Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Saya Tidak Ingin Kejutan

Wawancara Tempo dengan KSAD Jenderal Widodo a.l: tentang peta, pembinaan territorial, transmigrasi AD dan manunggalnya ABRI rakyat. (nas)

9 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBAGAI pembina Angkatan Darat, KSAD Jenderal Widodo dikenal sebagai salah satu pimpinan ABRI yang banyak berbicara tentang situasi saat ini. Pekan lalu, ia berbincang-bincang dengan wartawan TEMPO Fikri Jufri dan Susanto Pudjomartono di kediaman resminya Jalan Imam Bonjol. Tampak sehat, ia berbicara tentang berbagai hal antara lain tentang PETA, pembinaan territorial, transmigrasi AD dan tentu juga tentang Manunggalnya ABRI-Rakyat. Beberapa petikan dari wawancara itu: Apa yang dilakukan TNI/AD dalam rangka kebijaksanaan baru Departemen Hankam. Dengan sendirinya AD sebagai unsur-dalam dari Departemen Hankam, hanya menjabarkan dan melaksanakan kebijaksanaan yang telah digariskan menteri yang baru. Dalam rangka usaha Manunggalnya ABRI-Rakyat, ABRI disebutkan telah melakukan mawas diri. Apa hasilnya? Kita melihat bahwa ABRI maupun masyarakat harus sama-sama melakukan introspeksi. Karena kalau hanya sepihak saja, usaha ini tidak akan tercapai. Kalau ada oknum ABRI melakukan pelanggaran disiplin, apalagi kalau merugikan rakyat, kita tertibkan. Tapi masyarakat juga kita harapkan melakukan mawas diri, apakah benar tuduhan seolah-olah ABRI sudah meninggalkan rakyat. Ini tidak benar. ABRI dan Rakyat tidak bisa digambarkan sebagai dua subjek yang terpisah. Waktu kelahirannya ABRI adalah bagian dari rakyat yang berjoang. Dan dalam perkembangan selanjutnya ABRI tetap menganggap rakyat sebagai sumbernya yang tidak pernah kering. Tiap tahun kita mengadakan rekrutering yang mendapat respons besar. Tidak saja untuk pendidikan perwira, bahkan untuk tamtama pun banyak mahasiswa yang ikut mendaftarkan diri. Sayang belakangan ini kondisi fisik pelajar kita kurang menggembirakan. Tahun lalu misalnya, dari 8 ribu pelamar untuk masuk AKABRI, hanya 280 yang memenuhi syarat. Itupun masih ada yang dikatrol. Padahal yang dibutuhkan 500 orang. Kebanyakan gugur dalam ujian jasmani. Kita sedang mengadakan penelitian mengapa keadaan jasmani pelajar kita menurun. Kampanye Manunggalnya ABRI-Rakyat ini apakah ada kaitannya dengan pergantian generasi ABRI? Tidak, dalam arti hukan karena banyaknya pelanggaran yang dilakukan generasi muda yang sekarang merupakan bagian terbesar dari ABRI. Tiap generasi selalu, melakukan kesalahan, baik itu generasi 28, generasi 45 atau seterusnya. Tapi yang selalu kita ambil kan nilai-nilai yang baik. Bukan yang jelek atau nilai-nilai perpecahan. Jangan menghubungkan masalah penyimpangan atau pelanggaran sekarang ini dengan suatu generasi, kalau kita tidak ingin terperosok dalam perpecahan nasional. Perbuatan negatif dilakukan oknum-oknum dari semua generasi, tapi bukan oleh suatu generasi. Yang harus kita hadapi adalah perbuatan tercela dan bukannya generasi. Bagaimana tentang masalah regenerasi Termasuk dalam ABRI? Juga tidak ada masalah. Asalkan tiap generasi menyadari pentingnya kemanunggalan ABRI-Rakyat yang merupakan sebagian kecil dari integrasi nasional. Begitu juga lancar atau tidaknya regenerasi pimpinan ABRI tergantung pada mantapnya integrasi nasional. Integrasi nasional tidak saja meliputi integrasi wilayah atau suku bansa, tapi juga integrasi nilai dan pola tingkah laku. Kalau ini sudah mantap, pergantian generasi itu tidak ada persoalan. Kalau belum ya mungkin di situ ada gejolak-gejolak. Bagaimana tentang isyu di luaran bahwa ada ketidakpuasan di sementara senior ABRI, seperti yang tercermin dengan membentuk, misalnya sebuah yayasan? Saya sudah bicara dengan mereka, para senior ABRI terutama yang dari AD. Dan saya kira tidak ada seperti yang (Dikuatirkan masyarakat. Justru apa yang mereka cetuskan itu karena terpanggil oleh jiwa pejuangnya. Karena pertamatama ABRI adalah pejoang. Kalau masih berbentuk saran-saran, saya kira itu baik, positif. Tapi kalau sifatnya sudah apriori dan bersikap destruktif, saya kira lain persoalannya. Mereka semua masih merasa terlibat untuk membawa dan menjaga nama baik TNI. Mereka masih merasa terpanggil. Dan juga, sebetulnya ini tidak bisa dijadikan ukuran bahwa banyak senior TNI yang tidak puas. Itu hanya isyu di luar. Ya, itu biasa, ekses politiklah. Dalam ABRI dulu sering terjadi gejolak. Tapi sekarang ini sudah jauh berkurang. Faktor apa yang menyebabkannya? TNI berasal dari masyarakat luas yang punya latar belakang sosial yang heterogin. Kemudian ditempa dalam idealisme TNI dan UUD '45. Tapi begitu diproklamirkan kemerdekaan, ada usaha kelompok tertentu untuk mencoba merubah UUD. Ekses demokrasi ini pengaruhnya juga masuk dalam tubuh TNI karena kita berasal dari pengelompokan sosial yang sangat heterogin. Memang antara 1945-1949, bahkan sampai 1965 kita masih menghadapi gejolak-gejolak. Hingga sampai 1965 di mana pimpinan AD dibantai semua, kita hanya sebagai pemuda yang bertugas sebagai alat negara saja. Sebenarnya sejak tahun 50an kita sudah menyadari bahwa kita tidak selamanya harus menjadi bulan-bulanan politik saja. Kita harus punya pendirian, kalau bisa malah mempersatukan. Kesadaran ini timbul dari pengalaman-pengalaman yang tidak menguntungkan itu. Apakah peranan ini akan terus dipertahankan? Ya, itu sebagai konsekwensi logis agar bangsa kita tidak mengalami malapetaka. Sebab gejolak politik kalau tidak didukung kekuatan bersenjata tidak akan berhasil. Tapi kalau gejolak itu berhasil mempengaruhi sebagian atau sebagian besar dari AB, akibatnya bisa fatal. Seperti 1965. Pelita III akan menekankan pada segi pemerataan. Dalam masalah hidup sederhana, apakah dalam AD itu masih berupa anjuran ataukah akan diadakan peraturan tersendiri? Kita sudah mencoba merumuskan. Tapi kita menunggu peraturan nasional yang sekarang dipersiapkan pak Emil supaya kita tidak dianggap eksklusif. Kejutan? Saya tidak ingin membuat kejutan. Kejutan terkadang ada perlunya, tapi sering menimbulkan antipati. Kritik biasanya berisi sesuatu. Kalau kritik berkurang, mungkin ini karEna sudah capai. Apakah keadaan ini tidak lebih memprihatinkan? Kritik itu baik asal masih wajar dan konstruktif dan tidak disertai penyusunan kekuatan. Penyusunan opini? Seperti ditegaskan pak Jusuf, itu boleh saja asal tidak disertai dengan pamrih untuk menggerakkan massa kalau sudah tersusun opininya, misalnya untuk tujuan inkonstitusionil. Kalau masih ada getaran itu baik. Kalau tidak ada, malah kita tidak tahu, mau ke mana ini? Kritik boleh, asal wajar dan memberikan jalan keluarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus