Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Setelah pasang naik dan pasang...

Sejarah hubungan indonesia-rrc selama empat dekade terakhir. cina menolak kedaulatan ri akibat penumpasan peristiwa madiun 1948. hubungan ri-rrc dida sari dengan semangat dasasila bandung.

24 November 1990 | 00.00 WIB

Setelah pasang naik dan pasang...
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
HUBUNGAN Indonesia-Cina selama empat dekade terakhir ternyata turun naik bak air pasang. Ketika Mao Zedong memproklamasikan Cina sebagai republik rakyat, 1 Oktober 1949, pemerintah baru negeri itu langsung mengeluarkan pernyataan politik menolak mengakui kedaulatan Indonesia. Padahal, Indonesia merupakan negara pertama di Asia Tenggara yang mengakui kedaulatan negara tersebut. Apa pasal? Ternyata, yang menjadi ganjalan bagi Cina adalah soal penumpasan Peristiwa Madiun, pemberontakan yang dilakukan PKI, pada 1948. Ketika itu Cina menggembar-gemborkan Indonesia sebagai "negara boneka" Jepang, dan menganggap dwitunggal Soekarno-Hatta lambang "feodalisme dan aristokrasi". Cina baru mengakui kedaulatan Indonesia setelah Kabinet Mohammad Hatta mengumumkan sikap politik kita yang bebas dan aktif awal 1950, dan menutup tujuh konsulat Taiwan di sini. Selang beberapa bulan, Agustus 1950, Cina menunjuk Wang Renshu sebagai duta besar untuk Indonesia. Tiba di Jakarta, Wang menggarap perantau Cina (huaqiao) dengan janji pengakuan kewarganegaraan agar mereka berpaling dari Kuomintang. Janji Wang itu disambut sekitar 7-00.000 perantau Cina tapi sekaligus membuahkan ketegangan hubungan kedua negara. Hubungan yang renggang itu dapat dirajut kembali setelah Arnold Mononutu ditunjuk sebagai duta besar untuk Cina pada 1953. Selang dua tahun, April 1955, Perdana Menteri Zhou Enlai seusai menghadiri Konperensi Asia Afrika di Bandung, meneken perjanjian tentang dwikewarganegaraan bagi perantau Cina. Tahun 1956, Bung Karno, melawat ke Cina dan disambut secara meriah oleh Mao. Selang tiga tahun angin berbalik dan hubungan Indonesia-Cina tegang lagi. Kali ini penyulutnya adalah peraturan pemerintah yang melarang perantau Cina tinggal dan berusaha di pedesaan Indonesia. Tindakan ini dibalas Cina dengan memanggil pulang perantau tersebut. Waktu itu tercatat sekitar 119.000 huaqiao yang mendaftar pulang ke tanah leluhur mereka, dan sebagian sempat dipulangkan. Ketegangan hubungan kedua negara marak dalam bentuk aksi anti-Cina di Cirebon, Tegal, Bandung, Cimahi, dan Sukabumi pada 1963. Ratusan toko dan mobil milik orang-orang Cina hancur dirusak massa. Ketika PKI "dapat angin" dari Bung Karno, Cina berupaya mendekati partai itu, dan berhasil melahirkan poros politik Jakarta-Beijing. Tahun 1965 meletus Peristiwa G30S/PKI. Cina diyakini banyak orang terlibat lewat PKI, otak kudeta pada 30 September 1965 itu. Tahun 1967 Indonesia menutup Kedutaan Besar Cina di Jakarta. Sejak itu hubungan Indonesia-Cina seakan "talak tiga". Setahun setelah Mao mati, penguasa baru Cina menitipkan pesan rujuk dengan Indonesia lewat Perdana Menteri Michael Somare dari Papua Nugini yang melawat ke negeri Naga Merah itu, dan dalam perjalanan pulang singgah di Jakarta, 1977. Kontak pertama itu kemudian disusul dengan kontak-kontak seperti pertemuan tak resmi antara kedua duta besar yang bertugas di markas PBB, New York, undangan kepada Kamar Dagang Indonesia menghadiri pameran industri di Hangzhou, serta sejumlah pertemuan informal lainnya. Tahun 1985, untuk pertama kali pejabat tinggi Cina, Menteri Luar Negeri (saat itu) Wu Xueqian, berkunjung ke Indonesia dalam rangka menghadiri peringatan 30 tahun Konperensi Asia Afrika di Bandung. Namun, waktu itu, keputusan normalisasi hubungan kedua negara masih tetap samar-samar. Titik terang mengenai normalisasi baru terlihat setelah Presiden Soeharto mengadakan pembicaraan dengan Menlu Cina, Qian Qichen, yang sama-sama datang menghadiri upacara pemakaman Kaisar Hirohito di Tokyo, akhir Maret 1989. Pada waktu itu Qian memberi jaminan kepada Pak Harto bahwa Cina akan mendasari hubungan kedua negara dengan semangat Dasasila Bandung. Agustus 1990, Perdana Menteri Li Peng tiba di Jakarta, dan menandatangani normalisasi hubungan kedua negara yang beku selama 23 tahun. Akankah hubungan ini lebih lestari dari masa-masa sebelumnya? Siapa tahu. Rustam F. Mandayun, Liston P. Siregar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus