Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Menghadapi kondisi disabilitas baru saat dewasa kerap membuat seorang penyandang disabilitas mengalami stress. Kondisi ini rawan dan pada beberapa kasus bisa jadi berujung ke tindakan percobaan bunuh diri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Salah seorang penyandang disabilitas dewasa yang pernah mencoba bunuh diri adalah Heather Kerstetter. Perempuan 30 tahun asal Amerika Serikat, ini didiagnosa mengalami spinal muscular atrophy tipe tiga. Baru-baru ini dia menyampaikan apa yang terjadi mengenai kondisinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Waktu itu adalah momen terberat dan tergelap dalam hidupku," ujar Kerstetter seperti dikutip dari Healthline, Jumat 7 Februari 2020. Menurut dia, orang yang mengalami disabilitas saat dewasa sebaiknya langsung diarahkan ke klinik psikiatri atau komunitas yang dapat melakukan pendampingan.
Hanya saja, Krestetter melanjutkan, banyak klinik psikiatri yang belum siap menerima pasien dengan disabilitas sensorik dan motorik. "Saat saya divonis harus menggunakan kursi roda, dokter berasumsi stress adalah kondisi biasa yang saya hadapi sebagai penyandang disabilitas baru dan tidak perlu penanganan khusus. Padahal saya sangat membutuhkan konsultasi," kata Kerstetter.
Satu jam setelah mengajukan permohonan pemeriksaan psikologi dan pendampingan, Kerstetter malah dipulangkan ke rumah. Peristiwa yang terjadi berikutnya, Kerstetter tidak makan selama seminggu, tidak mandi, dan ditemukan oleh keluarganya dalam keadaan tak sadarkan diri.
Advokat spesialis disabilitas dari National Disability Rights Network, Ian Watlington mengatakan paramedis harus tanggap dan segera memberi rujukan konsultasi psikologi sebelum penyandang disabilitas baru merasa stress. "Sangat sulit menggambarkan keadaan pertama kali menjadi disabilitas kepada orang awam," ujar Watlington.
Profesor kesehatan masyarakat dari Harvard Medical School, Lisa Iezzoni mengatakan satu-satunya halangan dokter memberi rujukan pasien disabilitas kepada dokter dari spesialisasi keilmuan lain adalah ketiadaan akses. Dia mencontohkan, tidak ada paramedis yang membantu dokter untuk mengarahkan atau mengantar pasien ke dokter spesialis lain.
"Satu-satunya solusi adalah dokter harus meluangkan waktu dan energi untuk memberikan rujukan, sekaligus mengantar pasien dengan disabilitas ke dokter spesialis lain," ujarnya. Iezzoni juga menyarankan dokter harus menyediakan minimal satu atau dua petugas medis untuk menyediakan akses bagi pasien disabilitas ke psikiatri.