SEBAGAI pembina Angkatan Darat, KSAD Jenderal Widodo dikenal
sebagai salah satu pimpinan ABRI yang banyak berbicara tentang
situasi saat ini. Pekan lalu, ia berbincang-bincang dengan
wartawan TEMPO Fikri Jufri dan Susanto Pudjomartono di kediaman
resminya Jalan Imam Bonjol.
Tampak sehat, ia berbicara tentang berbagai hal antara lain
tentang PETA, pembinaan territorial, transmigrasi AD dan tentu
juga tentang Manunggalnya ABRI-Rakyat. Beberapa petikan dari
wawancara itu:
Apa yang dilakukan TNI/AD dalam rangka kebijaksanaan baru
Departemen Hankam. Dengan sendirinya AD sebagai unsur-dalam dari
Departemen Hankam, hanya menjabarkan dan melaksanakan
kebijaksanaan yang telah digariskan menteri yang baru.
Dalam rangka usaha Manunggalnya ABRI-Rakyat, ABRI disebutkan
telah melakukan mawas diri. Apa hasilnya? Kita melihat bahwa
ABRI maupun masyarakat harus sama-sama melakukan introspeksi.
Karena kalau hanya sepihak saja, usaha ini tidak akan tercapai.
Kalau ada oknum ABRI melakukan pelanggaran disiplin, apalagi
kalau merugikan rakyat, kita tertibkan. Tapi masyarakat juga
kita harapkan melakukan mawas diri, apakah benar tuduhan
seolah-olah ABRI sudah meninggalkan rakyat. Ini tidak benar.
ABRI dan Rakyat tidak bisa digambarkan sebagai dua subjek yang
terpisah. Waktu kelahirannya ABRI adalah bagian dari rakyat yang
berjoang. Dan dalam perkembangan selanjutnya ABRI tetap
menganggap rakyat sebagai sumbernya yang tidak pernah kering.
Tiap tahun kita mengadakan rekrutering yang mendapat respons
besar. Tidak saja untuk pendidikan perwira, bahkan untuk tamtama
pun banyak mahasiswa yang ikut mendaftarkan diri.
Sayang belakangan ini kondisi fisik pelajar kita kurang
menggembirakan. Tahun lalu misalnya, dari 8 ribu pelamar untuk
masuk AKABRI, hanya 280 yang memenuhi syarat. Itupun masih ada
yang dikatrol. Padahal yang dibutuhkan 500 orang. Kebanyakan
gugur dalam ujian jasmani. Kita sedang mengadakan penelitian
mengapa keadaan jasmani pelajar kita menurun.
Kampanye Manunggalnya ABRI-Rakyat ini apakah ada kaitannya
dengan pergantian generasi ABRI? Tidak, dalam arti hukan karena
banyaknya pelanggaran yang dilakukan generasi muda yang sekarang
merupakan bagian terbesar dari ABRI. Tiap generasi selalu,
melakukan kesalahan, baik itu generasi 28, generasi 45 atau
seterusnya. Tapi yang selalu kita ambil kan nilai-nilai yang
baik. Bukan yang jelek atau nilai-nilai perpecahan. Jangan
menghubungkan masalah penyimpangan atau pelanggaran sekarang ini
dengan suatu generasi, kalau kita tidak ingin terperosok dalam
perpecahan nasional. Perbuatan negatif dilakukan oknum-oknum
dari semua generasi, tapi bukan oleh suatu generasi. Yang harus
kita hadapi adalah perbuatan tercela dan bukannya generasi.
Bagaimana tentang masalah regenerasi Termasuk dalam ABRI?
Juga tidak ada masalah. Asalkan tiap generasi menyadari
pentingnya kemanunggalan ABRI-Rakyat yang merupakan sebagian
kecil dari integrasi nasional. Begitu juga lancar atau tidaknya
regenerasi pimpinan ABRI tergantung pada mantapnya integrasi
nasional. Integrasi nasional tidak saja meliputi integrasi
wilayah atau suku bansa, tapi juga integrasi nilai dan pola
tingkah laku. Kalau ini sudah mantap, pergantian generasi itu
tidak ada persoalan. Kalau belum ya mungkin di situ ada
gejolak-gejolak.
Bagaimana tentang isyu di luaran bahwa ada ketidakpuasan di
sementara senior ABRI, seperti yang tercermin dengan membentuk,
misalnya sebuah yayasan?
Saya sudah bicara dengan mereka, para senior ABRI terutama yang
dari AD. Dan saya kira tidak ada seperti yang (Dikuatirkan
masyarakat. Justru apa yang mereka cetuskan itu karena
terpanggil oleh jiwa pejuangnya. Karena pertamatama ABRI adalah
pejoang.
Kalau masih berbentuk saran-saran, saya kira itu baik, positif.
Tapi kalau sifatnya sudah apriori dan bersikap destruktif, saya
kira lain persoalannya. Mereka semua masih merasa terlibat untuk
membawa dan menjaga nama baik TNI. Mereka masih merasa
terpanggil. Dan juga, sebetulnya ini tidak bisa dijadikan ukuran
bahwa banyak senior TNI yang tidak puas. Itu hanya isyu di luar.
Ya, itu biasa, ekses politiklah.
Dalam ABRI dulu sering terjadi gejolak. Tapi sekarang ini sudah
jauh berkurang. Faktor apa yang menyebabkannya?
TNI berasal dari masyarakat luas yang punya latar belakang
sosial yang heterogin. Kemudian ditempa dalam idealisme TNI dan
UUD '45. Tapi begitu diproklamirkan kemerdekaan, ada usaha
kelompok tertentu untuk mencoba merubah UUD. Ekses demokrasi ini
pengaruhnya juga masuk dalam tubuh TNI karena kita berasal dari
pengelompokan sosial yang sangat heterogin.
Memang antara 1945-1949, bahkan sampai 1965 kita masih
menghadapi gejolak-gejolak. Hingga sampai 1965 di mana pimpinan
AD dibantai semua, kita hanya sebagai pemuda yang bertugas
sebagai alat negara saja. Sebenarnya sejak tahun 50an kita sudah
menyadari bahwa kita tidak selamanya harus menjadi bulan-bulanan
politik saja. Kita harus punya pendirian, kalau bisa malah
mempersatukan. Kesadaran ini timbul dari pengalaman-pengalaman
yang tidak menguntungkan itu.
Apakah peranan ini akan terus dipertahankan?
Ya, itu sebagai konsekwensi logis agar bangsa kita tidak
mengalami malapetaka. Sebab gejolak politik kalau tidak didukung
kekuatan bersenjata tidak akan berhasil. Tapi kalau gejolak itu
berhasil mempengaruhi sebagian atau sebagian besar dari AB,
akibatnya bisa fatal. Seperti 1965.
Pelita III akan menekankan pada segi pemerataan. Dalam masalah
hidup sederhana, apakah dalam AD itu masih berupa anjuran
ataukah akan diadakan peraturan tersendiri?
Kita sudah mencoba merumuskan. Tapi kita menunggu peraturan
nasional yang sekarang dipersiapkan pak Emil supaya kita tidak
dianggap eksklusif. Kejutan? Saya tidak ingin membuat kejutan.
Kejutan terkadang ada perlunya, tapi sering menimbulkan
antipati.
Kritik biasanya berisi sesuatu. Kalau kritik berkurang, mungkin
ini karEna sudah capai. Apakah keadaan ini tidak lebih
memprihatinkan?
Kritik itu baik asal masih wajar dan konstruktif dan tidak
disertai penyusunan kekuatan. Penyusunan opini? Seperti
ditegaskan pak Jusuf, itu boleh saja asal tidak disertai dengan
pamrih untuk menggerakkan massa kalau sudah tersusun opininya,
misalnya untuk tujuan inkonstitusionil. Kalau masih ada getaran
itu baik. Kalau tidak ada, malah kita tidak tahu, mau ke mana
ini? Kritik boleh, asal wajar dan memberikan jalan keluarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini