Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sejarah Istana Merdeka yang Disebut Bau Kolonial oleh Presiden Jokowi

Presiden Joko Widodo membandingkan proyek IKN dengan Istana Kepresidenan di Jakarta dan Bogor yang dahulu dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda.

14 Agustus 2024 | 17.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Presiden Jokowi (ketiga kiri) dan Wapres Jusuf Kalla (Ketiga kanan) berfoto bersama Kabinet Kerja yang baru dilantik di Istana Merdeka, Jakarta, 27 Oktober 2014. ADEK BERRY/AFP/Getty Images

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa pembangunan Ibu Kota Nusantara disingkat IKN sudah sesuai dengan harapan bangsa Indonesia. Jokowi membandingkan proyek IKN dengan Istana Kepresidenan di Jakarta dan Bogor yang dahulu dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jokowi juga menyebut bahwa Istana Negara dan Istana Merdeka pernah menjadi tempat tinggal bagi dua kolonialis yang berbeda, yaitu Gubernur Jenderal Hindia Belanda Pieter Gerardus van Overstraten dan Johan Wilhelm van Lansberge. Sementara itu, Istana Bogor pernah dihuni oleh Gubernur Jenderal Gustaaf Willem van Imhoff.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Sudah kita tempati 79 tahun. Ini bau-bau kolonial selalu saya rasakan setiap hari, dibayang-bayangi. Dan sekali lagi, kita ingin menunjukan bahwa kita punya kemampuan untuk juga membangun ibu kota sesuai dengan keinginan kita,” kata Jokowi saat memberi arahan kepada kepala daerah di Istana Garuda, Ibu Kota Nusantara (IKN), Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, pada Selasa, 13 Agustus 2024, dikutip dari keterangan video.

Namun demikian, Jokowi menyadari bahwa pembangunan IKN ini tidak bisa dilakukan dalam waktu cepat. IKN, kata Jokowi, bisa selesai dalam waktu 10 hingga 15 tahun. Pembangunan yang dimulai sejak 2022 baru sekitar 20 persen.

Awal pekan ini, Jokowi mengajak para menteri ke IKN untuk menggelar Sidang Kabinet pertama di IKN. Salah satu poin yang disampaikan Jokowi dalam rapat paripurna tersebut adalah mengenai latar belakang dan prospek proyek Nusantara yang dia gagas.

Sejarah Istana Merdeka

Istana Merdeka yang berlokasi di Jalan Merdeka Utara dan menghadap ke Taman Monumen Nasional merupakan bagian dari kompleks Istana Merdeka dan Istana Negara yang luasnya mencapai 6,8 hektar di pusat ibu kota.

Pada masa Hindia-Belanda, meningkatnya aktivitas pemerintahan membuat Istana Negara dianggap tidak lagi memadai, sehingga dibangun Istana Gambir pada 1873 oleh arsitek Drossares, dan rampung pada 1879 saat pemerintahan Gubernur Jenderal Johan Willem van Landsbarge.

Sejak berdiri, Istana Merdeka telah menjadi tempat tinggal bagi 20 orang, terdiri dari 15 gubernur jenderal Hindia Belanda, 3 Saiko Syikikan (Panglima Tertinggi Tentara Jepang di Jawa), dan 2 Presiden RI. Hanya empat gubernur jenderal yang benar-benar tinggal di istana ini, sementara lainnya memilih Istana Bogor. Presiden Soekarno, Abdurrahman Wahid, dan Joko Widodo merupakan presiden RI yang pernah tinggal di Istana Merdeka sebelum berpindah ke Istana Bogor.

Istana ini juga menjadi saksi sejarah saat naskah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat ditandatangani pada 27 Desember 1949, dengan perwakilan Belanda, A.H.J. Lovink, dan perwakilan Indonesia, Sri Sultan Hamengkubuwono IX.

Pada hari tersebut, ribuan warga Indonesia berkumpul mendengarkan berita penting tersebut melalui radio, dan setelah penandatanganan, bendera merah putih dikibarkan, menggantikan bendera Belanda. Pada saat itu juga, Presiden Soekarno mengganti nama Istana Gambir menjadi Istana Merdeka, dan Istana Rijswijk menjadi Istana Negara.

Pada 28 Desember 1949, Presiden Soekarno dan keluarganya pindah ke Istana Merdeka. Istana ini kemudian menjadi tempat penyelenggaraan peringatan Hari Kemerdekaan RI pertama pada 17 Agustus 1950.

Fungsi Istana  

Di masa Presiden Soekarno, ruang tidur presiden berada di sisi timur istana, berseberangan dengan ruang kerjanya yang dipisahkan oleh ruang resepsi. Bung Karno dan Ibu Fatmawati menggunakan kamar mandi yang terletak di dekat kamar tidur Guntur, anak sulung mereka.

Bagian barat depan istana digunakan untuk acara resmi, termasuk serambi depan dan ruang kerja presiden yang dilengkapi dengan perabot rotan dan kursi tamu dari kayu Jepara, kemudian dikenal sebagai Ruang Jepara. Ruang kerja ini tetap digunakan oleh Presiden Soeharto selama 32 tahun, dengan sedikit perubahan di era Presiden B.J. Habibie.

Di pelataran tengah terdapat gazebo yang digunakan sebagai kelas taman kanak-kanak untuk putra-putri Bung Karno. Selain itu, terdapat bangunan kayu bernama "sanggar," yang digunakan Bung Karno untuk melukis dan menulis. Di lokasi tersebut, Presiden Soeharto kemudian membangun Puri Bhakti Renatama sebagai museum.

Bagian luar istana terbuka, memberi kesan luas dan ramah, dengan beberapa beranda yang dilengkapi kursi rotan untuk menerima tamu, termasuk wartawan. Pada 1958, arsitek R.M. Soedarsono membangun Masjid Baiturrahim di sebelah barat istana, yang diperluas pada masa Presiden Habibie dengan tambahan kaligrafi ayat-ayat suci Alquran di dalam kubah.

Pada masa Presiden Soekarno, dibangun juga Wisma Negara sebagai tempat tinggal tamu negara di dalam kompleks istana, yang selesai pada 1964. Lantai teratas Wisma Negara adalah ruang makan dan tamu, dengan lantai-lantai di bawahnya menjadi suite untuk tamu kehormatan.

Halaman luas di Istana Merdeka sering disinggahi berbagai jenis burung, dan Presiden Soekarno dikenal sebagai pencinta burung bebas. Pada masa pemerintahan Presiden Megawati, pohon salam ditanam untuk menarik burung-burung bebas.

Beberapa arca kuno juga menghiasi pekarangan Istana Merdeka, termasuk arca Dhyani Boddisatta dari abad ke-9 yang merupakan peninggalan berharga dari era Hindia Belanda.

Saat Presiden Soekarno berada di istana, bendera Kepresidenan dikibarkan di atas istana, namun sejak era Presiden Soeharto, tradisi ini tidak dilanjutkan. Istana Merdeka berubah fungsinya menjadi tempat kerja, upacara, dan resepsi kenegaraan sejak Presiden Soeharto memilih tinggal di kediaman pribadinya.

Bagian-Bagian Istana

Di halaman depan Istana Merdeka, terdapat tiang bendera setinggi 17 meter yang digunakan setiap tahun untuk mengibarkan duplikat Bendera Pusaka pada peringatan Kemerdekaan RI.

Secara bertahap, Istana Merdeka mengalami perubahan interior, terutama pada era Ibu Negara Tien Soeharto, yang mengubah gaya interior istana dengan sentuhan ukiran Jepara.

Setelah Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, Presiden Habibie yang menggantikannya lebih sering bekerja di Istana Merdeka, menyesuaikan ruang kerja dengan teknologi baru. Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Bina Graha digunakan sebagai kantor Staf Khusus Presiden, dan di era Presiden Joko Widodo, Bina Graha menjadi Kantor Staf Presiden.

Di halaman depan Istana Merdeka terdapat tiang bendera beton setinggi 17 meter, dan di dalam istana, berbagai ruangan digunakan untuk acara kenegaraan, termasuk Ruang Resepsi yang merupakan ruang terluas di Istana Merdeka.

Penandatanganan pengunduran diri Presiden Soeharto dan pelantikan Presiden Habibie dilakukan di Ruang Kredensial Istana Merdeka pada 21 Mei 1998, yang disiarkan langsung melalui televisi.

Demikian juga dengan berbagai upacara kenegaraan yang diselenggarakan di istana ini, termasuk upacara penyerahan surat kepercayaan dari Duta Besar negara sahabat kepada Presiden RI. Ruang Jepara, Ruang Raden Saleh, dan Ruang Resepsi adalah beberapa ruang penting di Istana Merdeka yang sering digunakan dalam acara kenegaraan.

 

 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus