan televisi. Rapat ini berakhir pukul 14.30 WIB dan dilukiskan sangat tegang. Hasilnya, kelompok pendukung yang menghendaki adanya Mangkoenagoro IX terpukul knock-out seperti Larry Holmes. Sebuah sumber menyebutkan, Djiwo terpukul berat, sampai-sampai ia "meninju" kaca di sebuah ruangan. Tentang keguncangan jiwa Djiwo ini tak ada pembenaran. Tapi betul, tangan kanan Djiwo sejak itu dibalut tiga perban, dan tak bebas digerak-gerakkan. Djiwo harus dibantu oleh kakaknya Satuti agar bisa sungkem secara baik, pagi hari di Balai Pracimayoso, sebelum penobatan. Djiwo dan Satuti kemudian tenggelam dalam isak tangis yang mengharukan. Bagaimana dengan abdi dalem? Tampaknya, mereka tetap dengan pendirian semula, Mangkoenagoro ini adalah yang kesembilan. "Mangkoenagoro tanpa nomor itu urusan orang luar. Bagi orang dalam, ini Sri Mangkoenagoro IX," kata seorang abdi. Sejak awal para abdi dalem memang berpihak ke Djiwo. Di hari-hari pertama setelah pengukuhan ini, Puro Mangkunagaran memang tenang. Semua tampak menahan diri. Apalagi Sudjiwo sudah pasrah (lihat wawancara). Namun, perbedaan pendapat akan bisa meletus kembali, karena keputusan pinisepuh dalam rapatnya Sabtu pekan lalu itu hanyalah pengukuhan Mangkoenagoro yang baru, belum pengesahan Mangkoenagoro. "Pengesahan Sudjiwo sebagai Mangkoenagoro akan dilakukan oleh HKMN dan itu memerlukan waktu, belum bisa ditentukan kapan," kata Soerjosoempeno. HKMN nantinya akan mengatur tugas dan wewenang seorang Mangkoenagoro sesuai dengan anggaran dasar organisai ini. Menurut anggaran dasar HKMN "Suryosumirat", Mangkoenagoro otomatis menjadi Ketua HKMN. Tapi Mangkoenagoro yang sekarang (Djiwo), karena belum disahkan, belum bisa memangku jabatan Ketua HKMN yang kini dipegang oleh Soedjarwo itu. Menurut sebuah sumber, kalau kelompok Mangkoenagoro (Djiwo) ini kuat dan ia bisa menguasai HKMN, bukan tak mungkin dalam pengesahannya nanti angka IX itu dicantumkan kembali. Tapi sebaliknya, Mangkoenagoro baru' ini bisa tak mendapat pengesahan segera, kalau penentangnya lebih kuat. Setelah Indonesia merdeka dan daerah swapraja dihapuskan, inilah untuk pertama kalinya seorang pemimpin keraton dinobatkan. Karena itu, tak ada model yang bisa dicontoh, bagaimana suksesi: berlangsung di keraton di alam kemerdekaan ini. Wajar terjadi perbedaan pendapat. Namun, pendapat ahli hukum Keraton Yogyakarta, Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo, yang ikut menyoroti kasus ini dari segi hukum, sangat menarik. Menurut Soedarisaman, Sudjiwo memang tak berhak menyandang gelar Mangkoenagoro IX, karena ia belum ditetapkan sebagai putra mahkota oleh ayahnya. Yang pernah diangkat sebagai putra mahkota oleh Mangkoenagoro VIII adalah G.P.H. Radityo Prabu Kusumo yang meninggal dunia dalam kecelakaan lalu lintas pada tahun 1977. Ia juga mempermasalahkan siapa yang berhak melantik Sudjiwo, jika pun ia memenuhi syarat sebagai Mangkoenagoro IX. "Yang melantik adalah pemerintah yang membawahkannya. Pada zaman penjajahan Belanda, yang berhak melantik Sultan dan Sunan adalah Gubernur Jenderal. Jika Djiwo ingin dilantik sebagai Mangkoenagoro IX, ia harus mengajukan permintaan itu kepada pemerintah RI," kata Soedarisman. Dengan tidak adanya Mangkoenagoro IX, menurut Soedarisman, Puro Mangkunagaran sudah ibarat "keraton yang tak punya raja". Konsekuensi tiadanya raja ini adalah, tak mungkin lagi ada gelar-gelar yang akan keluar dari Puro Mangkunagaran. "Kalau gelar itu diberikan juga oleh Mangkoenagoro yang baru, apa dasar hukumnya? Dia bukan lagi raja," kata Rektor Uniyersitas Janabadra, Yogya, ini. Kasus Solo memang lain dengan Yogyakarta yang ditetapkan sebagai Daerah Istimewa berdasarkan Undang-Undang No. 3 tahun 1950. Hamengku Buwono IX bukan saja raja di Keraton Ngajogjakarta Hadiningrat tetapi juga Gubernur DIY. Paku Alam VIII bukan hanya pemimpin Puro Pakualaman, tetapi juga Wakil Gubernur. Sehingga, menurut Soedarisman, . jika nanti ada Hamengku Buwono X dan Paku Alam X-, maka bisa saja dilantik oleh wakil pemerintah yang sah, karena ini berkaitan dengan daerah otonom. Cuma masalahnya terletak pada pribadi kedua tokoh itu, apakah beliau mengangkat putra mahkota. "Saya kira pengganti Sultan HB IX dan Paku Alam VIII nanti dipilih oleh DPRD," kata Soedarisman. Putu Setia, Kastoyo Ramelan, Aries Margono, Syahril Chili

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus