SELAIN peninggalan-peninggalan kuno, cukup banyak obyek "modern" di Cina yang layak dikunjungi. Seperti kawasan zone ekonomi khusus yang dibuat oleh pemerintah Cina pada 1979. Ada empat tempat yang mendapat status istimewa itu dan dijadikan "kelinci percobaan" untuk menggaet modal asing. Tempat-tempat itu adalah Shen Zhen, Zhuhai, dan Shantou (terletak di Provinsi Guangdong), serta Xiamen (terletak di Provinsi Fujian). Kesempatan itu rupanya tak dilewatkan begitu saja oleh Presiden Soeharto yang melawat ke Cina pekan silam. Ahad lalu ia mengunjungi Shen Zhen. Ini memang bisa disebut "surga kapitalis". Bagaimana tidak, di tempat ini para pengusaha asing diiming-imingi oleh sejumlah fasilitas berusaha yang menggiurkan. Mereka, misalnya, dibolehkan menanam modalnya sampai 100 persen dan tak ada penetapan jangka waktu beroperasi. Sedangkan pajak penghasilannya cuma dikutip 15 persen per tahun -- bandingkan dengan Hong Kong yang 18 persen. Bahkan, untuk jangka dua tahun pertama mendapat keringanan sampai sekitar 50 persen (dari 15 persen). Kalau investor asing menanam modalnya di luar zone ekonomi khusus ini, mereka bisa dikenai pajak penghasilan 20-40 persen. Perusahaan asing juga dapat mempergunakan tanah di wilayah itu untuk jangka waktu 50 tahun, yang bisa diperbarui jika pemerintah Cina memang tak memerlukannya. Mereka juga dibebaskan dari beban bea masuk untuk mendatangkan alat-alat produksi dan bahan baku produksi yang akan diekspor. Tak cuma itu. Di Cina tenaga buruh sangat melimpah dan murah. Di sana, gaji buruh rata-rata 70-100 yuan per bulan (Rp 31.500-Rp 45.000). Belum lagi bantuan empat bank yang ada di kawasan zone ekonomi khusus: People's Bank, People's Construction Bank, Agricultural Bank, dan Bank of China. Keempat bank ini siap memberi bantuan dana untuk investor asing yang menanamkan modalnya di sana. Tak heran kalau zone ekonomi khusus di Cina mendadak jadi surga untuk industrialis asal AS, Jepang, Hong Kong, Makao, dan Eropa Barat. Maka, kunjungan Pak Harto ke Shen Zhen itu tak lain dimaksudkan untuk melakukan studi perbandingan dengan daerah industri bebas pajak di Pulau Batam yang kini sedang dikembangkan oleh pemerintah RI. Pilihan Shen Zhen sebagai obyek studi memang tepat. Sebab, dibanding daerah zone ekonomi khusus lainnya, Shen Zhen boleh disebut yang termodern, terluas, dan termaju. Boleh jadi oleh letak geografisnya yang menguntungkan karena bersebelahan dengan Hong Kong. Kawasan yang luasnya sekitar 327,5 km itu memiliki sembilan pos penghubung perbatasan dan pelabuhan dengan negeri koloni Inggris itu. Hanya dalam lima tahun setelah berdiri, Shen Zhen sudah mampu menggaet sekitar 2.500 perusahaan asing. Perusahaan-perusahaan asing tadi bergerak di bidang perhotelan, perkantoran, katering, perumahan, pariwisata, dan perakitan radio. Jumlah modal yang ditanam waktu itu sekitar US$ 11,8 milyar. Kini, sampai akhir tahun 1989, jumlah kontrak dan perjanjian yang sudah ditandatangani dengan investor asing sudah hampir 7.000 dengan nilai US$ 27,9 milyar. Suasana kehidupan di kota yang berpenduduk dua juta jiwa itu memang terasa lain. Acara televisi Hong Kong menguasai kota ini. Toko di sana juga banyak menjajakan barang-barang mewah seperti radio, televisi, stereo set, jam tangan, dan kamera. Ada tiga jenis mata uang yang berlaku dan beredar sehari-hari sebagai alat tukar: dolar AS, dolar Hong Kong, dan yuan. Perusahaan minuman ringan asal AS, Pepsi Cola, adalah satu perusahaan yang membangun pabrik di Shen Zhen. Dengan modal patungan US$ 4,68 juta dari Pepsi Cola dan empat juta yuan dari pemerintah Cina, pabrik yang beroperasi sejak 1982 itu memproduksi sekitar 250.000 botol per hari. Sekitar 80 persen produksinya itu dipasarkan ke Hong Kong. Sisanya dijual di pasar domestik. Melihat itu, pesaing Pepsi, Coca-Cola, tak mau ketinggalan. Produk minuman asal AS itu melempar produknya ke pasar domestik Cina dengan logo Mandarin. Lalu, ayam goreng Kentucky dan roti hamburger McDonalds dari Negeri Paman Sam juga ikut-ikutan "menyerbu" daratan Cina. Cina memang potensi lahan yang subur untuk investor asing. Hanya dalam sepuluh tahun -- sampai tahun lalu sebelum pecah Tragedi Tiananmen -- Cina mampu mengumpulkan US$ 11,5 trilyun dalam bentuk investasi yang ditanam pengusaha mancanegara. Yang dikerek tinggi adalah ucapan Deng Xiaoping: "Kalau Cina ingin maju, harus dengan modernisasi. Ukuran sukses adalah kemampuan berproduksi, bukan lagi kemurnian sosialis." Namun, semuanya jadi berantakan setelah terjadi Tragedi Tiananmen, Juni 1989, saat ratusan mahasiswa yang pro reformasi dan demokrasi di Cina dibantai oleh penguasa Beijing. Citra rezim Beijing pun merosot di mata dunia internasional. Namun, kini minat pengusaha asing untuk terus berdagang dan meraup untung di Negeri Cina mulai mekar lagi. Shen Zhen adalah buktinya. Di sana investasi dan perdagangan sepertinya tak pernah berhenti. Ahmed K. Soeriawidjaja dan Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini